Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemilihan Umum Mataram Kuno

14 Juni 2019   17:55 Diperbarui: 5 Mei 2022   03:12 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gezicht op de Borobudur (KITLV, circa 1900)

Topik paling mutakhir yang sedang hangat diperbincangkan beberapa hari ini adalah sidang sengketa hasil Pemilihan Umum 2019. Sejak pengumuman hasil Pemilu pada 21 Mei 2019, kedua koalisi yang bertanding pada pemungutan suara telah mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk saling berhadapan lagi di muka pengadilan. Dengan demikian, sidang sengketa tadi dapat kita pandang sebagai episode kedua penentuan pemimpin negeri. Hal ini menyebabkan topik pemilihan umum menjadi relevan kembali.

Untuk menyambut episode kedua itu, terdapat satu topik sejarah yang menarik untuk diperbincangkan, yaitu pemilihan umum sebelum masa modern.

Para sejarawan sepakat bahwa pemilihan umum pertama yang diadakan di Indonesia terjadi pada tahun 1955, di bawah arahan atau naungan dari kabinet Burhanuddin Harahap. Namun demikian, bila kita melihat susunan kata yang membentuk frasa "pemilihan umum", dapat pula dipandang bahwa pemilihan umum tahun 1955 bukan merupakan pemilihan umum pertama.

Bila diartikan secara bebas, pemilihan umum mengandung dua pokok, yaitu tindakan memilih dalam kata "pemilihan" dan melibatkan masyarakat secara kolektif dalam kata "umum". Pemilihan umum tahun 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan model pemungutan suara yang serupa dengan pemungutan suara di dunia modern --baik di Eropa, Amerika, atau belahan dunia lain. Namun demikian, sejak masa klasik, kepulauan Nusantara telah memiliki model pemilihan umumnya sendiri.

Secara garis besar, tradisi kekuasaan di Nusantara dibagi menjadi dua macam, yaitu tradisi maritim dan tradisi agraris. Pada tradisi maritim, kekuasaan negara lebih lemah dibandingkan pada tradisi agraris. Kekuasaan seorang raja dipagari oleh kehadiran golongan aristokrat yang umumnya merupakan para pedagang kaya.

Dengan kenyataan itu, raja tidak memiliki kekuatan absolut. Tentu hal ini dapat dikecualikan pada beberapa raja, seperti Sultan Iskandar Muda yang menekan kekuasaan aristokrasi para orangkaya dan memusatkan komando pada lembaga kerajaan. Namun, kasus seperti ini sangat jarang terjadi dan umumnya hanya bertahan pada satu generasi raja saja.

Bertolak belakang dengan model kekuasaan pada tradisi maritim, tradisi agraris menghadirkan kekuasaan absolut kepada raja. Faktor yang paling memengaruhi hal ini adalah interaksi. Pada masyarakat maritim, interaksi antara golongan bukan kerajaan dengan kelompok dari luar wilayahnya terjadi dengan sangat intens.

Bentang alam pesisir pantai juga memungkinkan seseorang untuk pergi bersama dengan harta bendanya ketika seorang raja menunjukkan kebijakan yang tidak menguntungkan. Dengan demikian, raja memiliki kewajiban untuk bersikap lebih penuh pertimbangan dan tidak absolut.

Pada masyarakat agraris, interaksi dan bentang alam itu sangat berkebalikan. Masyarakat berada pada wilayah geografis yang dikelilingi hutan belantara. Persentuhan mereka dengan dunia di luar masyarakat juga sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kekuasaan raja menjadi absolut.

Raja agraris tidak perlu mengkhawatirkan ide-ide revolusioner yang dibawa oleh orang asing kepada masyarakatnya seperti raja-raja pesisiran. Jelasnya, raja agraris berada pada kondisi-kondisi pendukung yang menyangga kekuasaan absolutnya.

Inscriptie van radja Balitoeng in Randoesari te Semarang (KITLV, 1941-1953)
Inscriptie van radja Balitoeng in Randoesari te Semarang (KITLV, 1941-1953)

Sekalipun diamankan oleh bentang alam dan intensitas interaksi antarmasyarakat, pilihan rakyat pada kerajaan-kerajaan agraris tetap menjadi sebuah faktor penting yang menentukan kekuasaan raja. Rakyat tetap mampu untuk melaksanakan "pemilihan umum" terhadap raja.

