Pertalian antara sejarah kolonial dan masa kini adalah suatu pembahasan yang selalu menarik perhatian. Daya tarik sejarah kolonial tidak saja datang dari kelampauan bahasannya, namun datang pula dari aspek kekinian yang selalu dapat dipertautkan dengan episode-episode masa lalu.Â
Fakta bahwa kesatuan geopolitik negara Indonesia kontemporer dibangun di atas batas-batas Hindia Belanda adalah salah satu "warisan" negeri kolonial itu. Di samping "warisan" yang ditinggalkannya tadi, negeri kolonial Hindia Belanda rupanya dapat berperan sebagai bahan refleksi mendalam atas permasalahan kekinian yang mengemuka dan menyertai kita hingga kini.
Salah satu episode yang paling terkemuka pada periode kolonial adalah masa cultuurstelsel --sekitar tahun 1830 hingga 1870. Masa ini memunculkan suatu usaha eksploitasi negara kolonial terhadap masyarakat bumiputra melalui sistem tanam komoditas ekspor. Sasaran utama dari sistem penanaman ini adalah wilayah Jawa, kecuali pada beberapa daerah yang difokuskan untuk menghasilkan hasil hutan.Â
Cultuurstelsel yang digagas oleh intelektual Belanda yang kemudian menjabat gubernur jenderal, J. van den Bosch, menimbulkan pengaruh yang berbeda-beda pada setiap daerah menyoal realisasinya yang beragam. Secara de jure, aturan cultuurstelsel tampak tidak memberatkan dengan mewajibkan dua puluh persen dari tanah petani untuk menanam berbagai tanaman ekspor.Â
Namun demikian, pemerintah kolonial justru menyuburkan praktik otoriter pejabat lokal ketika menggagas adanya cultuurprocenten atau bonus atas lebihan panen. Pejabat lokal pada akhirnya menekan kaum tani untuk memproduksi surplus sehingga mereka dapat menikmati cultuurprocenten.
Praktik otoriter ini dalam jangka waktu lebih dari tiga puluh tahun menciptakan suatu struktur yang menekan derajat hidup kaum tani di Jawa. Pada tahap-tahap yang ekstrim, petani Jawa bahkan menggunakan lebih dari sembilan puluh persen tanahnya untuk menanam tanaman ekspor.Â
Dengan demikian, sekalipun penduduk Jawa pada kurun waktu 1830 hingga 1870 mengalami kenaikan dari segi jumlah, terjadi pula kemerosotan taraf hidup yang sangat mengecewakan. Hal ini disadari oleh beberapa tokoh Eropa yang bekerja sebagai pegawai kolonial di Jawa. Dengan latar belakang ini, muncul kritik pada dekade 1860.Â
Kritik ini disampaikan dengan judul Max Havelaar yang disusun oleh Eduard Douwes Dekker. Bersamaan dengan menguaknya kritik, pada akhir dekade 1860, parlemen Kerajaan Belanda diisi oleh kaum liberal yang mulai menikmati kejayaan usai Revolusi Prancis. Pertautan antara kritik humanis dan kemenangan liberal pada akhirnya membuka pintu negara kolonial untuk investasi kaum liberal.
Kemenangan kaum liberal dan pelaksanaan Open-deur Politiek atau Politik Pintu Terbuka rupanya menghasilkan pengaruh lain yang lebih mendalam. Dalam pandangan Bondan Kanumoyoso, hal ini menyebabkan terjadinya ekspansi negara kolonial --dari yang pada mulanya bersifat eksploitatif pada Jawa semata, kini merambah pulau-pulau di luar Jawa.Â
Bila kita pertimbangkan tujuan awal kebijakan Pintu Terbuka tadi, sesungguhnya terdapat salah satu tujuan tersirat untuk memperbaiki taraf hidup Jawa. Dengan adanya ekspansi negara kolonial, wilayah luar Jawa dimanfaatkan secara intensif untuk kemudian menghasilkan surplus yang berguna bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan di Jawa melalui pajak-pajak yang dikenakan pada perusahaan swasta.Â