Masa pemerintahan Kaisar Oge penuh dengan peperangan. Pada perbatasan barat, Uyghur bertempur dengan orang-orang Kirgiztan. Sedangkan, pada perbatasan timur dihadang oleh kekuatan Dinasti Tang. Hal ini menyebabkan mereka terdesak. Kaisar Oge sendiri pada akhirnya terbunuh tahun 847. Kehancuran kekaisaran menyebabkan masyarakat Uyghur melarikan diri ke daerah selatan. Banyak dari mereka yang pada akhirnya mencapai Tibet.
Migrasi besar ini menyebabkan perimbangan kekuatan di Kekaisaran Tibet menjadi goyah. Kelompok migran yang merupakan pengikut Buddhis menguatkan kelompok masyarakat Buddhis Tibet. Dengan demikian, kelompok masyarakat Uyghur sesungguhnya memainkan peranan penting dalam penggulingan Kaisar Langdarma dan penegakan kembali Buddhisme Tibet.
Sekalipun terlihat bersatu, kepercayaan Buddhisme para migran dan penduduk asli tentu berbeda. Perbedaan ini membawa Tibet pada masa fragmentasi Buddhisme yang berlangsung selama hampir dua abad. Kestabilan perkembangan Buddhisme baru terwujud kembali setelah kedatangan Atisa pada akhir abad kesepuluh atau awal abad kesebelas.Â
Peran Atisa yang sentral untuk mewujudkan kestabilan Buddhisme tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran yang didapatkannya di Srivijaya. Atisa merupakan seorang sarjana Buddhis yang lahir di daerah Bangladesh. Ia merupakan putra dari Raja Kalyana Shri yang memimpin Kerajaan Pala pada abad kesepuluh.
Jelasnya, dalam masa awal hidupnya, Atisa tertarik pada ajaran Buddhis dan memutuskan untuk mencari guru-guru Buddhisme yang penting dan berkemampuan. Pencariannya itu salah satunya berakhir pada seorang guru terkemuka yang tinggal di Sumatra, yaitu Suvarnadvipa Dharmakirti. Dalam catatan perjalanan yang dibuatnya, Atisa menyatakan bahwa guru di Sumatra ini merupakan yang paling terkemuka dari sekitar seratus lima puluh guru yang ditemuinya sepanjang perjalanan studi itu.
Atisa tinggal selama dua belas tahun di Srivijaya sebelum melanjutkan perjalanannya untuk membabarkan dan menegakkan kembali ajaran Buddhisme di Tibet. Salah satu praktik yang dibawa oleh Atisa dari Srivijaya ke Tibet adalah praktik Boddhicitta, yaitu sebuah praktik penyadaran diri terhadap benih pencerahan yang tersembunyi dalam setiap manusia.Â
Mempertimbangkan bahwa Dharmakirti adalah guru paling penting Atisa, dapat dikatakan pula bahwa sebagian besar ajaran Atisa terpengaruh secara pasti oleh pemikiran Dharmakirti. Dengan demikian, perkembangan Buddhisme Tibet hingga seperti sekarang sesungguhnya mendapat akar pemikirannya dari kebudayaan Srivijaya dan ajaran guru Buddhis di sana.
Kita dapat melihat pentingnya peran Srivijaya dalam perkembangan Buddhisme Tibet melalui teks-teks Atisa yang masih bertahan hingga sekarang. Salah satu teks yang jelas-jelas merupakan ajaran Dharmakirti dan justru hanya bertahan di Tibet adalah teks Durbodhaloka.Â
Melalui skema yang kita lihat di atas, sesungguhnya kendala penelitian kebudayaan Srivijaya dapat diatasi dengan mempertimbangkan sumber-sumber Tibet yang merupakan turunan dari ajaran guru-guru Srivijaya. Dengan demikian, kita sekaligus pula dapat mengintegrasikan sejarah kita dengan sejarah regional, bukan saja sebagai pihak penerima, namun sebagai pihak pemberi.
Daftar Sumber
- Powes, John. 2007. Introduction to Tibetan Buddhism. New York: Snow Lion Publication.
- Snellgrove, David. 1987. Indo-Tibetan Buddhism: Indian Buddhists and Their Tibetan Successors. Boston: Shambala Publication.
- Kapstein, Matthew T. 2014. Tibetan Buddhism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
- Vlekke, B. H. M., 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Skilling, P., 1997. "Dharmakirti's Durbodhaloka and the Literature of Srivijaya". Journal of the Siam Society Vol. 85, Parts 1 & 2, pp. 187-194.
- Boechari, 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Penulis
C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.