Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ritual dan Kegagalan Demonstrasi Kita

29 Mei 2020   09:10 Diperbarui: 2 November 2023   22:19 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Satu minggu yang lalu, halaman media massa dihiasi oleh pemberitaan tentang protes dan pemecatan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ogan Ilir. Pemecatan diawali dari aksi protes yang dilakukan oleh seratusan tenaga medis dengan tuntutan untuk memperbaiki taraf hidup dan kondisi kerja mereka. Pemerintah daerah kemudian menjawab demonstrasi ini dengan pemecatan. Terlepas dari kebenaran maksud protes yang dilakukan oleh seratusan tenaga kerja itu, saya memandang pemecatan dari pemerintah daerah merupakan contoh menarik dari tren kegagalan demonstrasi di Indonesia. Dengan demikian, sangat menarik untuk menelusuri akar permasalahan kegagalan demonstrasi sepanjang sejarah kita menggunakan pendekatan humaniora.

Tahun 2019, terjadi pula gelombang demonstrasi besar-besaran mahasiswa dari sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia. Tuntutan yang pada saat itu dibawa adalah pembatalan dan pengkajian kembali berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai sarat kepentingan-kepentingan tertentu –seperti RUU KUHP, RUU Pertanahan, dan lainnya. 

Demonstrasi tersebut juga tidak dapat dinilai berhasil karena tuntutan yang pernah dibawa mahasiswa kemudian tidak sepenuhnya dipertimbangkan. Sepanjang jalan sejarah, kita juga melihat demonstrasi-demonstrasi lain yang pada akhirnya serupa dengan suatu pergelaran jalanan yang tidak pernah sampai ke dalam kaukus atau rapat administrator negara. Lalu, apa yang menjadi sebab kegagalan demonstrasi dalam sejarah kita?

Saya menduga sedikitnya ada dua jawaban yang dapat saya sampaikan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, manusia Indonesia memahami demonstrasi sebagai sebuah ritus atau ritual dalam demokrasi. Kedua, adanya satu aspek pola pemikiran kapitalis yang telah merasuk ke dalam alam pikiran kita. Keduanya bukan merupakan satu-satunya bentuk faktor, melainkan dua komponen faktor yang dapat jadi bersilang ruwet dengan faktor yang lain. 

Sekalipun Indonesia tidak pernah secara eksplisit mengadopsi paham konfusianisme, pemahaman mengenai pemikiran ini akan sangat berguna untuk menjelaskan faktor pertama. Konfusius dalam analek-analeknya beberapa kali mengungkapkan tentang pentingnya ritus atau ritual dalam bernegara. Ciri yang menonjol dari ritus yang dimaksudkan olehnya adalah adanya peran dan fungsi dari setiap orang. 

Dalam suatu ritual pernikahan misalnya, terdapat seorang pria akan berperan sebagai mempelai yang berfungsi menerima mempelai perempuan dari keluarganya. Demikian pula, semua orang dalam sebuah ritual memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Ada yang berperan sebagai pemain musik, penyaji makanan, petugas petasan, dan lainnya. 

Mereka juga kemudian memiliki fungsi masing-masing untuk memetik gitar, meletakkan piring, dan lainnya. Negara berjalan dengan suatu skema yang sama. Raja berperan sebagai raja dan berfungsi mengatur jalannya negeri, menteri sebagai menteri dan lain sebagainya. 

Setelah melihat pemaparan ini, tampak bahwa ritus atau ritual dalam penataan kenegaraan sebenarnya merupakan konsep yang tidak khas pada konfusianisme semata. Ciri tersebut merupakan ciri umum dari birokrasi yang efisien dan seharusnya dijalankan di suatu administrasi negara. Salah satu contoh sistem birokrasi yang menjalankan ‘ritus’ semacam ini adalah birokrasi kolonial Hindia Belanda di bawah naungan Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri).

Kini, kita harus beralih pada praktik protes atau demonstrasi di dalam sistem ‘ritus’ yang saya jelaskan di atas. Konfusius mengeksplisitkan bahwa protes merupakan suatu aksi yang dilakukan dengan menghentikan peran dan fungsi secara sengaja. Umumnya, hal ini dilakukan oleh sarjana-sarjana atau kelompok terpelajar konfusian yang pergi ke istana kerajaan dari ‘universitas’ mereka –meninggalkan kelas mereka, menghentikan fungsi mereka untuk belajar, dan menyuarakan protes di depan dewan raja. 

Namun, syarat dilakukannya protes adalah adanya disfungsi peran dari suatu anggota administrasi. Dengan demikian, protes misalnya dilakukan kepada raja yang tidak menjalankan peran dan fungsi sebagai raja, ayah yang tidak menjalankan peran dan fungsi sebagai ayah, dan disfungsi yang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun