Masyarakat Kepulauan Indonesia yang tidak mengenal konsep batas yang rigid ditabrak oleh keharusan ilmiah dan semangat zaman baru untuk menciptakan batas-batas yang jelas, dalam wilayah, dalam hukum, dalam moral, dan dalam konsep-konsep yang paling abstrak. Sebenarnya, konflik semacam ini paling nyata dan paling mudah dapat kita tunjukkan lewat konflik Laut Cina Selatan.Â
Bagaimana Cina yang tua harus berurusan dengan negara-negara pascakolonial yang melukiskan batas wilayahnya lewat konsesi-konsesi kolonial. Malaysia, misalnya, adalah Malaya Inggris yang merdeka. Namun, tentu saja entitas politik yang lebih kuno seperti Kesultanan Malaka tidak punya batas seperti Malaysia sekarang.Â
Asia Tenggara---dan saya berargumen termasuk juga Thailand---adalah rangkaian negara-negara yang batasnya adalah batas kolonial. Ketika ia berhadapan dengan Cina yang tidak mengalami kolonialisme penuh dan yang batasnya tidak ditentukan lewat konsesi Eropa, kedua konsep batas pun berbenturan. Cina mengemukakan klaim historis berdasarkan peta tradisional mereka. Dilawan oleh negara-negara tetangga yang menggunakan peta batas kolonial dan modern. Dua ide yang tidak dapat didudukkan bersama.
Dalam pola yang berbeda, perang konsep ini juga terjadi sepanjang waktu di Indonesia. Ketika satu pihak menggunakan argumen hukum murni dengan batas-batasnya yang tidak mempertimbangkan fluktuasi konsep batas dalam masyarakat yang digunakan sebagai argumen oleh kelompok lawannya, konflik ideal pun pecah. Dualisme konsep, kebimbangan epistemologis, dan berbagai macam konflik intelektual yang terjadi hari ini secara tidak langsung merupakan residu dari konstruksi kolonial. Kolonialisme memengaruhi negeri jajahan, sebenarnya, dalam taraf yang sangat mendalam dan kadang tanpa disadari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H