Bersamaan dengan pola tingkah laku masyarakat yang tidak normal, masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi kelompok masyarakat yang terdampak dua kali. Pertama karena dampak ancaman Covid-19, kedua dampak dari pola masyarakat yang berekonomi memadai dan berlebih seperti melakukan panic buying dengan bisa memborong persediaan di toko-toko dan ketika mereka berdiam diri di rumah.
Untungnya, dari pemerintah sendiri mulai mengakomodasi kebutuhan untuk mereka yang harus berkerja di jalanan dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada sektor ekonomi, jasa, dan barang tentu sektor kesehatan. Orang-orang berekonomi yang kurang terpaksa harus tetap melakukan pekerjaan dengan keluar rumah (passively obedient) dalam rangka untuk menjaga keadaan ekonomi keluarganya stabil.
Reaksi masyarakat dari kebijakan pemerintah pusat, seperti penjelasan di paragraf sebelumnya, terbagi ke dalam dua kelompok besar. Bagaimanapun, yang perlu diperhatikan lebih ialah reaksi dari masyarakat kelas menengah ke bawah bahwa mereka secara terdesak harus menabrak kebijakan physical distancing yang disampaikan langsung oleh Menkopulhukam Mahfud MD (Taher, 2020).Â
Salah satu temuan nyata di lapangan menuturkan seorang pekerja informal bernama Yanto yang setiap hari menawarkan dagangan sayurnya mengakui bahwa dia tidak ada pilihan lain selain tetap berkeliling di daerah Setiabudi, Jakarta Selatan, bertemu dan berinteraksi langsung secara dekat dengan masyarakat umum saban hari untuk memastikan bahwa bendahara rumah tangganya tetap menerima pemasukan dari pekerjaanya sebagai pedagang sayur (Aghnia Adzkia, 2020).Â
Berpegang kepada teori kebutuhan Maslow bahwa dorongan untuk mengamankan ihwal ekonomi dari masyarakat kaum menengah ke bawah ini timbul secara alami dan tidak akan selesai sampai dia bisa benar-benar memenuhinya.
Yanto justru terang-terangan berkata bahwa dia masih akan tetap berjualan sekalipun Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan PP Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sikap ini menunjukkan bahwa segala halangan akan tetap dilewati asalkan hajat fisiologi terpenuhi dengan maksimal.
Keinginan untuk menjejali jasmani dengan hajat makan, minum, dan istirahat selalu dan mutlak terjadi karenaÂ
karakteristik masyarakat berekonomi rendah di Indonesia cenderung masih belum terbebas dari freedom from want.
Mereka yang "miskin" akan berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhan fisiologinya tanpa menghiraukan hambatan-hambatan di sekelilingnya. Seseorang yang belum terbebas dari keinginannya atau belum mampu mencapai posisi freedom from want tidak akan bisa ditekan dengan hukum-hukum yang berlawanan dengan apa yang menjadi objek tujuannya. Justru dia tidak terlalu menghiraukan fear yang ada.
Dalam rentang waktu Januari - Mei di Indonesia, fear dalam masa-masa seperti ini ialah penuh dengan ketakutan dari ancaman mematikan Covid-19. Sebaliknya, mereka yang sudah selesai atau sudah mampu berada di posisi freedom from want, hanya tinggal berfokus untuk memenuhi freedom from want.
Bisa dilihat, beberapa masyarakat Indonesia yang memiliki harta lebih, dia dengan mudah bisa membeli barang-barang dengan skala besar, mendapat akses layanan kesehatan memadai, dan mendapat akses informasi yang lengkap.
Maka dari itu, orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok actively obedient terhadap beleid yang telah digariskan oleh pemerintah adalah orang-orang yang dalam perspektif keamanan manusia sebagai kelompok masyarakat yang telah bebas dari want, sedangkan kelompok passively obedient adalah orang yang aspek keinginannya belum terpenuhi, apalagi gatra freedom for fear-nya.