Mohon tunggu...
Muhammad Rekur
Muhammad Rekur Mohon Tunggu... Freelancer - apa dong?

Penikmat sepak bola

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tebang Pilih Penegakan Hukum Indonesia..

30 Desember 2017   19:36 Diperbarui: 30 Desember 2017   20:01 2648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR RI, Fadli Zon menganggap tahun 2017 merupakan penanda pemerintah bergerak menjadi negara kekuasaan. Hal tersebut diperkuat dengan digunakannya hukum sebagai alat kekuasaan yang berimbas pada gagalnya tuntutan keadilan.

"Sayangnya, sepanjang 2017 saya memperhatikan negara kita justru makin bergerak ke arah negara kekuasaan. Pemerintah telah menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan, bukan instrumen menegakkan keadilan. Berbagai survei tentang kinerja pemerintahan Jokowi, misalnya, selalu menempatkan hukum, selain ekonomi, sebagai sumber utama ketidakpuasan masyarakat," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/12).

Fadli menilai pemerintah telah salah kaprah dalam menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan. Menurutnya, hal tersebut akan menjatuhkan wibawa hukum di hadapan masyarakat.

Lebih lanjut ia mengatakan, pemerintah harusnya menyadari jika keadilan hukum merupakan salah satu alat untuk menciptakan stabilitas dan kohesi sosial. Adanya standar ganda dalam penegakan hukum bisa berdampak pada terganggunya kohesi sosial dan melonggarkan tenun kebangsaan.

"Tapi kita bisa menyaksikan, batas api (fire line) itu telah banyak dilanggar oleh pemerintah sepanjang tahun ini. Di satu sisi, kita melihat dengan jelas adanya pengistimewaan hukum yang luar biasa terhadap para sekutu pemerintah, dan di sisi lain ada upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah," tuturnya.

Baca juga  Politik Today Isu Terkini 

Fadli kemudian mengambil contoh dalam kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ia menuturkan Ahok dari terdakwa hingga terpidana selalu mendapatkan tempat yang istimewa.

"Saat yang bersangkutan masih menjadi terdakwa, misalnya, sebenarnya sesuai ketentuan UU No. 23/2014 Pasal 83, seorang kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa di pengadilan harus diberhentikan sementara, tanpa perlu usulan dari DPRD," tambahnya.

Fadli kemudian melihat kasus serupa yang bertolak belakang. Misalnya, Gubernur Sumut Syamsul Arifin dulu disidangkan perdana tanggal 14 Maret 2011. Pada 21 Maret 2011 Keppres pemberhentian sementaranya sudah diteken Presiden SBY. Begitu juga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Ia disidang perdana 6 Mei 2014, dan pada 12 Mei 2014 Keppres pemberhentian sementaranya juga segera diterbitkan Presiden SBY.

Dari kasus-kasus tersebut, Fadli menilai itu adalah bukti kalau pemerintah telah mempermainkan hukum, melalui tafsir yang diskriminatif, hanya demi membela kepentingan sekutunya.

Selain itu, Fadli juga mencatat catatan hitam pemerintah lainnya dalam penegakan hukum. Salah satunya adalah upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah dengan tuduhan penyebar hoaz atau hate speech.

"Coba catat siapa saja yang menjadi tersangka dengan delik-delik tadi?! Pada tahun 2017, ada beberapa orang yang pernah dijerat dengan UU ITE, antara lain Rijal, Jamran, Jonru, Faisal Tonong, Ahmad Dhani, Asma Dewi, Buni Yani. Semuanya adalah mereka yang selama ini berbeda haluan politik dengan pemerintah. Tidak ada 'buzzer istana' yang pernah diperiksa polisi," ujarnya.

Fadli juga melihat pemerintah tebang pilih dalam penegakan hukum. Pemerintah hanya fokus untuk menjerat para lawan politik. Sementara itu, aparat hukum dengan cepat memproses oposan pemerintah, termasuk para ulama yang kritis, seperti KH Al Khathath. Sedangkan, aparat belum menyentuh orang-orang seperti Nathan dan Viktor Laiskodat.

Untuk itu, Fadli menyarankan pemerintah untuk sadar bahwa keadilan merupakan hal penting dan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan hukum bisa sirna jika aparat hukum bekerja atas kepentingan tertentu yang berimbas pada rusaknya sistem hukum.

"Aparat penegak hukum seharusnya menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas. Karena di pundak merekalah wibawa hukum diletakkan. Semoga catatan hitam dunia hukum di tahun 2017 ini tak berlanjut di tahun depan," tandasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun