Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2018 tercatat hanya tumbuh sebesar 5.17%, lebih rendah dari triwulan II-2018 yang sebesar 5.27%. Selama periode 2005-2013, rata-rata ekonomi Indonesia tumbuh 6.1%. Namun pada periode 2014-2017 ekonomi Indonesia hanya tumbuh rata-rata 5%.
Pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% sepertinya akan menjadi hal baru bagi perekonomian Indonesia kedepan.
Konsumsi dan Investasi Adalah Kunci
Secara struktur, konsumsi rumah tangga (private consumption) dan investasi masing-masing berkontribusi sekitar 55% dan 30% terhadap perekonomian Indonesia.
Ketika tingkat konsumsi meningkat, maka konsumen akan membeli barang/jasa lebih banyak. Investasi dan perdagangan pun akan meningkat karena semakin banyak barang/jasa yang harus diproduksi oleh produsen. Di Indonesia, aktivitas perekonomian ini secara umum digerakan oleh dua kelompok sosial: kelas menengah dan kelas bawah.
Kelas menengah Indonesia yang berjumlah 52 juta orang berkontribusi sebesar 43% dari keseluruhan total konsumsi nasional (World bank, 2017). Ciri-ciri kelompok menengah adalah: pengeluaran per kapita per hari antara $2-$20, memiliki daya konsumsi tinggi, kualifikasi pendidikan yang cukup, dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Mereka pada dasarnya memiliki cukup tabungan untuk plesiran namun cenderung wait and see untuk berinvestasi. Ketidakstabilan politik serta isu intoleransi sedikit banyak juga mempengaruhi keinginan kelas menengah untuk berinvestasi ("Saving not Spending: Indonesia's Domestic Demand Problem" oleh Raden Pardede & Shirin Zahro, 2017). Disisi lain, jiwa kewirausahaan yang tidak terbentuk secara matang, baik di bangku pendidika/lingkungan sekitar, cenderung membentuk pikiran alam bawah sadar serta karakter mereka untuk bekerja bagi orang lain (pegawai). Andai uang tabungan mereka digunakan untuk berinvestasi produktif (asuransi, obligasi, reksa dana, atau bewirausaha), tentu hal ini dapat membantu meningkatkan serta memperluas peluang-peluang pembangunan ekonomi.
Kelompok selanjutnya adalah kelas bawah Indonesia yang berjumlah 90 juta orang (World Bank, 2017). Ciri-ciri kelompok ini adalah: pengeluaran per kapita per hari kurang dari $2, memiliki daya beli yang sangat terbatas serta rentan tergerus, minim kualifikasi serta akses perbankan, dan sangat bergantung secara finansial kepada orang lain ataupun pemerintah.Â
Sebagian besar uang mereka habis dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan dasar harian. Jika harga-harga kebutuhan pokok naik ataupun tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah, kelompok inilah yang paling merasakan dampaknya (semakin parah kemiskinannya).Â
Andai kelompok ini dapat mengkonsumsi barang/jasa secara stabil ataupun naik menjadi middle class, tentu hal ini akan menciptakan peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat serta berkualitas.
Pertumbuhan Kurang Berkualitas
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, data dari Badan Pusat Statistik terbaru juga menunjukan bahwa tingkat pengangguran pada Agustus 2018 adalah sebesar 5.34% (7 juta orang), lebih tinggi dibanding dengan periode Februari 2018 yang sebesar 5.13% (6.8 juta orang).Â
Jika setiap 1% pertumbuhan ekonomi di 2010 dapat menciptakan lapangan kerja sebanyak 548.000 orang, maka saat ini setiap kenaikan 1% Â pertumbuhan diperkirakan hanya menyerap 200-300 ribu orang.
Dari sisi ketimpangan, pertumbuhan ekonomi yang ada justru memperlebar jarak antara si kaya dan si miskin. Hasil riset World Bank tahun 2015 menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20% penduduk terkaya daripada masyarakat pada umumnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini dapat dibilang kurang berkualitas karena hanya mampu menyerap tenaga kerja lebih sedikit serta menciptakan ketimpangan kronis di dalam masyarakat.Â
Esensi berkualitas dalam hal ini adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi: (1) dapat mengurangi kemiskinan serta ketimpangan di masyarakat; (2) meningkatkan standar hidup masyarakat kelas bawah; (3) menciptakan lapangan kerja; dan (4) meningkatkan jumlah kelas menengah.
Lepas Dari 5% dan Berkualitas
Lantas bagaimana agar Indonesia dapat mencatatkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% serta berkualitas?
Pertama, berikan stabilitas politik yang cukup serta minimalisir intoleransi ataupun isu-isu arus utama lainnya (KKN, regulasi perpajakan, administratif) yang mengganggu iklim usaha baik di pusat maupun daerah. Hal ini dilakukan untuk mendorong middle class ataupun investor agar merasa nyaman berinvestasi di sektor produktif yang mampu menyerap tenaga kerja.
Kedua, berikan prioritas serta kemudahan untuk sektor-sektor padat karya untuk terus tumbuh agar dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Membangun sektor yang unggul memang penting, tetapi diversifikasi ekonomi untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai keahlian masyarakat secara umum jauh lebih penting.Â
Ketiga, menjaga serta meningkatkan kualitas human capital di kelas bawah dan menengah sebagai mesin utama perekonomian. Hal ini krusial dilakukan untuk menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas serta memenuhi "skills gap" di lapangan kerja.
 Harapannya, kue perekonomian yang ada dapat semakin membesar (tumbuh lebih dari 5%) serta dapat dibagikan secara adil kepada seluruh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H