Pergerakan kebangsaan dan berbagai kekuatan politik pada masa akhir kolonial selalu mengemukakan ide pemerintahan yang representatif dan demokratis. Namun, kita jangan lupa bahwa, sekali lagi, yang naik ke kursi pemerintahan adalah golongan elite---seperti label tepat yang disematkan oleh Robert van Niel (Munculnya Elit Modern Indonesia, 1984).Â
Konsekuensinya, kekuasaan juga tetap akan bersifat sentralistik dan pasifistik terhadap saingan-saingan politik. Ini ditunjukkan oleh Presiden Soekarno (menjabat, 1945--67) setelah Indonesia mencapai posisi politik yang stabil di mata internasional pada pertengahan dekade 1950-an. Pada tahun 1957, Soekarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin (1957--66) yang menuai banyak kritik yang juga datang dari kalangan elite terpelajar Indonesia. Upanya perebutan kekuasaan sekali lagi bermain pada tahun 1965 dan berlanjut setidaknya hingga 1966 atau 1967.
Pada episode tersebut, Soeharto---yang lagi-lagi juga berasal dari golongan elite di dalam militer Indonesia---muncul sebagai pihak kontra kekuasaan dan setelahnya mengambil kursi presiden (1967--98).Â
Jika sebelumnya sifat kekuasaan menjadi sentralistik karena Soekarno menggunakan dasar Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan doktrin politik Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom), Soeharto menjadi sangat pasifistik terhadap saingan politik dengan menggunakan asas tunggal Pancasila---membabat semua musuh politik dengan berbagai aturan dan stigma yang disematkan. Sekali lagi, pola kekuasaan tidak berubah meskipun terjadi kegaduhan besar, perebutan kekuasaan, dan kudeta.Â
Setelah lebih dari tiga puluh tahun memerintah, Soeharto dijatuhkan melalui demonstrasi besar Reformasi 1998---yang juga dijalankan oleh golongan elite, yaitu mahasiswa dan aktivis politik berbagai spektrum, serta kembali menempatkan elite di tampuk pemerintahan.Â
Kita juga mungkin dapat melihat, seperti yang sempat diungkapkan oleh Guru Besar Universitas Pertahanan Indonesia, Salim Said, bahwa babak pascareformasi masih menunjukkan kecenderungan pola kekuasaan yang sama-sama pasifistik melalui interpretasi pemerintah terhadap Pancasila.Â
Dengan demikian, kita dapat sekali lagi bertanya, apakah akan ada perubahan mendasar yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrat atau entitas-entitas politik lain ketika perebutan kekuasaan atau kudeta itu selalu terjadi di dalam lingkaran elite?
Daftar Sumber
- Koch, D. M. G. 1950. Om de Vrijheid: De Nationalistische Beweging in Indonesie [Menuju Kemerdekaan: Pergerakan Nasional di Indonesia]. Jakarta: Pembangunan.
- Niel, Robert van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Ong Hok Ham. 2018. Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: KPG.
- Steinberg, David Joel (ed.). 1971. In Search of Southeast Asia: A Modern History. Honolulu: University of Hawaii Press.
- Vlekke, Bernard H. M. 2016Â Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakata: KPG.
Penulis
Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kuno dan sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Sejak tahun 2019, menjadi asisten peneliti Prof. Gregor Benton pada School of History, Archaeology, and Religion, Cardiff University. Sejak tahun 2020, menjadi asisten peneliti Prof. Peter Carey.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H