Abstrak
Penelitian ini dipilih untuk mengkaji persepsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas terhadap UU ITE Pasal 27 Ayat 3, yang mengatur tentang larangan penyebaran informasi yang melanggar penghinaan dan pencemaran nama baik. Dalam era digital yang semakin berkembang, pemahaman dan sikap mahasiswa hukum terhadap regulasi ini menjadi penting untuk menciptakan kesadaran hukum yang lebih baik. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, di mana data dikumpulkan melalui wawancara dengan menanyakan bagaimana persepsi mahasiswa di fakultas tersebut terkait dengan apakah UU ITE Pasal 27 Ayat 3 membatasi kebebasan berpendapat atau tidak. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif untuk mengidentifikasi pola persepsi mahasiswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki pemahaman yang cukup baik mengenai UU ITE Pasal 27 Ayat 3, namun terdapat perbedaan persepsi terkait pembatasan kebebasan berpendapat pada pasal tersebut. Sementara sebagian besar responden setuju bahwa pasal ini penting untuk melindungi masyarakat dari konten negatif, ada juga kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan hukum yang dapat membatasi kebebasan berpendapat.
Kesimpulan analisis menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa memiliki pemahaman yang baik tentang regulasi ini, masih diperlukan edukasi lebih lanjut mengenai maksud dari penghinaan dan pencemaran nama baik pada Pasal 27 Ayat 3 UU ITE ini. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlunya sosialisasi dari pemerintah yang mencakup pemahaman mendalam tentang UU ITE, serta pelatihan tentang hak dan tanggung jawab dalam penggunaan media digital untuk mencegah penyalahgunaan hukum.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di era digital telah membawa dampak signifikan terhadap cara individu berinteraksi dan menyampaikan pendapat. Namun, di sisi lain, kemudahan akses informasi juga menimbulkan tantangan baru terkait dengan penyebaran konten yang melanggar norma sosial dan hukum. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi salah satu regulasi yang diharapkan dapat mengatur perilaku di dunia maya, khususnya Pasal 27 Ayat 3 yang melarang penyebaran informasi yang mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik.
Kasus Jovi Andrea Bachtiar yang viral di media sosial menjadi contoh nyata dari penerapan UU ITE Pasal 27 Ayat 3. Jovi, yang terlibat dalam perdebatan publik terkait perilakunya di media sosial, menghadapi tuduhan pencemaran nama baik. Kasus ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat mengenai batasan kebebasan
berpendapat dan perlindungan terhadap individu dari informasi yang merugikan. Sehingga terjadinya kasus ini menarik minat kami untuk mengkaji persepsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas sebagai calon profesional hukum dalam pemahaman mereka tentang regulasi ini. Apakah benar jika ditilik dari kasus tersebut, UU ITE Pasal 27 Ayat 3 dapat dikatakan sebagai bentuk pembatasan dari kebebasan berpendapat atau bukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi persepsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas terhadap UU ITE Pasal 27 Ayat 3, serta bagaimana mereka menilai penerapan pasal tersebut dalam konteks kebebasan berpendapat. Dengan memahami pandangan mahasiswa, diharapkan dapat diperoleh wawasan yang lebih baik mengenai solusi seperti apa yang mampu untuk menjawab permasalahan UU ITE Pasal 27 Ayat 3 dalam anggapan pembatasan kebebasan berpendapat.
TUJUAN
Mengeksplorasi persepsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas mengenai UU ITE Pasal 27 Ayat 3. Selain itu, penelitian ini juga dapat menilai penerapan pasal tersebut dalam konteks kebebasan berpendapat. Dengan melakukan penelitian ini pula, dapat mengidentifikasi pandangan mahasiswa mengenai batasan kebebasan berpendapat dan perlindungan individu dari pencemaran nama baik.
METODE
Penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif deskriptif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu prosedur yang menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata, baik tertulis maupun lisan, yang berasal dari individu yang diamati atau dari perilaku mereka (Lexy J. Moleong, 2010: 4). Metode ini dipilih karena analisis yang dilakukan tidak dapat direpresentasikan dalam angka, sehingga peneliti dapat mendeskripsikan dengan jelas berbagai fenomena yang ada di masyarakat. Proses penelitian ini dilakukan secara bertahap sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan, dengan tujuan untuk mengumpulkan data secara komprehensif. Data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi akan disajikan dalam bentuk deskripsi, menggunakan kata-kata yang mudah dipahami. Selain itu, terdapat juga data pendukung berupa denah lokasi dan foto-foto hasil observasi.
Dalam penelitian kali ini, subjek dari penelitian kami adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2021. Penentuan subjek ini dilandasi dari pemikiran bahwa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2021 telah mampu memberikan tanggapan dan analisis terhadap UU ITE Pasal 27 Ayat 3. Sampel yang diambil adalah 5% dari jumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2021.
