Indonesia akan menyongsong pemilihan umum eksekutif dan legislatif kurang dari enam bulan lagi. Percaturan politik yang berkembang hingga awal September 2023 ini menempatkan tiga nama pada puncak penghitungan sementara dukungan publik, yaitu Ganjar Pranowo (lahir 1968) usungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Anies Rasyid Baswedan (lahir 1969) usungan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan koalisinya, serta Prabowo Subianto (lahir 1951) usungan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Survei popularitas ketiganya fluktuatif. Namun, dua nama yang kini saling salip-menyalip adalah Ganjar dan Prabowo.
Dalam bingkai survei yang diadakan banyak lembaga survei dan penelitian terkemuka di Indonesia, popularitas Prabowo mengungguli Ganjar pada populasi survei generasi Z (kelahiran 1996--2010). Setidaknya, survei Litbang Kompas menunjukkan tren ini.Â
Beberapa media massa telah mencoba menguak sebab-sebab yang mungkin mendasari popularitas Prabowo di kalangan generasi Z. BBC Indonesia menjejerkan serangkaian analisis berdasarkan pendapat generasi Z sendiri.Â
Pada pokoknya, ada dua faktor kuat di belakang popularitas Prabowo, yaitu ketiadaan pengalaman historis terhadap periode kerusuhan 1998 dan persona baru Prabowo pada media sosial yang menampilkan sosok lucu---lengkap dengan persahabatannya dengan binatang.
Persoalan pertama cukup serius mengingat Prabowo memang memegang jabatan militer prominen pada periode kerusuhan 1998 dan secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam teater konflik.Â
Selain itu, keterlibatannya dalam pendudukan Indonesia di Timor Leste juga sempat disinggung oleh mantan Gubernur Indonesia untuk Timor Timur, Mario Viegas Carrascalao (menjabat 1982--1992).Â
Carrascalao dalam audiensi publik nasional untuk pembahasan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste (28--29 April 2003) menyebut nama Prabowo sebagai dalang utama Pembantaian Kraras tahun 1983 yang menewaskan lebih dari 200 orang, kebanyakan laki-laki---meninggalkan Desa Kraras sebagai "desa para janda".Â
Ingatan kolektif ini adalah ganjalan paling besar yang menghalangi dukungan generasi pra-1996 untuk menambatkan dukungan pada Prabowo. Ada semacam kesadaran sejarah yang melekat. Generasi baru pasca-1996, entah sayangnya atau untungnya, tidak berbagi memori kolektif ini.Â
Persoalan kedua mungkin tidak terlihat terlalu penting, tetapi berkontribusi kuat pada pembentukan persona baru Prabowo di hadapan publik muda yang tak dirangkul oleh memori kolektif kerusuhan 1998. Kucing dan kuda mematrikan sosok baru Prabowo yang dipandang humoris dan humanis. Kedua hasil analisis tersebut benar dalam tataran realitas.
Media massa tidak berhenti pada analisis terhadap realitas. Tidak jarang media massa juga melakukan peramalan dan memberikan saran kepada calon-calon kontestan pemilihan umum agar mereka dapat meraup suara lebih banyak dan luas.Â
Satu saran strategi yang selalu diulang-ulang media massa adalah saran untuk meningkatkan promosi digital calon kontestan, yaitu meningkatkan keberadaan persona maya mereka.Â
Para kontestan hendaknya, menurut media, lebih sering bersosial media. Argumennya cukup sederhana, generasi Z yang akan menempati persentase besar pemilih tahun 2024 tumbuh, berkembang, hidup---dan bahkan mungkin "mati"---di dunia digital. Dunia digital adalah ekosistemnya generasi Z. Menggaet generasi Z harus dimulai dengan hidup sedunia dengan mereka. Apakah ini adalah saran yang mencerahkan atau menyesatkan?
Sebelum menjawabnya, menarik untuk meletakkan ke atas meja sebuah kenyataan yang kontras dari saran tadi. Tingkat keberadaan digital dari tiga calon kontestan pemilu yang disebut di atas berbanding terbalik dengan popularitasnya di kalangan generasi Z.Â
Dihitung dari jumlah cuitan di Twitter setelah tahun 2020 saja, urutan tingkat tertinggi keaktifan media sosial kandidat secara berturut-turut adalah Ganjar, Anies, dan, paling bontot, Prabowo. Dilihat lewat fakta sederhana itu, apakah meningkatkan aktivitas digital justru akan meningkatkan popularitas calon?
Media-media umum tadi tampaknya menggunakan ukuran penilaian yang dirancang untuk menilai generasi pra-1996 dalam menilai generasi Z. Muda dan tidak terikat pada norma periode lampau---seperti jelas ditunjukkan lewat keengganan mereka untuk melihat pengalaman 1998 sebagai pengalaman pribadi mereka---generasi Z adalah generasi enigmatik yang kompleks.Â
Strategi yang disarankan media, yaitu dengan meningkatkan keberadaan digital, aslinya sekadar memindah Lapangan Kuru (baca: medan pertempuran) dari dunia nyata ke dunia maya.Â
Menunjukkan liputan aktivitas di media sosial tidak berbeda dengan memasang baliho calon dari yang sebelumnya di persimpangan jalan ke media baru: Twitter, Instagram, dan lainnya. Ganjar, dan mungkin Anies, telah membuktikan bahwa pemindahan medan perang ke dunia digital tidak memberikan dampak yang sedemikian signifikan.
Masalahnya, dengan memindahkan medan, calon menghayatkan dirinya sebagai warga dari dunia media baru. Artinya, ia menegaskan bahwa ia tak berjarak---dan tak jauh berbeda pula---dengan generasi Z yang telah menjadi suku asli dunia maya.Â
Internalisasi ini menjadi tidak tepat sasaran ketika kita mempertimbangkan bahwa generasi Z telah khatam memahami pola dunia maya, apa pun yang ditampilkan di dunia maya adalah "konten". Konten tersebut dirancang dalam bingkai wacana yang menunjukkan hal-hal yang sekadar ingin ditunjukkan. Ini adalah norma media baru yang jadi tanah airnya generasi Z.Â
Dengan mencoba menjadi warga maya, calon-calon kontestan diletakkan ke dalam cetakan norma dunia maya tadi. Generasi Z dengan kerangka berpikirnya terhadap dunia maya juga pasti terpengaruh untuk berpikir bahwa apa-apa yang ditampilkan calon kontestan merupakan konten-konten yang diarsitekturi dengan sengaja. Akhirnya, calon kontestan tidak lagi dipandang sebagai objek asing yang berpeluang populer, tetapi justru sekadar warga bumiputra lainnya di jagat digital---orang biasa.
Jika ada satu hal yang boleh saya bagi sebagai orang dari Jawa Timur yang pindah ke Jakarta baru saat mengenyam kuliah, hal itu adalah lunturnya pandangan majestik tentang ibu kota pemerintahan. Ilusi tentang pemerintah yang jauh, tinggi, dan terhormat sirna seiring dengan persentuhan berkali-kali dengan pejabat nasional di Jakarta.Â
Anda dapat melihat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (lahir 1962) berjalan di selasar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), atau eks Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Gatot Nurmantyo (lahir 1960) memberi kuliah umum di mana-mana, atau bahkan melihat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani (lahir 1973) sedang lari pagi di Gelora Bung Karno. Akses terhadap kekuasaan terasa riil dan tabir-tabir kekuasaan berubah menjadi bening. Konsekuensi sampingannya, pejabat yang sebelumnya jauh, tinggi, dan terhormat menjadi sekadar orang-orang biasa, "orang-orang lain, biasa, dan mudah dilupakan".
Ketika calon-calon kontestan melewati tapal batas ke ruang digital, robeknya tabir jarak semacam tadi juga terjadi. Masalahnya, generasi Z mungkin merupakan generasi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan para pendahulunya.Â
Bagi generasi pra-1996, tabir adalah norma, runtuhnya tabir adalah tujuan. Bagi generasi Z, akses dan keterbukaan adalah norma, tabir merupakan konsep asing yang mungkin agak menawan.Â
Tujuan generasi Z mungkin memang bukan memasang kembali tabir sosial dan politik. Namun, adanya tabir, adanya jarak, merupakan salah satu kunci suatu objek dianggap sebagai hal yang menarik.Â
Generasi sebelum 1996 terlalu terbiasa dengan jarak yang lebar dan tembok-tembok sosial-politik yang kokoh sehingga sosok presiden seperti Joko Widodo (lahir 1961) yang menyingkap tabir dengan turun ke gang-gang sempit merupakan puncak dari ekspresi tujuan mereka. Namun, generasi baru tidak hidup dalam kungkungan zaman Orde Barunya Pak Harto (1967--1998) atau Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno (1959--1967). Dengan demikian, mudah dipahami bahwa mereka, kami, juga memiliki sistem nilai yang berbeda.
Telah mengatakan semua ini, barangkali akan ada---dan lebih mungkin lagi dari generasi sebelumnya---yang menganggap bahwa tujuan progresif peradaban seharusnya adalah keterbukaan yang egaliter. Namun, zaman kadang berubah di luar pemahaman generasi lama dan sistem nilai juga berubah seiringnya. Dan mungkin, atau pasti, tidak ada cara untuk membatalkan perubahan itu. Ketika kita tidak bisa membatalkannya, potongan lirik dari Bob Dylan (lahir 1941) ini mungkin bisa menghibur:
"[...] Datanglah, wahai para ibu, para ayah, dan janganlah kalian kritik sesuatu yang tak kalian pahami; para putra dan para putri kalian tak lagi di bawah titah kalian; jalan kuno kalian sedang menjadi reyot, tolong keluarlah dari jalan yang baru kalau kalian tak lagi bisa membantu [...]." (The Times They are a-Changin', rilis tahun 1965 di tengah protes besar-besaran terhadap Perang Vietnam).
Penulis
Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Ia merupakan konsultan riset pada School of Humanities, Nanyang Techological University (NTU) Singapura.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H