Telah saya bahas dalam tulisan saya sebelumnya bahwa kekuasaan raja di Jawa sangat dipengaruhi oleh wahyu. Orang yang berhak berkuasa adalah orang yang mendapat wahyu langit atau wahyu keprabon. Permasalahan wahyu ini memang penting, namun ini hanya satu instrumen kekuasaan. Instrumen materiel yang paling penting adalah rakyat. Dengan demikian, bagaimana rakyat melaksanakan pemilihan umum pada zaman kuno?

Masyarakat tani adalah golongan masyarakat yang mengamalkan prinsip subsistensi atau prinsip yang memenuhi kebutuhan hidup yang paling minimal. Ada empat instrumen yang harus dipenuhi oleh masyarakat tani, yaitu kalori, biaya seremonial, penggantian kerusakan, dan biaya sewa tanah. Instrumen yang terakhir itu berkaitan dengan hubungan mereka dan penguasa. Untuk "membayar" sewa tanah kepada raja, masyarakat tani menyerahkan sebagian hasil tanahnya dan melaksanakan kerja wajib.

Dengan demikian, kebijakan raja seharusnya mempertimbangkan kemampuan petani untuk membayar pajak hasil bumi dan tenaga itu. Petani akan melakukan pemilihan umum ketika seorang raja menaikkan pajak dan membuat petani tidak mampu memenuhi tiga instrumen lain yang harus dipenuhi tadi.

Dalam kasus Kerajaan Mataram Kuno, pemilihan umum ini dilakukan dengan berpindah secara kolektif. Bila seorang raja sudah tidak menguntungkan kehidupan kaum tani, mereka akan berpindah ke wilayah lain, baik kepada raja lain maupun menuju tanah kosong. Dengan demikian, pemilihan umum tidak dilaksanakan dengan pemungutan suara melalui kertas-kertas, namun dengan cara berpindah dan memohon perlindungan pada kerajaan lain atau membuka lahan baru yang tidak diperintah oleh raja.

Banyak kegelisahan ilmiah yang timbul dari kenyataan bahwa monumen seperti Borobudur dan Prambanan ditinggalkan secara begitu saja oleh masyarakat pendukungnya. Sebagian ahli berpendapat bahwa perpindahan masyarakat dari Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur pada sekitar abad ke-10 disebabkan oleh beban kerja yang besar untuk membangun monumen-monumen keagamaan. Tentu saja, sebagian lainnya berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh erupsi Gunung Merapi.

Namun demikian, aksi perpindahan secara kolektif ini memang menjadi satu-satunya jalan damai bagi masyarakat untuk "memilih" pemimpin mereka. Bila mereka mengadakan perebutan kekuasaan, aksi itu akan berdarah-darah dan menimbulkan keguncangan. Keguncangan itu akan membuat kehidupan subsistensi mereka terancam karena menimbulkan keadaan tidak aman --mengundang perampokan dan ketakutan.

Dengan demikian, satu-satunya cara yang paling tidak berisiko adalah berpindah. Namun demikian, perpindahan ini tidak merupakan aksi separatisme wilayah. Kelompok masyarakat tani tidak meminta tanah yang mereka huni untuk menjadi merdeka dari penguasa.

Dari episode sejarah kuno tersebut, kita dapat memandang bahwa masyarakat Nusantara telah mengamalkan suatu jalan pemilihan umum yang damai sejak masa klasik. Masyarakat menghindari terciptanya keadaan tidak aman karena khawatir terhadap kondisi perekonomian bersahaja mereka. Dengan demikian, tidakkah manusia Indonesia masa kini dapat mengambil satu sisi sejarah ini sebagai bahan refleksi?

Sekalipun pola berpindah tadi akan tidak relevan untuk diamalkan pada masa kini, namun aspek meminimalisir konflik dan aksi kolektif yang tidak mengganggu perekonomian tentu sangat relevan untuk diamalkan. Selain sisi ini, tentu sejarah kuno menghadirkan banyak sisi lain yang patut untuk dipertimbangkan, seperti topik suksesi yang telah sering dibahas oleh Ong Hok Ham atau aksi kolektif masyarakat yang selalu diteliti oleh para sejarawan agraria.

Daftar Sumber

Lapian, Adrian B. 2017. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ong, Hok Ham. 2002. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara. Jakarta: Kompas.

Ong, Hok Ham. 2018. Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Reid, Anthony. 2014. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, 1450---1680: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor.

Scott, James C. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.

Wolf, Eric R. 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: CV. Rajawali.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun