Indonesia mencatatkan dirinya sebagai negara yang memiliki kasus positif virus Corona pada awal Maret, 2020 tepatnya pada tanggal 2 yang mana 2 orang warga negaranya dinyatakan positif virus Corona setelah melakukan kontak fisik dengan Warga Negara Jepang di sebuah pesta dansa yang telah berlangsung di Malaysia. Keduanya merupakan bagian dari keluarga inti, yakni ibu dan anak.
Beberapa pekan setelah virus ini menumbangkan masyarakat Indonesia di pulau jawa khususnya, pemerintah pusat tentu mengambil tindakan yang menurut mereka telah terukur guna menekan laju pertumbuhan kasus.
Paket kebijakan dari paling sederhana yakni dengan mengedukasi masyarakat untuk melakukan tindakan preventif seperti membasuh tangan menggunakan sabun secara keseluruhan, menjaga kesehatan dan meningkatkan imun tubuh, hingga menerbitkan Keputusan Presiden nomor 11 tahun 2020 tentang pemberlakuan status darurat kesehatan akibat pandemi dan Kepres no. 20 yang berisi ketentuan untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PPSB).
Semua kebijakan pemerintah Joko Widodo mengarah kepada satu tujuan, yakni meminta masyarakat agar lebih sering berdiam diri di rumah, melakukan pekerjaan dari rumah, kuliah dan mengadakan aktivitas belajar secara daring, dan melakukan hobi dari rumah. Kegiatan yang dimaklumi bisa dilakukan di luar rumah ialah lari pada pagi hari sebagai usaha berolahraga demi membentuk jasmani yang sehat.
Ancaman Covid-19 selain menyerang sisi kesehatan masyarakat Indonesia, namun ada yang lebih daripada itu lagi dan merupakan elemen paling dasar bagi manusia menurut teori kebutuhan Maslow, ialah sisi kebutuhan fisiologi yang mencakup kebutuhan untuk makan, minum, tempat berteduh, dan beristirahat.
Sedangkan jika meminjam sudut pandang para pakar keamanan manusia, ada satu sisi yang paling terdampak oleh Covid-19 yang mana juga merupakan elemen mendasar dan fundamental. Sisi tersebut ialah keamanan ekonomi.
Keamanan ekonomi menjadi keamanan yang paling nomor satu dalam diskursus keamanan manusia. Jika keamanan ekonominya sudah terpenuhi, maka akan memudahkan dirinya untuk mendapat keamanan di dimensi lain.Â
Dalam hal ini, dengan mengambil studi kasus negara Indonesia, ada tingkatan masyarakat yang menghadapi Covid-19 dengan dua ancaman dua kali lipat; ancaman Kesehatan dan ancaman Ekonomi. Mereka adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, yang memiliki pekerjaan di lapangan,Â
mengharuskan dia untuk keluar rumah dan sulit menuruti aturan pemerintah untuk hanya berdiam diri di rumah saja melalui pola Work From Home (WFH) atau kerja dari rumah. Masyarakat yang tergolong dalam kasta ini ialah yang bekerja sebagai pengemudi ojek online dan konvensional, Pedagang Kaki Lima (PKL), Pedagang Warung Makan dan Minuman pinggiran jalan, Pedagang pada umumnya di pasar-pasar tradisional, dan lain sebagainya.
Meninjau kondisi sebagian masyarakat Indonesia yang masih menyandarkan mata pencahariannya dengan keluar rumah, membuat pemerintah pusat Indonesia masih belum percaya diri untuk menerapkan kebijakan Lockdown sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemerintah negara Cina dan Italia.
Direktur Riset Center of Reform on Economy menguatkan bahwa kendati pemerintah mengambil kebijakan lockdown ataupun tidak, pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi besar anjlok hingga turun ke -2% dan lamanya berangsur-angsur hingga triwulan III dan triwulan IV tahun 2020 (Caesar Akbar, 2020). Covid-19 menjadi parasit ekonomi Indonesia, satu-satunya keadaan yang bisa membalikkan ekonomi menjadi seperti semula, ialah ketika Covid-19 berlalu dari Indonesia.
Masyarakat Indonesia jika dikelompokkan berdasarkan kapasitas ekonominya terbagi ke dua kelompok besar dalam memberikan reaksi kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kelompok pertama disebut kelompok actively obidient yakni mereka yang mengetahui skema protokol kesehatan dan usaha-usaha preventif terhadap Corona dan turut mematuhi apa yang telah disampaikan otoritas-otoritas terkait.Â
Masyarakat actively obedient merupakan dari golongan masyarakat kelas menengah ke atas dengan berprofesi formal. Diantaranya tenaga pengajar, karyawan perusahaan, dan aparat sipil negara.
Oleh karena itu, mereka bisa tetap bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH), menahan diri agar tidak keluar rumah untuk keperluan yang tidak mendesak, memiliki akses layanan kesehatan yang sangat baik, dan tiada kekurangan pada kebutuhan fisiologinya.
Kelompok kedua ialah mereka yang mengetahui arahan dari pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan virus dan protokol kesehatan yang telah disampaikan, namun terpaksa tidak bisa menerapkannya secara utuh karena mereka harus menutupi kebutuhan pokoknya dengan bekerja keluar rumah.
Umumnya mereka bekerja secara individual, informal, dan tidak terikat pada suatu instansi besar/resmi, diantara jenis pekerjaan dari kelompok ini ialah pedagang kaki lima (PKL), petani, pengemudi ojek daring, dan pemilik UMKM yang biasa mendirikan tenant sederhana di suatu tempat ramai.
Kelompok kedua disebut passively obedient karena mereka pada dasarnya berprilaku untuk taat pada arahan pemerintah namun dalam kondisi yang tertekan mereka terpaksa untuk mengesampingkan aturan tersebut dan menjadi orang patuh aturan secara pasif.
Menyoroti reaksi masyarakat kelas menengah ke bawah dan dampak ekonomi terhadap aturan yang diberlakukan oleh pemerintah pusat yang dipimpin oleh Joko Widodo sedikit banyak menyisakan bentuk-bentuk prilaku sosial yang cenderung untuk berbuat sesuatu demi terjaminnya keamanan ekonomi dirinya.
Pemerintah Indonesia memang secara resmi sudah menyatakan bahwa tidak mengambil kebijaksanaan untuk mempraktikan kebijakan penguncian wilayah (lockdown) sebagaimana yang dilaksanakan oleh negara Italia dan China.
Salah satu dasar pertimbangan kebijakan ini ialah masyarakat Indonesia dominan bekerja sehari-hari sebagai pekerja informal. Apalagi total pekerja informal di Indonesia lebih banyak dari pekerja formal. Total pekerja formal sebanyak 55.272.968 orang dan masyarakat yang berstatus pekerja informal sejumlah 74.093.224 orang (Syaifudin, 2020).
Bercermin dari data ini pemerintah sudah faham bahwa langkah physical distancing yang sebelumnya ditetapkan sebagai social distancing menjadi pilihan terbaik bagi kondisi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan analisa secara sosiologi, Masyarakat Indonesia pada umumnya berada pada kondisi stabil sebelum datangnya pandemi Covid-19. Lantas, keadaan stabil ini seketika berubah drastis seiring dengan berkembangnya perilaku-perilaku tidak sehat dari masyarakat Indonesia yang terdampak Covid-19.
Panic buying, penyebaran data korban yang palsu, mengikuti pola preventif dan pengobatan yang tidak sesuai dengan anjuran medis, dan mendatangi rentenir-rentenir konvensional ataupun digital karena lembaga keuangan seperti Bank sedang tidak bisa beroperasi normal. Prilaku irrasional ini relatif terjadi bagi masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah episentrum.
Bersamaan dengan pola tingkah laku masyarakat yang tidak normal, masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi kelompok masyarakat yang terdampak dua kali. Pertama karena dampak ancaman Covid-19, kedua dampak dari pola masyarakat yang berekonomi memadai dan berlebih seperti melakukan panic buying dengan bisa memborong persediaan di toko-toko dan ketika mereka berdiam diri di rumah.
