Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemilihan Umum Mataram Kuno

14 Juni 2019   17:55 Diperbarui: 5 Mei 2022   03:12 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inscriptie van radja Balitoeng in Randoesari te Semarang (KITLV, 1941-1953)
Inscriptie van radja Balitoeng in Randoesari te Semarang (KITLV, 1941-1953)

Sekalipun diamankan oleh bentang alam dan intensitas interaksi antarmasyarakat, pilihan rakyat pada kerajaan-kerajaan agraris tetap menjadi sebuah faktor penting yang menentukan kekuasaan raja. Rakyat tetap mampu untuk melaksanakan "pemilihan umum" terhadap raja.

Telah saya bahas dalam tulisan saya sebelumnya bahwa kekuasaan raja di Jawa sangat dipengaruhi oleh wahyu. Orang yang berhak berkuasa adalah orang yang mendapat wahyu langit atau wahyu keprabon. Permasalahan wahyu ini memang penting, namun ini hanya satu instrumen kekuasaan. Instrumen materiel yang paling penting adalah rakyat. Dengan demikian, bagaimana rakyat melaksanakan pemilihan umum pada zaman kuno?

Masyarakat tani adalah golongan masyarakat yang mengamalkan prinsip subsistensi atau prinsip yang memenuhi kebutuhan hidup yang paling minimal. Ada empat instrumen yang harus dipenuhi oleh masyarakat tani, yaitu kalori, biaya seremonial, penggantian kerusakan, dan biaya sewa tanah. Instrumen yang terakhir itu berkaitan dengan hubungan mereka dan penguasa. Untuk "membayar" sewa tanah kepada raja, masyarakat tani menyerahkan sebagian hasil tanahnya dan melaksanakan kerja wajib.

Dengan demikian, kebijakan raja seharusnya mempertimbangkan kemampuan petani untuk membayar pajak hasil bumi dan tenaga itu. Petani akan melakukan pemilihan umum ketika seorang raja menaikkan pajak dan membuat petani tidak mampu memenuhi tiga instrumen lain yang harus dipenuhi tadi.

Dalam kasus Kerajaan Mataram Kuno, pemilihan umum ini dilakukan dengan berpindah secara kolektif. Bila seorang raja sudah tidak menguntungkan kehidupan kaum tani, mereka akan berpindah ke wilayah lain, baik kepada raja lain maupun menuju tanah kosong. Dengan demikian, pemilihan umum tidak dilaksanakan dengan pemungutan suara melalui kertas-kertas, namun dengan cara berpindah dan memohon perlindungan pada kerajaan lain atau membuka lahan baru yang tidak diperintah oleh raja.

Banyak kegelisahan ilmiah yang timbul dari kenyataan bahwa monumen seperti Borobudur dan Prambanan ditinggalkan secara begitu saja oleh masyarakat pendukungnya. Sebagian ahli berpendapat bahwa perpindahan masyarakat dari Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur pada sekitar abad ke-10 disebabkan oleh beban kerja yang besar untuk membangun monumen-monumen keagamaan. Tentu saja, sebagian lainnya berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh erupsi Gunung Merapi.

Namun demikian, aksi perpindahan secara kolektif ini memang menjadi satu-satunya jalan damai bagi masyarakat untuk "memilih" pemimpin mereka. Bila mereka mengadakan perebutan kekuasaan, aksi itu akan berdarah-darah dan menimbulkan keguncangan. Keguncangan itu akan membuat kehidupan subsistensi mereka terancam karena menimbulkan keadaan tidak aman --mengundang perampokan dan ketakutan.

Dengan demikian, satu-satunya cara yang paling tidak berisiko adalah berpindah. Namun demikian, perpindahan ini tidak merupakan aksi separatisme wilayah. Kelompok masyarakat tani tidak meminta tanah yang mereka huni untuk menjadi merdeka dari penguasa.

Dari episode sejarah kuno tersebut, kita dapat memandang bahwa masyarakat Nusantara telah mengamalkan suatu jalan pemilihan umum yang damai sejak masa klasik. Masyarakat menghindari terciptanya keadaan tidak aman karena khawatir terhadap kondisi perekonomian bersahaja mereka. Dengan demikian, tidakkah manusia Indonesia masa kini dapat mengambil satu sisi sejarah ini sebagai bahan refleksi?

Sekalipun pola berpindah tadi akan tidak relevan untuk diamalkan pada masa kini, namun aspek meminimalisir konflik dan aksi kolektif yang tidak mengganggu perekonomian tentu sangat relevan untuk diamalkan. Selain sisi ini, tentu sejarah kuno menghadirkan banyak sisi lain yang patut untuk dipertimbangkan, seperti topik suksesi yang telah sering dibahas oleh Ong Hok Ham atau aksi kolektif masyarakat yang selalu diteliti oleh para sejarawan agraria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun