Karena pada dasarnya bahagia itu relatif. Bahagia itu tidak bisa diukur dengan kasat mata, berupa materi, tampilan fisik, besar penghasilan, ketenaran atau semacamnya. Bahagia itu relatif, tergantung setiap individu menikmatinya.
Mungkin kita pernah mendengar orang yang kaya raya, namun mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dengan sepucuk surat yang menceritakan betapa dia menderita dan tersiksa. Banyak beban yang membuatnya tertekan.
Atau seorang selebritis yang merasa sangat stres. Ketenarannya membuat dia tertekan dan merasa tidak nyaman. Dia merasa tidak bisa menikmati hidupnya dengan bahagia dan nyaman.
Di sisi lain kita melihat orang dengan kesederhanaannya merasakan hidup yang dijalani dengan penuh kebahagiaan. Mereka menikmati dan mensyukuri hidup dengan bahagia.
Bahagia Menurut Islam
Lantas bagaimana Islam mengajarkan kita dalam memaknai kebahagiaan?
Pada hakikatnya kebahagiaan atau kesedihan itu, manusia sendiri yang menghadirkannya. Memang Allah menciptakan adanya rasa bahagia dan sedih agar manusia menyadari nikmat dan bisa terus bersyukur.
Mungkin ketika sedang lapang manusia merasa bahagia dan menganggap ini suatu nikmat. Di sini saatnya manusia bisa bersyukur dan berbagi nikmat yang Allah titipkan padanya.
Di kala sempit manusia mungkin merasa sedih. Di sini manusia harus menyadari betapa kecilnya kita. Ternyata kita lemah dan butuh tempat untuk mengadu. Saatnya bersimpuh, menunduk di hadapan sang khaliq.
Adanya rasa bahagia dan sedih yang menghiasi hidup kita harusnya menjadikan kita makin dekat dengan Tuhan. Sang pencipta dan menguasai kehidupan kita. Tak ada yang perlu kita sombongkan.
Semua yang kita mulai, baik harta, benda, ilmu, pangkat, jabatan, kesehatan dan lainnya itu tidak bisa jadi parameter kebahagian. Memang benar manusia perlu itu, tak bisa dipungkiri.Â
Namun semua itu bukan satu-satunya ukuran kebahagiaan.
Semua yang kita punya di dunia ini bukankah hanya titipan. Dan semua itu hanya bersifat sementara.Â