Untungnya, dari pemerintah sendiri mulai mengakomodasi kebutuhan untuk mereka yang harus berkerja di jalanan dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada sektor ekonomi, jasa, dan barang tentu sektor kesehatan. Orang-orang berekonomi yang kurang terpaksa harus tetap melakukan pekerjaan dengan keluar rumah (passively obedient) dalam rangka untuk menjaga keadaan ekonomi keluarganya stabil.
Reaksi masyarakat dari kebijakan pemerintah pusat, seperti penjelasan di paragraf sebelumnya, terbagi ke dalam dua kelompok besar. Bagaimanapun, yang perlu diperhatikan lebih ialah reaksi dari masyarakat kelas menengah ke bawah bahwa mereka secara terdesak harus menabrak kebijakan physical distancing yang disampaikan langsung oleh Menkopulhukam Mahfud MD (Taher, 2020).Â
Salah satu temuan nyata di lapangan menuturkan seorang pekerja informal bernama Yanto yang setiap hari menawarkan dagangan sayurnya mengakui bahwa dia tidak ada pilihan lain selain tetap berkeliling di daerah Setiabudi, Jakarta Selatan, bertemu dan berinteraksi langsung secara dekat dengan masyarakat umum saban hari untuk memastikan bahwa bendahara rumah tangganya tetap menerima pemasukan dari pekerjaanya sebagai pedagang sayur (Aghnia Adzkia, 2020).Â
Berpegang kepada teori kebutuhan Maslow bahwa dorongan untuk mengamankan ihwal ekonomi dari masyarakat kaum menengah ke bawah ini timbul secara alami dan tidak akan selesai sampai dia bisa benar-benar memenuhinya.
Yanto justru terang-terangan berkata bahwa dia masih akan tetap berjualan sekalipun Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan PP Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sikap ini menunjukkan bahwa segala halangan akan tetap dilewati asalkan hajat fisiologi terpenuhi dengan maksimal.
Keinginan untuk menjejali jasmani dengan hajat makan, minum, dan istirahat selalu dan mutlak terjadi karenaÂ
karakteristik masyarakat berekonomi rendah di Indonesia cenderung masih belum terbebas dari freedom from want.
Mereka yang "miskin" akan berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhan fisiologinya tanpa menghiraukan hambatan-hambatan di sekelilingnya. Seseorang yang belum terbebas dari keinginannya atau belum mampu mencapai posisi freedom from want tidak akan bisa ditekan dengan hukum-hukum yang berlawanan dengan apa yang menjadi objek tujuannya. Justru dia tidak terlalu menghiraukan fear yang ada.
Dalam rentang waktu Januari - Mei di Indonesia, fear dalam masa-masa seperti ini ialah penuh dengan ketakutan dari ancaman mematikan Covid-19. Sebaliknya, mereka yang sudah selesai atau sudah mampu berada di posisi freedom from want, hanya tinggal berfokus untuk memenuhi freedom from want.
Bisa dilihat, beberapa masyarakat Indonesia yang memiliki harta lebih, dia dengan mudah bisa membeli barang-barang dengan skala besar, mendapat akses layanan kesehatan memadai, dan mendapat akses informasi yang lengkap.
Maka dari itu, orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok actively obedient terhadap beleid yang telah digariskan oleh pemerintah adalah orang-orang yang dalam perspektif keamanan manusia sebagai kelompok masyarakat yang telah bebas dari want, sedangkan kelompok passively obedient adalah orang yang aspek keinginannya belum terpenuhi, apalagi gatra freedom for fear-nya.
Rangkaian prosedur pemerintah Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo dalam menangani Covid-19 dan reaksi masyarakat kelas proletar sudah menunjukkan hasrat dan motiv yang kuat untuk menjamin keamanan ekonomi setiap individu masing-masing dapat terbentuk.
Keamanan ekonomi sendiri menjadi jantung keberlangsungan hidup manusia di dalam situasi dan kondisi apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H