Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Persoalan Batas yang Asing

13 Februari 2024   15:28 Diperbarui: 13 Februari 2024   19:50 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah batas muncul pertama kali dalam pikiran saya ketika beberapa kali saya menumpang kapal laut melintasi Laut Jawa pada akhir tahun 2023 maupun Teluk Dodinga pada akhir tahun 2022. Pemikiran saya waktu itu mungkin tidak relevan secara kultural sebab saya bertanya-tanya tentang batas kekuasaan Ratu Kidul, penguasa laut bagian selatan Jawa dan Bali. 

Dalam pandangan awam saya tentang lautan, perairan itu tidak punya batasan. Semuanya menyambung dan membentuk suatu badan perairan raksasa yang menyambungkan seluruh daratan di dunia. Tentu saja, hukum baru berkata sebaliknya. Namun, Ratu Kidul adalah entitas adikodrati yang seharusnya tidak tunduk pada batas itu. Dengan demikian, saat kita berlayar dari Laut Selatan Jawa dan Bali, kapan kekuasaan sang ratu hilang dan digantikan, misalnya, dengan wilayah entitas mistik lain seperti putri duyung atau naga air? Sayang sekali, dalam tulisan ini sekalipun, saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu.

Namun, sebagai seorang warga kebudayaan yang tumbuh dan menginternalisasi kebudayaan Kepulauan Indonesia, kebimbangan dan ketidakmampuan untuk menjabarkan konsep "batas" saya rasa merupakan suatu hal yang masuk akal. Lebih-lebih bila kita membicarakan batas yang abstrak seperti kekuasaan. Gonjang-ganjing yang terjadi menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024 menurut saya juga berkaitan dengan persoalan batas. Batas yang jadi persoalan di sini adalah batas hukum, batas moral, dan batas kekuasaan. 

Semuanya merupakan konsep batas yang abstrak seperti halnya contoh yang saya kemukakan pada permulaan tulisan ini. Kelompok Presiden Joko Widodo dan putranya, Gibran Rakabuming, yang menjadi barisan calon presiden Prabowo Subianto menggunakan batas hukum sebagai penjelasan tindakan-tindakan mereka selama masa menjelang pemilu. Kelompok yang berseberangan dengan tindakan-tindakan itu menggunakan batas moral dan batas kekuasaan untuk menjelaskan bagaimana tindakan tadi tidak dibenarkan dalam proses bernegara. Masalahnya, semua konsep batas yang digunakan untuk saling berdebat merupakan konsep yang fluktuatif dan satu di antaranya, konsep yang asing.

Masyarakat Kepulauan Indonesia tidak familiar dengan konsep batas yang padat dan pasti. Batas kekuasaan raja, misalnya, yang dalam alam pikir Eropa seharusnya pasti dan konkret, tidak menemukan wujudnya di Kepulauan Indonesia. Batas Kerajaan Majapahit selalu berevolusi mengikuti muruah dari penguasanya. Demikian juga berbagai macam kerajaan tradisional yang lain. 

Pada periode klasik, kekuasaan bahkan tidak dihitung berdasarkan luas wilayah, melainkan jumlah penduduk. Penduduk, di lain sisi, punya pilihan untuk meninggalkan raja dan sistem kekuasaan yang tidak menguntungkan mereka. Beberapa pendapat kemudian lahir dari sifat fluktuatif dari kekuasaan lama Indonesia itu, yaitu bahwa perpindahan pusat kekuasaan pada periode klasik mungkin berkaitan dengan kuasa rakyat yang mampu melarikan diri dari sistem kekuasaan yang melelahkan mereka. Rakyat melakukan perpindahan karena pola kekuasaan sering berkait dengan kondisi geografis. 

Masyarakat pendukung di Jawa bagian tengah yang subur secara langsung dipengaruhi geografi untuk menjadi masyarakat agraris. Pola kehidupan agraris kemudian menghadirkan jeda waktu dalam siklus hidup masyarakat petani sebab kegiatan mereka mengikuti pola tanam. Dalam masa jeda---setelah tanam dan menunggu panen---di mana tidak banyak hal yang harus dilakukan di sawah dan ladang, penguasa punya keleluasaan untuk melakukan mobilisasi. Mobilisasi itu dapat berbentuk mobilisasi militer atau pembangunan, atau pekerjaan lain yang dikehendaki penguasa. 

Pola kehidupan dan tindakan kekuasaan yang berkait erat dengan geografi inilah yang membuat jalan keluar terakhir bagi penduduk adalah dengan meninggalkan kondisi geografi itu sendiri---bermigrasi. Dalam kaitan ini, kegagalan pembentukan masyarakat kapitalis juga pada akhirnya menjadi akibat yang logis. 

Masyarakat yang berpindah itu seminimalis mungkin menyimpan kekayaan yang bersifat modal apalagi yang tidak bergerak. Tanah dengan mudah menjadi suatu kepemilikan yang semu sebab semua tanah adalah milik raja. Pembentukan masyarakat kapitalis kemudian hanya mampu tumbuh di kota-kota pelabuhan yang jauh dari kekuasaan. Di pedalaman, raja adalah satu-satunya kekuatan kapitalis.

Pengetahuan modern yang berkembang di institusi pendidikan Indonesia pascakolonial merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan kolonial. Standar keilmiahan yang dipegang adalah standar khas Eropa tentang sistem pengetahuan yang disebut logis. Konflik ide kemudian muncul ketika struktur pengetahuan yang asing itu bertemu dengan ide abstrak yang berkembang dan diinternalisasi oleh masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun