Marginal dalam KBBi ialah berada di pinggir-tidak terlalu menguntungkan. Jika berdasarkan pengalaman Penulis, kata ini biasa digunakan untuk menyebut kelompok masyarakat tertentu yang dalam kehidupan sosial mendapat perlakuan tidak menguntungkan atau mereka kerap merasa dirugikan, tidak nyaman, dan mengalami hambatan-hambatan.Â
Karenanya, tidak jarang masyarakat modern Indonesia setidaknya mengetahui kata marjinal dari berita media atau tayangan digital yang memperlihatkan sekelompok orang mengalami hari yang berat mendapat perlakuan tidak setara dengan orang-orang non marjinal.Â
Menjadi marjinal sebenarnya bukan pilihan atau kehendak pribadi, itu terjadi karena sistem sosial-politik yang berjalan di suatu tatanan kehidupan. Selanjutnya, sistem tersebut ternyata sangat berlawanan dengan kondisi orang-orang marjinal.Â
Misalnya, para imigran yang datang ke suatu negara baru di mana mereka sejatinya ingin mencari tempat berlindung. Ingat, mereka ingin mencari "tempat berlindung", tapi karena tempat baru mereka sangat berbeda dengan keadaan mereka-diri mereka terlihat asing, maka tidak menutup kemungkinan para imigran tadi akan mendapati dirinya termarjinalkan olah warga lokal karena rupa fisik mereka yang terlihat asing serta keadaannya yang begitu berlawanan dengan kondisi di negara tersebut.
Dalam perjalanannya, ternyata Pandemi berpotensi besar melahirkan kaum marginal baru abad 21. Siapakah mereka? Jika memakai logika dengan kasus penulis sebut di atas, nampaknya saudara sudah bisa menebak walau samar-samar.
Ya, mereka adalah orang-orang yang memilih untuk tidak ikut program vaksinasi, jarang bahkan sudah enggan menggunakan masker, serta tetap teguh keyakinannya terkait segala hal yang mengamini covid-19.
Mereka menjadi kaum Marjinal baru. Karena mereka tidak bisa bepergian dengan mudah, dipersulit dalam regulasi dan administrasi, bahkan untuk menghibur diri menonton bioskop pun mereka tidak bisa memiliki kenyaman tersebut.Â
Sistem sosial dengan terprogram menjadikan mereka orang-orang pinggiran. Mereka yang kini termarjinalkan sama sekali tidak ingin menjadi golongan orang marjinal, tetapi mau tidak mau, sistem sudah menjadikan mereka apa adanya sekarang.Â
Hari demi hari mereka lalui dengan aturan yang tidak berpihak. Walau jarum suntik vaksin tidak menusuk kulit mereka, justru ini seakan setiap regulasi yang mewajibkan vaksin menusuk keyakinan para kaum marginal.Â
Tusuk dan terus menusuk lebih dalam agar cangkang keyakinan dalam hati mereka pecah sehingga pada akhirnya membuat mereka memilih untuk vaksin.
Lalu kenapa 2022?
Ya, mari kita tarik kembali alur waktunya 3 tahun ke belakang. Pandemi bermula pada 2019, keadaan dunia saat itu masih sangat terkejut. Masuk ke 2020, umat manusia mulai belajar, mereka telah memiliki beberapa aturan umum untuk menangani covid-19, riset tentang vaksin sudah semakin matang.Â
Lalu pada 2021, para otoritas semakin memantapkan kebijakannya-walau masih keteteran sana sini, masyarakat "umum" mulai bisa digembala ke jalan yang lurus ala rezim dalam menghadapi pandemi. Â
Setidaknya pertengahan hingga akhir 2021, gejala-gejala marjinalisasi itu sudah tumbuh. Maka pada 2022 ini, sudah bisa dipastikan menjadi tahun baru dalam lembaran baru istilah masyarakat marjinal karena pandemi.
Bagaimana dengan mu? apakah saudara termasuk ke dalam masyarakat arus umum yang taat program vaksin sepaket dengan prokesnya atau justru masuk ke dalam kelompok marginal?Â
Jika saudara termasuk ke dalam kelompok yang kedua, Saya hanya bisa berdoa terbaik untuk ketahanan diri dan keyakinan anda, saya salut setidaknya saudara tetap teguh pada prinsip pribadi yang kokoh walau rasanya seisi dunia menghantam saudara. Sekali lagi, semoga ketahanan diri kalian wahai kaum marjinal tetap kokoh sepanjang masa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H