Jika ada satu hal yang boleh saya bagi sebagai orang dari Jawa Timur yang pindah ke Jakarta baru saat mengenyam kuliah, hal itu adalah lunturnya pandangan majestik tentang ibu kota pemerintahan. Ilusi tentang pemerintah yang jauh, tinggi, dan terhormat sirna seiring dengan persentuhan berkali-kali dengan pejabat nasional di Jakarta.Â
Anda dapat melihat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (lahir 1962) berjalan di selasar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), atau eks Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Gatot Nurmantyo (lahir 1960) memberi kuliah umum di mana-mana, atau bahkan melihat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani (lahir 1973) sedang lari pagi di Gelora Bung Karno. Akses terhadap kekuasaan terasa riil dan tabir-tabir kekuasaan berubah menjadi bening. Konsekuensi sampingannya, pejabat yang sebelumnya jauh, tinggi, dan terhormat menjadi sekadar orang-orang biasa, "orang-orang lain, biasa, dan mudah dilupakan".
Ketika calon-calon kontestan melewati tapal batas ke ruang digital, robeknya tabir jarak semacam tadi juga terjadi. Masalahnya, generasi Z mungkin merupakan generasi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan para pendahulunya.Â
Bagi generasi pra-1996, tabir adalah norma, runtuhnya tabir adalah tujuan. Bagi generasi Z, akses dan keterbukaan adalah norma, tabir merupakan konsep asing yang mungkin agak menawan.Â
Tujuan generasi Z mungkin memang bukan memasang kembali tabir sosial dan politik. Namun, adanya tabir, adanya jarak, merupakan salah satu kunci suatu objek dianggap sebagai hal yang menarik.Â
Generasi sebelum 1996 terlalu terbiasa dengan jarak yang lebar dan tembok-tembok sosial-politik yang kokoh sehingga sosok presiden seperti Joko Widodo (lahir 1961) yang menyingkap tabir dengan turun ke gang-gang sempit merupakan puncak dari ekspresi tujuan mereka. Namun, generasi baru tidak hidup dalam kungkungan zaman Orde Barunya Pak Harto (1967--1998) atau Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno (1959--1967). Dengan demikian, mudah dipahami bahwa mereka, kami, juga memiliki sistem nilai yang berbeda.
Telah mengatakan semua ini, barangkali akan ada---dan lebih mungkin lagi dari generasi sebelumnya---yang menganggap bahwa tujuan progresif peradaban seharusnya adalah keterbukaan yang egaliter. Namun, zaman kadang berubah di luar pemahaman generasi lama dan sistem nilai juga berubah seiringnya. Dan mungkin, atau pasti, tidak ada cara untuk membatalkan perubahan itu. Ketika kita tidak bisa membatalkannya, potongan lirik dari Bob Dylan (lahir 1941) ini mungkin bisa menghibur:
"[...] Datanglah, wahai para ibu, para ayah, dan janganlah kalian kritik sesuatu yang tak kalian pahami; para putra dan para putri kalian tak lagi di bawah titah kalian; jalan kuno kalian sedang menjadi reyot, tolong keluarlah dari jalan yang baru kalau kalian tak lagi bisa membantu [...]." (The Times They are a-Changin', rilis tahun 1965 di tengah protes besar-besaran terhadap Perang Vietnam).
Penulis
Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Ia merupakan konsultan riset pada School of Humanities, Nanyang Techological University (NTU) Singapura.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H