Satu saran strategi yang selalu diulang-ulang media massa adalah saran untuk meningkatkan promosi digital calon kontestan, yaitu meningkatkan keberadaan persona maya mereka.Â
Para kontestan hendaknya, menurut media, lebih sering bersosial media. Argumennya cukup sederhana, generasi Z yang akan menempati persentase besar pemilih tahun 2024 tumbuh, berkembang, hidup---dan bahkan mungkin "mati"---di dunia digital. Dunia digital adalah ekosistemnya generasi Z. Menggaet generasi Z harus dimulai dengan hidup sedunia dengan mereka. Apakah ini adalah saran yang mencerahkan atau menyesatkan?
Sebelum menjawabnya, menarik untuk meletakkan ke atas meja sebuah kenyataan yang kontras dari saran tadi. Tingkat keberadaan digital dari tiga calon kontestan pemilu yang disebut di atas berbanding terbalik dengan popularitasnya di kalangan generasi Z.Â
Dihitung dari jumlah cuitan di Twitter setelah tahun 2020 saja, urutan tingkat tertinggi keaktifan media sosial kandidat secara berturut-turut adalah Ganjar, Anies, dan, paling bontot, Prabowo. Dilihat lewat fakta sederhana itu, apakah meningkatkan aktivitas digital justru akan meningkatkan popularitas calon?
Media-media umum tadi tampaknya menggunakan ukuran penilaian yang dirancang untuk menilai generasi pra-1996 dalam menilai generasi Z. Muda dan tidak terikat pada norma periode lampau---seperti jelas ditunjukkan lewat keengganan mereka untuk melihat pengalaman 1998 sebagai pengalaman pribadi mereka---generasi Z adalah generasi enigmatik yang kompleks.Â
Strategi yang disarankan media, yaitu dengan meningkatkan keberadaan digital, aslinya sekadar memindah Lapangan Kuru (baca: medan pertempuran) dari dunia nyata ke dunia maya.Â
Menunjukkan liputan aktivitas di media sosial tidak berbeda dengan memasang baliho calon dari yang sebelumnya di persimpangan jalan ke media baru: Twitter, Instagram, dan lainnya. Ganjar, dan mungkin Anies, telah membuktikan bahwa pemindahan medan perang ke dunia digital tidak memberikan dampak yang sedemikian signifikan.
Masalahnya, dengan memindahkan medan, calon menghayatkan dirinya sebagai warga dari dunia media baru. Artinya, ia menegaskan bahwa ia tak berjarak---dan tak jauh berbeda pula---dengan generasi Z yang telah menjadi suku asli dunia maya.Â
Internalisasi ini menjadi tidak tepat sasaran ketika kita mempertimbangkan bahwa generasi Z telah khatam memahami pola dunia maya, apa pun yang ditampilkan di dunia maya adalah "konten". Konten tersebut dirancang dalam bingkai wacana yang menunjukkan hal-hal yang sekadar ingin ditunjukkan. Ini adalah norma media baru yang jadi tanah airnya generasi Z.Â
Dengan mencoba menjadi warga maya, calon-calon kontestan diletakkan ke dalam cetakan norma dunia maya tadi. Generasi Z dengan kerangka berpikirnya terhadap dunia maya juga pasti terpengaruh untuk berpikir bahwa apa-apa yang ditampilkan calon kontestan merupakan konten-konten yang diarsitekturi dengan sengaja. Akhirnya, calon kontestan tidak lagi dipandang sebagai objek asing yang berpeluang populer, tetapi justru sekadar warga bumiputra lainnya di jagat digital---orang biasa.