Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Persoalan Batas yang Asing

13 Februari 2024   15:28 Diperbarui: 13 Februari 2024   19:50 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Kepulauan Indonesia yang tidak mengenal konsep batas yang rigid ditabrak oleh keharusan ilmiah dan semangat zaman baru untuk menciptakan batas-batas yang jelas, dalam wilayah, dalam hukum, dalam moral, dan dalam konsep-konsep yang paling abstrak. Sebenarnya, konflik semacam ini paling nyata dan paling mudah dapat kita tunjukkan lewat konflik Laut Cina Selatan. 

Bagaimana Cina yang tua harus berurusan dengan negara-negara pascakolonial yang melukiskan batas wilayahnya lewat konsesi-konsesi kolonial. Malaysia, misalnya, adalah Malaya Inggris yang merdeka. Namun, tentu saja entitas politik yang lebih kuno seperti Kesultanan Malaka tidak punya batas seperti Malaysia sekarang. 

Asia Tenggara---dan saya berargumen termasuk juga Thailand---adalah rangkaian negara-negara yang batasnya adalah batas kolonial. Ketika ia berhadapan dengan Cina yang tidak mengalami kolonialisme penuh dan yang batasnya tidak ditentukan lewat konsesi Eropa, kedua konsep batas pun berbenturan. Cina mengemukakan klaim historis berdasarkan peta tradisional mereka. Dilawan oleh negara-negara tetangga yang menggunakan peta batas kolonial dan modern. Dua ide yang tidak dapat didudukkan bersama.

Dalam pola yang berbeda, perang konsep ini juga terjadi sepanjang waktu di Indonesia. Ketika satu pihak menggunakan argumen hukum murni dengan batas-batasnya yang tidak mempertimbangkan fluktuasi konsep batas dalam masyarakat yang digunakan sebagai argumen oleh kelompok lawannya, konflik ideal pun pecah. Dualisme konsep, kebimbangan epistemologis, dan berbagai macam konflik intelektual yang terjadi hari ini secara tidak langsung merupakan residu dari konstruksi kolonial. Kolonialisme memengaruhi negeri jajahan, sebenarnya, dalam taraf yang sangat mendalam dan kadang tanpa disadari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun