Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Raden Saleh: Perusak Warisan Budaya Jawa?

30 Januari 2021   08:45 Diperbarui: 1 Februari 2021   20:23 9963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman dipotret saat berada di Jawa (Koleksi KITLV, No. 4117)

[Artikel ini ditulis oleh Dr. Werner Kraus (penulis biografi Raden Saleh) dan Christopher Reinhart telah diminta serta diberikan kuasa agar mempublikasikan tulisan ini pada laman Kompasiana sebagai hak jawaban atas artikel "Candi Simping di Blitar Rata dengan Tanah karena Ulah Pelukis Tersohor Raden Saleh" karya Kompasianer Djulianto Susantio. Ini dilakukan karena Dr. Werner Kraus tidak memiliki akun atau profil di Kompasiana. Dr. Kraus memberikan kuasa satu-satunya agar artikel ini dipublikasikan di bawah akun atau profil Christopher Reinhart]

Pada 25 Januari 2021 (yang kemudian diperbarui lagi pada 27 Januari 2021), Kompasiana menerbitkan artikel meresahkan yang ditulis oleh Mas Djulianto Susantio. Artikel itu bertajuk "Candi Simping di Blitar Rata dengan Tanah karena Ulah Pelukis Tersohor Raden Saleh". Dikatakan bahwa pelukis Arab-Jawa yang terkenal, Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811--1880), telah "menghancurkan" Candi Simping (alias Candi Sumber Jati) di Blitar dan candi-candi Jawa Timur lainnya yang jumlahnya dirahasiakan. Dalam kata-kata Mas Djulianto:

"Beliaulah yang bertanggung jawab atas hancurnya bangunan Candi Simping. Bukan rusak lagi, karena cara kerjanya ia membongkar total bagian dalam tubuh dan lantai hingga mengakibatkan candinya rubuh,"

Sumber pokok untuk tudingan serius tersebut adalah sebuah postingan di situs Facebook milik seorang yang mengaku sebagai "sejarawan" bernama Ancah Yosi Cahyono. Mas Yosi mengaku mendapatkan "fakta-fakta" tersebut dari "buku harian (dagboek)" N. W. Hoepermans (1820--1880), yang ia gambarkan sebagai seorang "arkeolog Belanda". Ketika saya membaca bahwa Mas Yosi telah menyematkan gelar "Sang Juru Gangsir" pada Raden Saleh saya menjadi semakin tidak nyaman. Ini adalah kata-katanya:

"Candi itu sebelumnya masih berdiri, hingga 4 April 1866 Raden Saleh datang ke sana dan meratakannya. Masih dari diary Hoepermans, Simping bukanlah candi pertama yang 'diratakan' oleh Raden Saleh."

Siapakah orang bernama Hoepermans yang berani menuduh pelopor seni rupa Indonesia modern tersebut telah melakukan vandalisme semacam itu?

Hoepermans bukanlah seorang arkeolog, tetapi seorang bintara Belanda berpangkat rendah---seorang sersan menurut Hans Groot (Groot 2009:469) atau seorang "kopral-medis (ziekenvader)" menurut arkeolog Belanda, Willem Frederik Stutterheim (1892--1942) (Stutterheim 1925:74).

Sersan Hoepermans menjabat sebagai salah satu dari empat asisten berpangkat rendah untuk seorang ahli bahasa Sanskerta dan Semitolog (ahli bahasa Semit) kelahiran Jerman, Rudolf Hermann Theodor Friederich (1817--1875), yang telah datang ke Hindia Belanda pada tahun 1844 sebagai seorang prajurit setelah belajar bahasa oriental di Berlin dan Bonn. Friederich bertemu dengan Hoepermans di barak militer di Batavia dan menghasilkan persahabatan yang tidak terduga.

Persahabatan tersebut berlanjut setelah Friederich bergabung dengan Perhimpunan Batavia untuk Budaya dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen; selanjutnya disebut "Perhimpunan Batavia") dan menjadi asisten pustakawan di sana.

Pada tahun 1863 hingga 1868, atas permintaan Perhimpunan Batavia, Hoepermans (di bawah Friederich yang menangani penelitian di Jawa bagian barat) melakukan proyek penelitian lapangan secara ekstensif selama lima tahun untuk menemukan barang-barang antik Hindu-Buddha di seluruh Jawa dan Bali (termasuk ke Blitar).

Proyek itu berhasil menemukan sejumlah 220 patung batu dan 800 patung perunggu yang menjadi milik koleksi Perhimpunan Batavia. Temuan-temuan tersebut kemudian dipajang di Museum Perhimpunan Batavia setelah Hoepermans selesai menyortir dan mengkatalogkannya (1 April--21 Mei 1868).

Selama perjalanannya yang ekstensif, Hoepermans menulis sebuah buku harian, yang kemudian diberi judul "Oudheidkundige aantekeningen van [N. W.] Hoepermans [Catatan Purbakala dari (N. W.) Hoepermans]" yang sekarang ada di Perpustakaan Universitas Leiden (UBL) dengan nomor rak DH-425.

Buku harian ini dianggap tidak layak untuk diterbitkan selama masa hidup Hoepermans oleh Perhimpunan Batavia dan baru diterbitkan secara anumerta pada tahun 1913 dengan judul Hindoe-oudheden van Java [Tinggalan Purbakala Hindu di Jawa] (Batavia: Albrecht, 1913), beberapa saat setelah didirikannya Dinas Arkeologi Kolonial Belanda pada tahun yang sama.

Pada tahun 1925, Stutterheim membaca kembali buku harian Hoepermans dan menerbitkan artikel yang menghancurkan tentang prajurit---yang telah menjadi seorang arkeolog amatir---itu [N. W. Hoepermans] dengan judul "Een fuselier uit de vorige eeuw als oudheidkundige [Seorang Serdadu Infanteri dari Abad yang Lalu sebagai Seorang Ahli Purbakala]". Tulisan ini dimuat dalam jurnal bergengsi yang tersohor dari Java Instituut di Yogyakarta, Jurnal Djawa (Stutterheim 1925: 73--79).

Artikel Dr. W. F. Stutterheim dalam jurnal bergengsi Djawa (1925) keluaran Java Instituut yang membahas tentang kesaksian Hoepermans
Artikel Dr. W. F. Stutterheim dalam jurnal bergengsi Djawa (1925) keluaran Java Instituut yang membahas tentang kesaksian Hoepermans
Mas Yosi, yang tidak memberi kita sumber sebenarnya dari informasinya (ia berbicara samar-samar tentang "buku harian" tanpa memberi tahu kita di mana ia telah menemukan "buku harian" tersebut), jelas menemukan artikel Stutterheim tadi dan menggunakan itu untuk mendukung tuduhan liarnya terhadap Raden Saleh, antara lain dengan merujuk pada kutipan langsung Stutterheim dari Hoepermans:

"De ellendige toestand [van Candi Simping/Sumber Jati] is te wijten aan eene geheimzinnige uitgraving gedaan op last van Rhaden Saleh in April 1866. Wie geeft den Javaan Rhaden Saleh het regt om oudheden in zoodanige toestand te brengen? Het is de eerste tempel niet die op deze wijze door dat Heer is geschonden."

"Keadaan yang menyedihkan [dari Candi Simping/Sumber Jati] disebabkan oleh penggalian misterius yang ditugaskan oleh Raden Saleh pada bulan April 1866. Siapa yang memberi hak kepada seorang Jawa, Raden Saleh, untuk membawa bangunan purbakala ke dalam keadaan seperti itu? Ini bukan candi pertama yang telah dirusak dengan cara ini oleh Tuan [Raden Saleh] itu." (Stutterheim 1925:77)

Namun, Stutterheim mengutip Hoepermans di dalam artikelnya bukan untuk mendukung serangan terhadap Raden Saleh, seperti yang Mas Yosi ingin kita percayai, melainkan justru untuk menunjukkan betapa Hoepermans adalah benar-benar seorang penipu.

Hoepermans adalah seorang yang rasis sampai sepatu bot militernya [sangat rasis]. Sersan medis yang menjadi petugas purbakala ini, dalam pandangan Stutterheim, adalah seorang kolonialis yang tidak memiliki rasa hormat terhadap orang Jawa. Dalam laporannya, ia bahkan mempertanyakan mengapa seorang "Javaan [Jawa]" berani melakukan penelitian arkeologi seperti itu! Jadi, kalimat jengkelnya: "Siapa yang memberinya hak?".

Menurut Hoepermans, hanya anggota administrasi kolonial Eropa yang memiliki "hak" untuk menggali peninggalan Jawa. Pastinya bukan orang Jawa! Ya Tuhan! Jika seorang inlander (pribumi) dapat melakukan itu, seluruh tatanan kolonial akan ditumbangkan!

Stutterheim bukan hanya seorang arkeolog yang brilian, melainkan juga seorang humanis anti-kolonial yang mumpuni. Ia dan teman serta pasangan hidupnya, seorang ahli Indonesia dan etnografer tari kelahiran Latvia, Claire Holt (1901--1970)---yang tidak dapat ia nikahi karena istri Belanda pertamanya menolak perceraian---adalah kawan yang baik dan jujur bagi masyarakat dan budaya Indonesia.

Semangat yang tulus itu tertuang dalam tulisan-tulisan mereka, di mana Claire Holt mengaku mendapat ilmunya dengan "duduk di kaki guru-gurunya" dan guru-guru yang dimaksud itu adalah orang Indonesia seperti Pangeran Mangkunegoro VII (bertakhta 1916--1944) dan ahli tari Jawa, Gusti Pangeran Ario Tedjokusumo dari Yogyakarta (1893--1974 ) (Burton 2000).

Kita dapat mempercayai orang-orang seperti Stutterheim dan Holt. Namun, kita harus sangat berhati-hati dan awas dalam menangani pengetahuan yang dibuat oleh orang-orang seperti Hoepermans. Secara khusus, kita perlu menyadari apa yang disebut oleh sejarawan Filipina pra-Hispanik, William Henry Scott (1921--1993), sebagai "tirai perkamen", yaitu fakta bahwa dokumen kolonial memiliki keterbatasan yang kuat dan tidak selalu mencerminkan "kebenaran". Kita selalu harus mencari "celah" pada tirai itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang sejarah masa lalu.

Namun, mari kita kembali ke fakta. Di mana Raden Saleh pada April 1866, ketika menurut Hoepermans, ia sibuk menghancurkan sendiri Candi Simping alias Candi Sumber Jati di Blitar?

Pada bulan Mei 1865, Raden Saleh telah diberikan izin untuk melakukan perjalanan ke wilayah kerajaan (vorstenlanden) di Jawa tengah-selatan dengan tujuan mengumpulkan manuskrip dan artefak untuk Perhimpunan Batavia. Ia pergi tidak lama kemudian dan tinggal selama setahun di Yogyakarta.

Kami memiliki sejumlah surat yang ditulis olehnya kepada direktur Perhimpunan Batavia sepanjang paruh kedua tahun 1865 hingga awal tahun 1866. Pada tahun 1866, ketika menurut Mas Yosi, Saleh seharusnya berada di Blitar dan sedang menghancurkan Candi Simping, kami memiliki surat-surat yang ditulis olehnya dari Yogyakarta pada 14 Januari 1866 dan 30 April 1866. Dalam pertemuan Perhimpunan Batavia tanggal 27 Maret 1866, direktur perhimpunan menyebutkan bahwa ia telah menerima sejumlah surat pribadi dari Raden Saleh di Yogyakarta.

Hal ini membuktikan bahwa pelukis itu menghabiskan waktu antara Januari dan Mei di Yogyakarta, sebelum kembali ke Batavia pada bulan Juni 1866 untuk menghadiri rapat pengurus Perhimpunan Batavia [Vergadering] pada tanggal 26 Juni.

Tidak ada waktu baginya untuk berlari cepat ke Blitar, menghancurkan candi, dan kembali ke Yogyakarta tepat waktu untuk menulis surat pada 30 April kepada ketua perhimpunan serta kemudian kembali ke Batavia. Lebih lagi, bahkan jika ia merasakan dorongan aneh semacam itu, ia tidak akan dapat pergi ke sana karena paspornya [izin perjalanan] hanya berlaku untuk wilayah kerajaan (vorstenlanden).

Sejak tahun 1830, Blitar bukan lagi bagian dari wilayah kerajaan Jawa tengah-selatan melainkan sebuah distrik dari Keresidenan Kediri di Jawa Timur langsung di bawah pemerintah kolonial Batavia. Saleh tidak memiliki izin untuk bepergian ke sana dan pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam masalah tersebut.

Apalagi, jika vandalisme itu benar terjadi, kita dapat dibayangkan bahwa pasti Residen Kediri, G. M. W. van der Kaa (diangkat 16 Januari 1865), dan Asisten Residennya di Blitar, F. H. Boers (diangkat 27 Mei 1866), belum lagi Bupati Blitar yang sedang menjabat, Raden Tumenggung Ario Adhi Negoro (1863--1869), menyebutkan sesuatu tentang ini dalam laporan mereka kepada pemerintah kolonial. Bagaimanapun, bahkan Residen Yogyakarta konyol yang menjabat sebelum Perang Jawa, Anthonie Hendrik Smissaert (1777--1832; menjabat 1823--1825), menyebutkan [dalam laporannya kepada Raja Belanda, Willem I, bertakhta 1813–1840] tentang vandalisme yang dilakukan oleh Diponegoro dan pangeran-pangeran Yogya lainnya pada patung-patung candi Hindu-Buddha seperti Kalasan dan Prambanan yang mereka bawa kembali untuk mempercantik rumah dan ruang meditasinya di tahun-tahun sebelum Perang Jawa (Carey 2012:101 catatan 60). Namun, justru semua pejabat penting pemerintah Belanda dan Jawa di Kediri dan Blitar pada pertengahan tahun 1860-an sama sekali diam tentang masalah yang dituduhkan pada Raden Saleh ini.

Lebih lagi, bagaimana kita menjelaskan tentang pamor Raden Saleh di depan Perhimpunan Batavia yang mana ia sebagai salah satu dari sedikit anggota non-dewan telah secara teratur diminta pendapatnya dan dijunjung tinggi oleh ketua dan dewan pengurus (Groot 2009:439--40)? Kehormatan semacam itu pasti tidak akan terpikirkan jika dia adalah perusak candi.

Simpulan

Mas Yosi telah menemukan sebuah dokumen aneh yang ditulis oleh seorang kolonialis Belanda berpangkat rendah---yang dengan jelas seorang rasis, dan Mas Yosi lebih mempercayai sumber yang penuh teka-teki itu daripada rekan senegaranya, Raden Saleh Syarif Bustaman. Ini tragis. Sungguh, hal ini memberi tahu kita tentang kondisi mental orang-orang Indonesia yang disebut "terpelajar" di zaman sekarang---bahwa mereka masih dijajah secara mental!

Mas Yosi tak mau repot-repot mengecek kembali sumbernya dan akhirnya mengunggah berita bohong di akun Facebook-nya, yang kemudian diangkat kembali oleh penulis artikel Kompasiana, seorang jurnalis kawakan, Mas Djulianto, yang juga tidak mau repot-repot mengecek sumbernya. Sayangnya, Kompasiana terlalu bersemangat memilih berita yang "panas" itu [sebagai Headline atau Artikel Utama] dan memuat tuduhan yang tidak benar atau tidak berdasar. Tampaknya, selalu menggoda untuk menghancurkan nama baik seseorang, hanya untuk iseng.

Sikap ini sangat menyedihkan dan sangat berbahaya---pikirkan catatan sejarawan Belanda yang memiliki motivasi yang sama untuk menghancurkan reputasi sejumlah pahlawan nasional Indonesia hingga menyebabkan kerugian besar bagi sejarah nasional bekas jajahan mereka. Pamor sejarawan Indonesia dan dunia penerbitan Indonesia seharusnya pantas mendapatkan produk yang lebih baik dari ini.

Dr. Werner Kraus
Penulis Biografi Raden Saleh
Passau, Jerman

Daftar Pustaka

  • Burton, Deena Elise 2000. "Sitting at the feet of gurus": The Life and Ethnography of Claire Holt. Michigan: University Microfilms.
  • Carey, Peter 2012. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785--1855. Jakarta: KPG. Tiga jilid.
  • Groot, Hans 2009. Van Batavia naar Weltevreden; Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1778--1867. Leiden: Brill.
  • Stutterheim, W.F. 1925. "Een Fuselier uit de Vorige Eeuw als Oudheidkundige", Djawa 5:73--79.

Dr. Werner Kraus dalam sebuah wawancara tentang Raden Saleh (National Gallery Singapore, 28 Februari 2018)
Dr. Werner Kraus dalam sebuah wawancara tentang Raden Saleh (National Gallery Singapore, 28 Februari 2018)

Penulis

Werner Kraus lahir di Bamberg, Bavaria Utara, Jerman, 25 September 1944. Ia mengambil studi kajian Asia Tenggara di Universitas Heidelberg (Jerman) dan Universitas Cornell (Ithaca, New York, Amerika Serikat). Ia meraih gelar Ph.D. dari Universitas Heidelberg pada tahun 1983, dan menjadi salah satu pendiri kajian Asia Tenggara di Universitas Passau (Jerman) (1984--sekarang). Ia mengajar di beberapa universitas kawasan Eropa dan Asia, dan saat ini menjadi Direktur The Centre for Southeast Asian Art, sebuah pusat penelitian dan dokumentasi seni Asia Tenggara swasta yang berpusat di Passau (Jerman), yang melayani mahasiswa dan masyarakat umum. Ia telah menulis Raden Saleh, The Beginning of Modern Indonesian Painting (Jakarta: Goethe Institut Indonesien, 2012), yang telah diterbitkan dalam edisi baru sampul tipis (paperback) yang direvisi dengan judul Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018). Werner juga bertindak sebagai pendamping pameran tunggal Raden Saleh yang ia kurasi di Galeri Nasional, Jakarta, pada tahun 2012, dan bersama Jim Supangkat serta Peter Carey mengkurasi sebuah pameran spektakuler bertajuk "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini" di tempat yang sama pada 2015.

Catatan

Artikel jawaban ini dimuat di sini karena Dr. Werner Kraus tidak memiliki akun dan profil Kompasiana untuk menyampaikan jawabannya terhadap artikel "Candi Simping di Blitar Rata dengan Tanah karena Ulah Pelukis Tersohor Raden Saleh" oleh Kompasianer Djulianto Susantio. Perlu diketahui bahwa ini bukan merupakan inisiatif maupun tanggung jawab dari Christopher Reinhart sebagai orang yang diberi kuasa, melainkan permintaan dari penulis (Dr. Werner Kraus). 

Perlu Diperhatikan 

Mohon tidak mengunggah komentar yang menyerang pribadi (termasuk orang-orang yang tersebut di dalam artikel) serta berkaitan dengan SARA karena dasar dan tujuan penulisan ini adalah akademis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun