Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Srivijaya, Uyghur, dan Penegakan Buddhisme Tibet

15 Juli 2019   14:26 Diperbarui: 15 Juli 2019   16:37 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Dalai Lama (dalailama.com, Tanpa Tahun)

Senyampang penelitian sejarah yang dilakukan di Indonesia, pembahasan mengenai pengaruh kebudayaan luar dalam pembentukan identitas masyarakat sangat umum ditemui. Kita telah menyadari bahwa kebudayaan India adalah elemen pembentuk kebudayaan masyarakat di masa klasik.

Beralih pada masa yang selanjutnya, kebudayaan Islam yang dibawa para saudagar Asia Tengah dan Asia Barat menyebabkan timbulnya berbagai kekuasaan maritim dan agraris di Nusantara. Dalam masa yang lebih dekat, kolonialisme Eropa juga turut memberikan corak pada ciri kebahasaan, pakaian, dan lainnya.

Mempertimbangkan kenyataan di atas, sesungguhnya penelitian kesejarahan juga dapat dilakukan pada arah yang sebaliknya. Kita dapat melakukan penelusuran terhadap unsur kebudayaan Nusantara yang pada akhirnya dapat memengaruhi perkembangan peradaban lain. Dalam kasus ini, terdapat sebuah pertalian menarik yang terjadi antara kebudayaan Nusantara, migrasi Uyghur, dan perkembangan Buddhisme di Plato Tibet. Dengan demikian, sejarah Nusantara dapat dikatakan terintegrasi dengan sejarah kewilayahan Asia yang lebih luas.

Perkembangan Buddhisme Tibet sesungguhnya akarnya dapat ditarik sejak masa awal Masehi. Namun, pergolakan sepanjang zaman membuatnya beberapa kali mengalami kemunduran dan pembaharuan kembali. Perkembangannya yang stabil untuk pertama kalinya baru terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Songtsan Gampo pada abad ketujuh.

Pada masa ini, teks-teks Buddhis dari India yang berbahasa Sanskerta diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Sekalipun demikian, penerjemahan teks-teks Buddhis itu tidak dibarengi dengan pernyataan resmi bahwa Kekaisaran Tibet telah menganut Buddhisme sebagai agama negara. Buddhisme memerlukan waktu satu abad untuk kemudian dapat mengamankan posisinya sebagai agama negara.

Pada abad kedelapan, Kaisar Trisong Detsen mengundang seorang sarjana Buddhis yang sangat tersohor, yaitu Padmasambhava dari India. Ajaran Padmasambhava tersebar secara luas dengan didirikannya aliran Nyingma, yaitu salah satu aliran dari empat aliran utama Buddhisme Tibet. Kejayaan Buddhisme di dalam kekaisaran hanya bertahan dalam waktu yang singkat. Bersamaan dengan menguatnya kembali ajaran asli Tibet yang disebut Bon, Buddhisme mengalami kemunduran yang sangat hebat.

Beberapa sarjana studi Himalaya berpendapat bahwa puncak kemunduran Buddhisme Tibet terjadi pada masa Kaisar Langdarma. Seperti narasi yang disematkan pada Raja Kertajaya dari Kediri, Kaisar Langdarma dianggap menekan para pemuka agama dan melakukan persekusi pada mereka. Sekalipun hal ini tercatat dalam beberapa teks kesejarahan, terdapat beberapa argumen dari para peneliti yang menyatakan bahwa penggambaran Kaisar Langdarma yang buruk itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

Hal ini dapat dimengerti bila kita mempertimbangkan bahwa historiografi yang ditinggalkan pada masa Kaisar Langdarma tentu bersifat historiografi tradisional. Terdapat penyampaian yang berkaitan dengan aspek-aspek adikodrati dan sifat penulisannya penuh kesamaran. Namun demikian, sangat jelas bahwa baik Kekaisaran Tibet maupun Buddhisme Tibet mencapai akhir masa keemasannya pada abad kesembilan. Kaisar Langdarma menjadi pemimpin negara terakhir yang mampu mempertahankan struktur monarki di dataran tinggi itu.

Sekalipun mencapai kemunduran bersamaan dengan hancurnya kekaisaran, Buddhisme Tibet dapat bangkit kembali dan justru memperoleh keuntungan dari hilangnya penguasa monarki. Pada titik ini, terdapat peran dari migran Uyghur. Kekaisaran Uyghur yang semula menempati wilayah barat Cina merupakan kekuatan Buddhis yang cukup berpengaruh hingga abad kesembilan.

Kelompok masyarakat Uyghur merupakan masyarakat padang rumput yang serupa dengan masyarakat Mongol. Mereka memiliki sistem pemerintahan model Khan yang semakin membuat mereka mendekati ciri masyarakat Mongol. Pada paruh pertama abad kesembilan, Kaisar Hu dari Uyghur dipaksa untuk melaksanakan bunuh diri oleh seorang menterinya yang berpengaruh. 

Menteri yang bernama Kurebir itu kemudian mengambil takhta dan menjadikan diri sebagai kaisar. Pemerintahan Kurebir mengundang ketidakpuasan dari berbagai pihak dan menyebabkan kelompok pasukan kekaisaran yang berada di daerah selatan menyerang ibukota. Pemimpin dari pasukan penyerang ini adalah orang yang nantinya menjadi Kaisar Oge.

Masa pemerintahan Kaisar Oge penuh dengan peperangan. Pada perbatasan barat, Uyghur bertempur dengan orang-orang Kirgiztan. Sedangkan, pada perbatasan timur dihadang oleh kekuatan Dinasti Tang. Hal ini menyebabkan mereka terdesak. Kaisar Oge sendiri pada akhirnya terbunuh tahun 847. Kehancuran kekaisaran menyebabkan masyarakat Uyghur melarikan diri ke daerah selatan. Banyak dari mereka yang pada akhirnya mencapai Tibet.

Migrasi besar ini menyebabkan perimbangan kekuatan di Kekaisaran Tibet menjadi goyah. Kelompok migran yang merupakan pengikut Buddhis menguatkan kelompok masyarakat Buddhis Tibet. Dengan demikian, kelompok masyarakat Uyghur sesungguhnya memainkan peranan penting dalam penggulingan Kaisar Langdarma dan penegakan kembali Buddhisme Tibet.

Sekalipun terlihat bersatu, kepercayaan Buddhisme para migran dan penduduk asli tentu berbeda. Perbedaan ini membawa Tibet pada masa fragmentasi Buddhisme yang berlangsung selama hampir dua abad. Kestabilan perkembangan Buddhisme baru terwujud kembali setelah kedatangan Atisa pada akhir abad kesepuluh atau awal abad kesebelas. 

Peran Atisa yang sentral untuk mewujudkan kestabilan Buddhisme tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran yang didapatkannya di Srivijaya. Atisa merupakan seorang sarjana Buddhis yang lahir di daerah Bangladesh. Ia merupakan putra dari Raja Kalyana Shri yang memimpin Kerajaan Pala pada abad kesepuluh.

Jelasnya, dalam masa awal hidupnya, Atisa tertarik pada ajaran Buddhis dan memutuskan untuk mencari guru-guru Buddhisme yang penting dan berkemampuan. Pencariannya itu salah satunya berakhir pada seorang guru terkemuka yang tinggal di Sumatra, yaitu Suvarnadvipa Dharmakirti. Dalam catatan perjalanan yang dibuatnya, Atisa menyatakan bahwa guru di Sumatra ini merupakan yang paling terkemuka dari sekitar seratus lima puluh guru yang ditemuinya sepanjang perjalanan studi itu.

Atisa tinggal selama dua belas tahun di Srivijaya sebelum melanjutkan perjalanannya untuk membabarkan dan menegakkan kembali ajaran Buddhisme di Tibet. Salah satu praktik yang dibawa oleh Atisa dari Srivijaya ke Tibet adalah praktik Boddhicitta, yaitu sebuah praktik penyadaran diri terhadap benih pencerahan yang tersembunyi dalam setiap manusia. 

Mempertimbangkan bahwa Dharmakirti adalah guru paling penting Atisa, dapat dikatakan pula bahwa sebagian besar ajaran Atisa terpengaruh secara pasti oleh pemikiran Dharmakirti. Dengan demikian, perkembangan Buddhisme Tibet hingga seperti sekarang sesungguhnya mendapat akar pemikirannya dari kebudayaan Srivijaya dan ajaran guru Buddhis di sana.

Kita dapat melihat pentingnya peran Srivijaya dalam perkembangan Buddhisme Tibet melalui teks-teks Atisa yang masih bertahan hingga sekarang. Salah satu teks yang jelas-jelas merupakan ajaran Dharmakirti dan justru hanya bertahan di Tibet adalah teks Durbodhaloka. 

Melalui skema yang kita lihat di atas, sesungguhnya kendala penelitian kebudayaan Srivijaya dapat diatasi dengan mempertimbangkan sumber-sumber Tibet yang merupakan turunan dari ajaran guru-guru Srivijaya. Dengan demikian, kita sekaligus pula dapat mengintegrasikan sejarah kita dengan sejarah regional, bukan saja sebagai pihak penerima, namun sebagai pihak pemberi.

Daftar Sumber

  • Powes, John. 2007. Introduction to Tibetan Buddhism. New York: Snow Lion Publication.
  • Snellgrove, David. 1987. Indo-Tibetan Buddhism: Indian Buddhists and Their Tibetan Successors. Boston: Shambala Publication.
  • Kapstein, Matthew T. 2014. Tibetan Buddhism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
  • Vlekke, B. H. M., 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Skilling, P., 1997. "Dharmakirti's Durbodhaloka and the Literature of Srivijaya". Journal of the Siam Society Vol. 85, Parts 1 & 2, pp. 187-194.
  • Boechari, 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Penulis
C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun