Mohon tunggu...
rella sha
rella sha Mohon Tunggu... Lainnya - Domestic Goddess

Hello from dailyrella.com

Selanjutnya

Tutup

Film

Pelajaran Penting dari Film Gara-Gara Warisan

12 November 2023   23:35 Diperbarui: 13 November 2023   18:38 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest e_rawk

Saya nonton film Gara-Gara Warisan (2022) setelah secara nggak sengaja lihat cuplikannya di sosial media. Ada Oka Antara dan Indah Permatasari yang lagi nge-gas nanyain soal uang pada Ge Pamungkas yang digambarkan berpenampilan pucat dan kusut. 

Pada scene lain, Oka harus mengalah mengembalikan paha ayam ke dalam pancinya karena Bapak memintanya untuk menyisihkan paha ayam buat sang adik.

Tanpa melihat judulnya pun, adegan dan dialog yang dipotong selama beberapa detik itu sudah cukup menggambarkan apa konflik filmnya; ada orang tua yang pilih kasih pada anak-anaknya berakibat rebutan soal warisan. 

Oke menarik, ketemu di platform streaming. Nonton deh..

Adegan-adegan awal seperti memutar waktu di saat keluarga Pak Dahlan (Yayu Unru) masih lengkap dengan istri dan ketiga anaknya, Adam (Oka Antara), Laras (Indah Permatasari), dan Dicky (Ge Pamungkas).

Setelah dengan telaten dirawat oleh Laras, Bu Dahlan (Lidya Kandou) yang lama sakit-sakitan akhirnya wafat meninggalkan kesedihan dan kerenggangan besar di antara anggota keluarga Dahlan.  Tanpa disadari, adanya ketimpangan dalam pemberian kasih sayang Pak Dahlan pada anak-anaknya selama ini justru menjadi sumber konflik di saat-saat begini. 

Adam merantau ke Jakarta, bekerja sebagai tenaga outsource di sebuah bank dengan gaji pas-pasan dan hidup mengontrak bersama istri dan anaknya. Laras pergi dari rumah dalam keadaan ngamuk karena Pak Dahlan menikah lagi dengan Bu Astuti, mengelola sebuah panti jompo swasta yang juga mengandalkan donatur dalam operasionalnya. Sementara Dicky hidup luntang-lantung nggak karuan dan ketergantungan narkoba (ini kenapa dia digambarkan awut-awutan). 

Premis film ini sebenarnya cukup sederhana dan familiar di kehidupan masyarakat sehari-hari, yaitu konflik pembagian warisan dari orang tua untuk anak-anaknya. Dimana dalam film ini, Pak Dahlan ingin mempertahankan guest house miliknya kendati kesehatannya sendiri terganggu dan membutuhkan biaya besar, demi bisa mewariskan sesuatu untuk anak-anaknya. 

Pembagian warisan menjadi ruwet karena Pak Dahlan sendiri bingung, siapa anak yang paling tepat diwariskan Salma Guest House. Akhirnya dia bikin trial sebulan, anak-anaknya diminta mengelola guest house secara bergiliran. Uniknya, yang menentukan siapa yang dipilih untuk memanajeri Salma nantinya bukan Pak Dahlan, melainkan empat karyawan guest house yang lucu-lucu, yang menambah semarak komedi di tengah seriusnya isu warisan keluarga. 

Sepintas sih kelihatannya sepele ya, mau ke siapa aja guest house ini jatuh, toh masih keluarga-keluarga juga, masih anaknya Pak Dahlan. Tapi kita udah sering, kan, dengar bisnis keluarga yang jatuh karena anak yang dilimpahkan aset ternyata nggak cakap manajemen. Memang bukan salah si Bapak sepenuhnya, karena tiap anak biarpun satu darah ternyata beda-beda 'pegangannya' alias beda tangan beda hasil. 

Dalam Gara-Gara Warisan pun terlihat pendekatan tiap anak dalam mengelola guest house berbeda-beda. Jika Adam fokus pada peningkatan kualitas hospitality, Laras terlihat lebih fokus pada pengembangan bisnis, sementara si Dicky, yaa gitu deh... Tadinya saya harap ending-nya guest house ini bakalan dikelola sama-sama, karena ketiganya punya kepentingan pribadi, tapi ternyata...ya, tonton sendiri ya.  

Saya cuma mau highlight beberapa hal aja sih dari film ini, karena isunya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari bahkan mungkin saja terjadi pada keluarga kita sendiri.

1. Belajar Ilmu Waris 

Dalam Islam, ada ilmu faraid yang membahas pembagian warisan secara adil sesuai kaidah fikih. Meski njelimet, pembagian warisan berdasarkan hukum ini dijamin adil dan semua kebagian haknya sampai ke keluarga terdekat. Sebaiknya, dalam satu keluarga ada 1-2 orang yang paham ilmu ini agar tidak terjadi konflik keluarga di kemudian hari cuma gara-gara warisan. 

2. Bersikap adil sebagai orang tua 

Dalam film, ada alasan di balik kenapa Pak Dahlan selalu memanjakan Dicky. Sebagai orang tua, rasa kecenderungan itu memang selalu ada, dan terjadi alamiah karena faktor-faktor tertentu. Tapi perlakuan hendaklah tetap adil, karena anak yang merasakan akan mengingatnya sampai besar. Sering-seringlah bertanya perasaan anak-anak dan ucapkan sayang pada mereka sebanyak mungkin. 

3. Sebelum waris, pelajari hibah 

Lagi-lagi ilmu. Supaya tidak mengundang perpecahan setelah orang tua tidak ada, ada baiknya membuat akta hibah saja untuk aset-aset seperti properti, jadi bisa dibahas sejelas-jelasnya selagi masih sehat dan hidup. Terutama jika punya banyak anak, hibah menjadi hal yang lebih terang terutama jika sudah terlihat prospek perkembangan asetnya. 

4. Utamakan persaudaraan 

Buat orang tua dengan banyak anak (termasuk saya), rajin-rajinlah untuk merekatkan hubungan persaudaraan antara anak-anak kita. Blood is thicker than water, tapi hubungan jangan kaku kental kaya darah. Buatlah suasana cair an hangat saat berkumpul sekeluarga. Anak jangan dibenturkan terus-terusan sehingga memupuk kebencian atau iri satu sama lain. Saat kita nggak ada, mereka hanya punya satu sama lainnya dan tentu saja kita berharap mereka akur dan saling melindungi sepeninggal kita di dunia. 

5. Puk-puk anak sulung 

Ini agak lain memang, tapi buat kamu-kamu yang posisinya kaya Adam, disuruh mengalah terus buat adik, dituntut jadi 'orang' sampai akhirnya nggak jadi apa-apa, dan hanya bisa jadi manusia-manusia medioker, saya mau kirim puk-puk sebanyak-banyaknya. Sabar, yah. 

Ada chance untuk bersyukur bahwa kamu melewati proses kedewasaan dengan matang. Anak sulung memang hesitate, itu karena dia sering takut salah. Jadi apa pun kamu, hiduplah dengan baik, jangan biarkan sakit hati menggerogoti hidup dan kebahagiaanmu. 

Balik lagi ke film ya, sejujurnya secara grafik film ini nggak punya klimaks atau plot twist yang mengejutkan sih. Ada beberapa scene yang mungkin diharapkan bikin deg-degan penonton, tapi bagi saya datar-datar aja. Saya malah mengharap cerita antara tiga bersaudara ini dibikin lebih kuat lagi, baik crash-nya maupun akurnya. 

Dan tentu saja tidak melupakan empat lawak karyawan guest house yang sangat membantu film ini jadi tidak begitu datar. Andai saja adegan mereka dalam melayani tamu lebih diperbanyak lagi, ya sekaligus si tiga bersaudara itu tadi juga sih, bakalan kerasa banget kerja keras mereka dalam berlomba-lomba siapa yang pantas jadi ahli waris terbaik. 

Mengingat ini debut Muhadkly Acho sebagai sutradara film, saya sih sangat apresiasi ya karena nggak mudah mengejawantahkan isu sosial masyarakat yang sangat serius ke dalam film yang ada unsur komedinya. Bravo lah, Acho.. terus berkarya, ya!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun