Mohon tunggu...
Reko Alum
Reko Alum Mohon Tunggu... Freelancer - She/her

Metalhead \m/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Perempuan Menikah?

28 Januari 2017   07:49 Diperbarui: 28 Januari 2017   09:33 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini memang cerita lama. Cerita yang tiada habisnya, selama perkawinan masih menjadi tujuan utama dalam hidup seorang perempuan.

Seorang sahabat, sebut saja Tari, tahun ini usianya genap 38 tahun. Angka ini bagaikan sesosok monster yang menakutkan baginya. Sama mengerikannya dengan julukan perawan tua yang mungkin saja sebentar lagi akan diselempangkan orang padanya.

Tari, adalah anak perempuan pertama dari enam bersaudara. Empat orang saudaranya telah menikah, tinggal dia dan adik bungsunya laki-laki. Ia mapan dari segi ekonomi, bekerja di sebuah perusahaan minyak asing dengan penghasilan lumayan dan jenjang karir yang prospektif. Sayangnya, ia masih saja selalu mengeluh ada yang kurang dalam hidupnya. ‘Berat jodoh’ begitu stigma yang ia tempelkan pada dirinya sendiri, setelah berulang kali gagal menjalin hubungan serius dengan lawan jenisnya. Hubungan yang tentunya diharapkan bisa mengantarnya ke dalam suatu lembaga bernama perkawinan. Suatu dunia yang secara kasat mata tampak begitu ideal dan terhormat, bukan saja di mata keluarga tetapi juga di masyarakat.

Menjadi seorang perempuan berarti ia harus menikah, dan baru bisa dikatakan ‘perempuan yang betul-betul perempuan’ apabila ia juga mampu melahirkan anak, terutama yang berjenis kelamin laki-laki untuk dijadikan penerus nama keluarga dan menjadi seorang ibu. Doktrin ini telah sejak lama ditanamkan para ibu kepada anak perempuannya secara turun temurun.

Nasehat yang berulang kali dilontarkan ini akhirnya membuat hampir sebagian besar perempuan menganggap bahwa menikah dan menjadi seorang ibu adalah mutlak terjadi dalam kehidupan mereka. Kebanyakan perempuan menganggap peranan itu sebagai tujuan mereka, terutama karena tidak adanya alternatif serta adanya pemuliaan peran ibu…Pemuliaan seperti itu bagaikan memberi lapisan gula pada pil kina yang pahit, dan selama generasi ke generasi berikutnya perempuan terjebak menginginkan sedikit gula tersebut…(Kamla Bhasin, Nighat Said Khan, Gramedia Pustaka Utama, Kalyanamitra).

Menurut Tari, tekanan terberat yang terjadi pada dirinya justru berasal dari keluarganya sendiri, terutama sang ibu yang tidak henti-hentinya menuntut agar ia segera melepas masa lajangnya. Ia mengaku lelah setiap kali harus berbohong pada ibunya bahwa dirinya sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, dan meminta ibunya untuk bersabar. Sementara ia sendiri sebetulnya sudah pasrah, akan menikah atau tidak nantinya. Menurutnya mencari teman hidup tidak semudah memilih buku di toko buku. Maka seringkali untuk sejenak melupakan masalahnya itu, ia betah berlama-lama minum kopi dari satu kedai ke kedai lainnya.

Bisa dimengerti bahwa seorang ibu ternyata juga memiliki beban tersendiri menghadapi kenyataan akan anak gadisnya yang belum juga dilamar orang. Para ibu (baca perempuan) sejak kecil sudah diberi tahu oleh orang tua dan gurunya di sekolah bahwa ia akan mendapatkan kemuliaan hidup hanya dalam perkawinan. Dia diajarkan bagaimana menjadi perempuan yang diinginkan laki-laki. Karena, hanya bersama laki-laki yang kelak menjadi suaminya itulah hidupnya akan berarti, (Shirley Lie, 2005). Jadi ibu beranggapan bahwa anak perempuannya harus sepaham dengan dirinya apabila ingin berbahagia dalam hidupnya. Tapi akibatnya ibu seringkali lupa bahwa anak perempuannya itu adalah juga seorang manusia perempuan yang memiliki kekuasaan sebagai pribadi utuh atas dirinya, pikiran, perasaan dan tubuhnya. Perempuan yang berhak memutuskan pilihan hidupnya dalam bekerja, berorganisasi, berpakaian tertentu, berciuman, bersetubuh, tidak menikah, tidak hamil, bercerai dan menjadi ibu, dan seterusnya, (Arimbi Heroeputri, R Valentina, Debt Watch Indonesia).

Menikah atau tidak menikah adalah pilihan hidup seorang manusia. Tidak siapapun berhak menuntut seseorang untuk mengikatkan dirinya pada lembaga tersebut meskipun kehendak itu datang dari ibu kita sendiri, orang yang telah melahirkan kita. Sebab seperti yang pernah diutarakan Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex, manusia bukan benda mati yang tujuan keberadaannya ditentukan oleh manusia lain. Manusia adalah pengada bebas yang mampu menentukan sendiri dan mentransendensi segala sesuatu yang membatasi dirinya.

Stigma perawan tua sampai detik ini memang masih bagaikan momok yang menyeramkan bagi setiap perempuan. Bukan hanya bagi si gadis yang belum menikah, tapi juga bagi ibu si gadis. Ibu akan bersedih hati melihat anak perempuannya masih saja sendiri. Karena bila sudah jadi perawan tua artinya tidak laku, ada yang salah dalam diri perempuan perawan tua, maka para bujangan atau suami-suami harus hati-hati bila berhubungan dengan perawan tua.

Perempuan tidak kawin ini dianggap bisa memanfaatkan para bujangan untuk kesenangannya sendiri, atau bisa juga menjadi pengganggu rumah tangga orang. Meskipun si perawan tua memiliki jabatan yang bagus dan berpendidikan tinggi, atau baik budi pekertinya, tetap saja dia seorang perawan tua, konotasi yang sama ‘buruknya’ dengan seorang perempuan yang mempunyai ‘gelar’ janda. Status yang selalu saja mengundang bisik-bisik negatif di tengah masyarakat. Dengan demikian, rasanya nista sekali menyandang predikat perawan tua.

Oleh sebab itu harus diupayakan sebisa mungkin agar tidak sampai jadi perawan tua. Dan dengan alasan demi kebahagiaaan hidup sang anak itu tadi, seorang ibu bahkan tidak segan-segan mencari sendiri sosok laki-laki yang dianggapnya ideal sebagai pendamping hidup anak perempuannya. Seperti dikatakan Frederick Engel dalam bukunya Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara, ia mengatakan bahwa keputusan perkawinan bukanlah persoalan dua pihak, tapi persoalan ibu mereka. Ibu boleh jadi memiliki peran penting dalam menentukan jalan hidup seorang anak, lepas dari bahagia atau tidaknya si anak kelak. Sedangkan si anak cenderung tidak kuasa menolak keinginan sang ibu karena takut kualat, sebab ada kepercayaan bahwa letak surga berada di bawah telapak kaki ibu. Jadi apabila tidak menuruti ‘perintah bunda’, bisa-bisa nanti tidak mendapat tempat di surga, begitulah kira-kira.

Pertanyaannya sekarang, apakah balas budi seorang anak perempuan kepada ibunya harus selalu diwujudkan dalam bentuk sebuah pernikahan, beberapa orang cucu dan seterusnya? Apakah ada jaminan bahwa perkawinan merupakan kunci kebahagiaan dan kesempurnaan hidup seorang perempuan? Seolah-olah bila hal itu tidak terpenuhi, genaplah seperti apa yang dikatakan St. Thomas bahwa perempuan adalah manusia yang tidak sempurna? Banyak contoh perkawinan yang didasari keterpaksaan berujung pada penderitaan seumur hidup (karena ada agama yang sama sekali tidak mengijinkan adanya perceraian apapun alasannya) dan perceraian.

Apabila akhirnya bercerai, bukankah beban hidup seorang perempuan terutama yang tidak terbiasa hidup mandiri akan jauh lebih berat? Ia harus sendirian membesarkan atau bahkan menafkahi anaknya, belum lagi status janda yang disandangnya. Tidak mudah menjalani hidup seperti itu ditengah masyarakat yang masih percaya bahwa seorang janda identik dengan pengganggu, perusak rumah tangga orang. Ruang geraknya menjadi lebih terbatas lagi, karena kemana pun ia melangkah, orang selalu mencurigainya kalau ia punya maksud tertentu ketika berinteraksi dengan lawan jenisnya. Kalau sudah begitu, apakah benar seorang ibu ingin anak perempuannya berbahagia dengan melakukan perkawinan?

Masih ada cara-cara lain yang bisa ditempuh seorang anak perempuan untuk menunjukkan baktinya pada orangtuanya tanpa harus mengorbankan apa yang sebenarnya sudah menjadi pilihan hidupnya. Banyak hal yang bisa dilakukan seorang perempuan ketimbang sekedar kuliah atau duduk-duduk saja sambil menunggu jodoh datang meminang. Menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama adalah tujuan hidup yang sangat mulia. Misalnya saja dengan mengangkat anak asuh untuk menemaninya di hari tua.

Ibu pun tidak perlu kuatir anaknya tidak mampu mengarungi hidup tanpa seorang ‘penjaga’ di sisinya, dan si anak perempuan juga akan lebih tenang menjalankan kehidupannya tanpa harus terbebani bahwa ia tidak bisa menyenangkan hati ibunya. Karena ternyata di luar pernikahan, ia mampu menunjukkan diri bahwa ia adalah manusia utuh yang berarti bagi orang-orang di sekelilingnya.

*Tulisan ini sudah pernah dimuat di Jurnal Perempuan online

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun