Sampai pertengahan bulan Maret 2021, isu beberapa episode perebutan kekuasaan di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara tetap mengemuka. Sejak permulaan tahun, kudeta militer di Myanmar (1 Februari 2021) dan gonjang-ganjing perebutan kursi kepemimpinan Partai Demokrat (1 Februari 2021--sekarang) terus menjadi perbincangan di dalam ruang berita dan media sosial.Â
Di kala militer Myanmar mulai menyerbu berbagai gedung vital pemerintahan dan kediaman tokoh politik Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD, National League for Democracy)---partai kubu sipil Myanmar di bawah naungan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi (menjabat 2016--21), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY; Ketua Umum Partai Demokrat, 2020--sekarang) mengumumkan siaran pers di Jakarta tentang adanya upaya perebutan posisi ketua umum Partai Demokrat.
Sejak pengumuman AHY tersebut, perhatian media nasional tertuju pada berbagai tindakan, manuver, dan kegaduhan politik seputar Partai Demokrat. Permasalahan permulaannya sebenarnya cukup jelas, Partai Demokrat di dalam tubuhnya telah terbagi menjadi dua suara---orang-orang yang mendukung status quo kekuasaan kelompok Yudhoyono dan orang-orang yang tidak puas dengan perputaran kekuasaan di kalangan keluarga tersebut.Â
Namun demikian, suara ketidakpuasan itu tidak berasal semata-mata dari orang-orang tak berkuasa dan tak berpengaruh, tetapi justru dari kelompok yang juga memiliki pengaruh kuat di dalam tubuh Partai Demokrat sendiri. Kubu AHY menggunakan pendirian legalitas dalam mempertahankan posisinya, sedangkan kelompok kontra---yang belakangan disebut sebagai kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang (5 Maret 2021)---menggunakan pendirian bahwa mereka kontra oligarki untuk membenarkan manuver politiknya.Â
Bila kita memperhatikan dengan terang, perdebatan di media-media mengemukakan bahwa sebenarnya argumen kedua kubu tidak pernah bertemu dan tidak pula saling mematahkan. Argumen dari kelompok AHY selalu mengungkit adanya keterlibatan kekuatan luar di dalam diri Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan Indonesia, 2018--sekarang) dan legalitas KLB berdasarkan aturan kepartaian.Â
Sedangkan, kelompok KLB Deli Serdang selalu mempermasalahkan realita oligarki yang tercermin di dalam konstelasi kepengurusan Partai Demokrat di bawah AHY. Secara ringkas, kedua argumen ini tidak saling menjawab---kubu AHY tidak dapat mematahkan kesan oligarki yang disematkan kepadanya dan kubu KLB Deli Serdang juga tak menunjukkan bantahan meyakinkan terhadap kesan ilegal yang dituduhkan padanya.
Namun, pertanyaan paling penting yang seharusnya diajukan oleh publik awam di tengah kegaduhan politik ini adalah apakah hasil akhir perseteruan kedua kubu akan membawa perubahan yang berarti bagi masyarakat umum? Taraf pengaruh kontestasi kepemimpinan sebuah partai yang kini bahkan tidak ada di dalam lingkar kekuasaan memang tidak dapat diukur sekelas dengan pengaruh perebutan kekuasaan di tingkat negara. Namun, setidaknya kita dapat membuat analisa tentang bagaimana akhir perseteruan tersebut berpengaruh pada anggota atau kader partai itu sendiri.Â
Secara sekilas, kita dapat melihat bahwa perebutan kekuasaan itu terjadi di dalam lingkaran elite. Pada satu pihak, terdapat AHY yang menjabat ketua umum dan Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat ketua Majelis Tinggi (MT). Sedangkan, di pihak lain, terdapat Jhoni Allen Marbun yang sempat menjadi anggota MT dan akhirnya disusul pula oleh berbagai kader senior partai seperti Max Sopacua dan Marzuki Alie---masing-masing sempat menjabat sebagai wakil ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Demokrat. Kedua kubu sama-sama merupakan representasi elite.Â
Baik sejarah Indonesia maupun sejarah kawasan telah memberikan contoh bahwa perebutan kekuasaan di tingkat elite semacam itu sebenarnya tidak akan membawa banyak perubahan. Kekuasaan yang tercipta seusai tamatnya perebutan kekuasaan akan tetap sentralistik sekalipun---secara teori---para penutut perubahan selalu menjadikan revolusi sosial yang menghancurkan oligarki atau sistem sentralistik sebagai pedoman atau tujuan. Dengan demikian, baik kepemimpinan AHY maupun Moeldoko (versi KLB Deli Serdang) tampaknya tidak akan menghasilkan perubahan sistem yang berarti.
Pola kudeta dan perebutan kekuasaan di kalangan elite seperti ini sudah menjadi model yang seringkali terjadi di Asia Tenggara sejak masa pramodern.Â
Pada akhirnya, kegaduhan-kegaduhan itu tidak membawa banyak perubahan pada sistem atau pola kekuasaan yang berlaku. Kekuasaan hanya dapat berputar di kalangan elite karena masyarakat secara umum diberikan konstruksi sosial yang tidak memungkinkan mereka memupuk modal sosial maupun materiel untuk menentang kekuasaan. Dengan demikian, orang-orang yang mampu memupuk modal semacam itu selalu muncul dari kalangan elite sendiri.Â
Kita misalnya dapat menilik masa transisi dari periode klasik ke periode Islam melalui perebutan kekuasaan pada masa akhir Majapahit. Pihak yang mampu menjadi tandingan dari pusat keraton Majapahit di pedalaman adalah kota pelabuhan di Demak.Â
Dunia agraris petani di pedalaman memang mampu menghasilkan pemberontakan, namun mereka memiliki kekurangan dalam bidang materiel untuk dapat menyukseskan upaya mereka merebut kekuasaan secara nyata---sekali lagi karena konstruksi sosial dunia petani yang subsisten. Dunia perdagangan maritim di kota-kota pelabuhan dapat menepis kekurangan ini dan memunculkan pihak-pihak yang memiliki modal materiel kuat. Inilah yang terjadi pada kasus Demak.Â
Munculnya Demak sebagai pusat baru yang menyaingi pusat Majapahit di pedalaman bukan hanya didorong oleh faktor ideologis baru---Islam, melainkan juga kemampuan komersialnya. Namun, sekali lagi, orang yang menyatukan berbagai faktor ini dan mengambil momentum adalah seorang elite, seorang pangeran Majapahit, Raden Patah (Sultan Demak, 1475--1518). Pusat kerajaan Jawa kemudian berpindah ke pesisir untuk kali pertama setelah lebih dari dua ratus tahun berada di pedalaman.
Namun demikian, masalah yang muncul dari berdirinya sebuah pusat kekuasaan---apalagi dengan jantung komersil---di pesisir adalah bahaya munculnya kekuatan atau pihak lain yang dapat menjadi kuat dan memiliki modal materiel untuk melakukan perebutan kekuasaan lagi.Â
Oleh sebab kekuasaan baru dipegang oleh kalangan elite dan keturunannya yang juga merupakan kontinuitas dari kekuasaan lama Majapahit, jalan keluar yang nantinya muncul juga adalah mengembalikan konstruksi sosial model lama yang mencegah munculnya pesaing-pesaing kekuasaan---yaitu melalui konstruksi dunia petani yang subsisten dengan mengembalikan pusat kekuasaan jauh dari laut dan mendekati pedalaman.Â
Ini terlihat jelas dengan perpindahan keraton secara bertahap ke selatan, yaitu ke Pajang (sekarang bagian dari Surakarta) dan kemudian ke Kotagede (sekarang bagian dari Yogyakarta) dan seterusnya.Â
Perpindahan ke selatan ini merupakan usaha untuk menjamin ketiadaan kontestasi kekuasaan dari orang-orang yang dapat memupuk modal melalui kegiatan komersil di pesisir. Sekalipun wilayah selatan memiliki laut, Laut Selatan (Samudra Hindia), ia telah "diberi pagar" melalui konstruksi sosial kesakralan dan keangkerannya sehingga tak berkembang menjadi pusat-pusat komersil yang penting seperti Laut Utara (Laut Jawa).Â
Siapa orang Jawa---bahkan hingga masa kini---yang berani mengganggu alam dan keraton dari Kanjeng Ratu Kidul? Paling jauh, pesisir selatan mungkin digunakan untuk tempat menangkap ikan demi kehidupan sehari-hari nelayan yang juga sangat hati-hati untuk tidak mengganggu ketenteraman sang penguasa laut dengan secara rutin melakukan upacara sedekah laut.Â
Inilah pemandangan yang cukup baik untuk menggambarkan bahwa perubahan kekuasaan yang berputar di kalangan elite tidak akan membawa banyak perubahan mendasar. Lebih-lebih, kekuasaan yang baru juga secara umum akan tetap bersifat sentralistik dan pasifistik terhadap saingan politik.
Indonesia sendiri telah mengalami berbagai perebutan kekuasaan dan kudeta di seputar elite ini. Ketika pergerakan kebangsaan muncul pada awal abad ke-20 dan akhirnya berhasil menjadi pengganti dari golongan kolonial Eropa dan Jepang sebagai administrator negara, kita sekali lagi menyaksikan pola kekuasaan sentralistik.Â
Pergerakan kebangsaan dan berbagai kekuatan politik pada masa akhir kolonial selalu mengemukakan ide pemerintahan yang representatif dan demokratis. Namun, kita jangan lupa bahwa, sekali lagi, yang naik ke kursi pemerintahan adalah golongan elite---seperti label tepat yang disematkan oleh Robert van Niel (Munculnya Elit Modern Indonesia, 1984).Â
Konsekuensinya, kekuasaan juga tetap akan bersifat sentralistik dan pasifistik terhadap saingan-saingan politik. Ini ditunjukkan oleh Presiden Soekarno (menjabat, 1945--67) setelah Indonesia mencapai posisi politik yang stabil di mata internasional pada pertengahan dekade 1950-an. Pada tahun 1957, Soekarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin (1957--66) yang menuai banyak kritik yang juga datang dari kalangan elite terpelajar Indonesia. Upanya perebutan kekuasaan sekali lagi bermain pada tahun 1965 dan berlanjut setidaknya hingga 1966 atau 1967.
Pada episode tersebut, Soeharto---yang lagi-lagi juga berasal dari golongan elite di dalam militer Indonesia---muncul sebagai pihak kontra kekuasaan dan setelahnya mengambil kursi presiden (1967--98).Â
Jika sebelumnya sifat kekuasaan menjadi sentralistik karena Soekarno menggunakan dasar Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan doktrin politik Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom), Soeharto menjadi sangat pasifistik terhadap saingan politik dengan menggunakan asas tunggal Pancasila---membabat semua musuh politik dengan berbagai aturan dan stigma yang disematkan. Sekali lagi, pola kekuasaan tidak berubah meskipun terjadi kegaduhan besar, perebutan kekuasaan, dan kudeta.Â
Setelah lebih dari tiga puluh tahun memerintah, Soeharto dijatuhkan melalui demonstrasi besar Reformasi 1998---yang juga dijalankan oleh golongan elite, yaitu mahasiswa dan aktivis politik berbagai spektrum, serta kembali menempatkan elite di tampuk pemerintahan.Â
Kita juga mungkin dapat melihat, seperti yang sempat diungkapkan oleh Guru Besar Universitas Pertahanan Indonesia, Salim Said, bahwa babak pascareformasi masih menunjukkan kecenderungan pola kekuasaan yang sama-sama pasifistik melalui interpretasi pemerintah terhadap Pancasila.Â
Dengan demikian, kita dapat sekali lagi bertanya, apakah akan ada perubahan mendasar yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrat atau entitas-entitas politik lain ketika perebutan kekuasaan atau kudeta itu selalu terjadi di dalam lingkaran elite?
Daftar Sumber
- Koch, D. M. G. 1950. Om de Vrijheid: De Nationalistische Beweging in Indonesie [Menuju Kemerdekaan: Pergerakan Nasional di Indonesia]. Jakarta: Pembangunan.
- Niel, Robert van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Ong Hok Ham. 2018. Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: KPG.
- Steinberg, David Joel (ed.). 1971. In Search of Southeast Asia: A Modern History. Honolulu: University of Hawaii Press.
- Vlekke, Bernard H. M. 2016Â Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakata: KPG.
Penulis
Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kuno dan sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Sejak tahun 2019, menjadi asisten peneliti Prof. Gregor Benton pada School of History, Archaeology, and Religion, Cardiff University. Sejak tahun 2020, menjadi asisten peneliti Prof. Peter Carey.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H