Kami melakukan wawancara dan dokumentasi guna mendapatkan data dari penelitian, yang bertujuan agar data yang kami dapatkan murni dari pendapat dan analisis narasumber, yakni mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2021. Dalam tahap
wawancara, kami melakukan pendekatan secara personal agar narasumber merasa nyaman saat kami wawancarai. Kami memberikan tiga
pertanyaan dalam bentuk lisan, yang akan kami dokumentasikan dengan video dan rekaman suara, agar saat pembuatan kesimpulan dan pembahasan data dapat lebih mudah dikumpulkan dan dirangkum menjadi sebuah produk yang dapat dilihat, dan dalam penelitian ini produk penelitiannya adalah artikel dan poster.
Penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif deskriptif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu prosedur yang menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata, baik tertulis maupun lisan, yang berasal dari individu yang diamati atau dari perilaku mereka (Lexy J. Moleong, 2010: 4). Metode ini dipilih karena analisis yang dilakukan tidak dapat direpresentasikan dalam angka, sehingga peneliti dapat mendeskripsikan dengan jelas berbagai fenomena yang ada di masyarakat. Proses penelitian ini dilakukan secara bertahap sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan, dengan tujuan untuk mengumpulkan data secara komprehensif. Data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi akan disajikan dalam bentuk deskripsi, menggunakan kata-kata yang mudah dipahami. Selain itu, terdapat juga data pendukung berupa denah lokasi dan foto-foto hasil observasi.
Dalam penelitian kali ini, subjek dari penelitian kami adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2021. Penentuan subjek ini dilandasi dari pemikiran bahwa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2021 telah mampu memberikan tanggapan dan analisis terhadap UU ITE Pasal 27 Ayat 3. Sampel yang diambil adalah 5% dari jumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2021.
Kami melakukan wawancara dan dokumentasi guna mendapatkan data dari penelitian, yang bertujuan agar data yang kami dapatkan murni dari pendapat dan analisis narasumber, yakni mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2021. Dalam tahap
wawancara, kami melakukan pendekatan secara personal agar narasumber merasa nyaman saat kami wawancarai. Kami memberikan tiga
pertanyaan dalam bentuk lisan, yang akan kami dokumentasikan dengan video dan rekaman suara, agar saat pembuatan kesimpulan dan pembahasan data dapat lebih mudah dikumpulkan dan dirangkum menjadi sebuah produk yang dapat dilihat, dan dalam penelitian ini produk penelitiannya adalah artikel dan poster.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Persepsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas terhadap UU ITE dalam hal pembatasan atau perlindungan dalam kebebasan berpendapat.
Persepsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas terhadap UU ITE dalam hal pembatasan atau perlindungan dalam kebebasan berpendapat
mematuhi ketentuan yang ada, sehingga tidak menimbulkan kekacauan atau masalah hukum dalam penggunaan media elektronik di Indonesia.
Media elektronik di Indonesia dapat diakses oleh semua kalangan, tanpa batasan usia. Hal ini menuntut tanggung jawab pengguna terhadap informasi yang mereka sampaikan. Penting untuk diingat bahwa informasi elektronik yang disebarkan tidak jarang mengandung unsur penghinaan atau pencemaran nama baik, yang tentunya merugikan pihak lain (Permadi and Bahri, 2022). Jika penggunaan media elektronik tidak diatur dengan baik, risiko munculnya permasalahan hukum di masyarakat menjadi sangat tinggi (Handoko and Farida, 2021).
Terkait dengan kebebasan berpendapat di Indonesia, terdapat beberapa regulasi yang mengatur hal ini, di antaranya UU ITE, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, setiap
warga negara diwajibkan untuk bertanggung jawab atas informasi dan data yang disampaikan. Sementara itu, Pasal 310 KUHP mengatur tentang pencemaran nama baik. Jika informasi yang disampaikan mengandung unsur pencemaran nama baik atau berita bohong, maka kebebasan berpendapat dapat dikenakan sanksi pidana (Wiraprastya and Nurmawati, 2016).
UU ITE juga mengatur dalam Pasal 27 ayat 3 mengenai tindakan mendistribusikan atau mentransmisikan dokumen elektronik yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik. Pernyataan dalam pasal ini telah memicu banyak perdebatan di kalangan masyarakat, terutama terkait dengan kebebasan berekspresi yang juga dilindungi oleh hak asasi manusia (HAM). HAM merupakan hak yang melekat pada setiap individu dan tidak dapat dicabut selama hidupnya.
Kebebasan berpendapat merupakan hak yang perlu dijunjung tinggi, dan setiap orang berhak atas perlindungan terhadap hak-hak mereka. Namun, perlu ditegaskan bahwa tindakan yang merugikan orang lain tetap akan menempatkan pelaku
pada posisi hukum yang dapat menyebabkan dampak yang merugikan bagi korban, baik secara material maupun formal.
Terkait dengan isu ini, kami melakukan wawancara kepada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas untuk menggali pandangan mereka mengenai apakah Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) membatasi kebebasan berpendapat. Dari 24 responden yang kami wawancarai, 15 di antaranya sepakat bahwa ketentuan ini memang membatasi kebebasan berpendapat. Mereka berargumen bahwa konstitusi, khususnya UUD 1945 Pasal 28E, telah menjamin hak setiap individu untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas. Dalam konteks ini, ketidakjelasan yang terdapat dalam UU ITE seharusnya tidak menjadi penghalang bagi kebebasan berpendapat tersebut.
Di antara 15 responden yang setuju, terdapat dua alasan utama yang sering mereka kemukakan. Pertama, kurangnya definisi jelas mengenai istilah "penghinaan" dan "pencemaran nama baik" dalam undang-undang ini
menyebabkan munculnya berbagai interpretasi saat diterapkan. Ketidakjelasan ini memicu potensi penyalahgunaan, di mana individu atau kelompok tertentu dapat menggunakan laporan atau kritik di media sosial untuk mendapatkan dukungan publik, dan saat melaporkannya kepada penegak hukum, respons yang diterima justru lebih lambat dibandingkan ketika isu tersebut viral di media sosial. Hal ini menjadikan UU ITE terlihat seakan-akan berupaya membungkam kritik atau pendapat.
Alasan kedua yang disampaikan adalah bahwa banyak kasus terkait Pasal ini melibatkan individu yang menyampaikan pendapat di media sosial, di mana mereka sering kali dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap tokoh-tokoh berkuasa. Ini bertentangan dengan Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapat. Dengan demikian, pembatasan hak berpendapat dapat menjadi hambatan bagi keberlangsungan pemerintahan yang demokratis. Sebuah negara yang demokratis semestinya menjunjung
tinggi dan menghargai hak asasi manusia, termasuk kebebasan berpendapat. Keberadaan UU ITE pun harus dipertanyakan dari segi tujuan dan maksud penerapannya.
Di sisi lain, ada 9 responden yang berpendapat bahwa UU ITE bukanlah bentuk pembatasan, melainkan langkah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, regulasi diperlukan untuk menangani dampak negatif, seperti pencemaran nama baik dan penghinaan di media sosial, agar dapat diterapkan secara tegas.
2. Revisi UU ITE Pasal 27 Ayat 3 sebagai solusi untuk menjawab jika regulasi ini merupakan pembatasan dari kebebasan berpendapat
Menurut Mardjono Reksodiputro, seperti yang dikutip oleh Arsyad Sanusi dalam bukunya "Cybercrime", terdapat perbedaan pandangan di antara para ahli hukum mengenai kebutuhan untuk membuat undang-undang baru yang mengatur tindak pidana yang terjadi melalui media internet. Perdebatan ini bahkan sudah dimulai sebelum isu terkait Pasal 27 ayat 3 UU ITE muncul. Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa undang-undang baru tidak diperlukan untuk menindak pelanggar, karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada saat ini masih sangat relevan. Mereka berargumen bahwa ketentuan dalam KUHP dapat diinterpretasikan secara luas untuk mencakup kejahatan yang memanfaatkan media internet.
Sebaliknya, J. Sudama Sastroamidjojo menekankan pentingnya merumuskan aturan khusus mengenai cyber law. Menurutnya, perlindungan hak-hak individu di ranah maya sangatlah krusial. Tindak pidana yang melibatkan komputer memerlukan pendekatan yang berbeda, mengingat metode, lingkungan, waktu, dan lokasi pelanggaran dalam konteks kejahatan komputer jelas berbeda dengan tindak pidana lainnya.
Sekaitan dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, perdebatan antara akademisi dan praktisi pun masih berlanjut. Berikut adalah beberapa pendapat yang mendukung keberadaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE:
a) Dalam pendapat pertama bahwa pasal ini tidak perlu dilakukannya revisi adalah karena responden menganggap bahwasannya isi dari pasal ini telah benar, yakni untuk melindungi masyarakat dari pendapat yang akan menyerang secara pribadi dan berlebihan. Dua dari 24 responden juga menyatakan bahwasannya dalam pasal ini tidak terdapat kesalahan. Namun, bagaimana
cara penggunaan dan penerapannya yang menjadi permasalahan, karena sering kali pasal ini disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam memperkarakan orang yang tidak bersalah.
Sering kali kasus seperti ini dijumpai ketika masyarakat melakukan kritik pada pemerintah melalui gambar karikatur, misalnya, lalu orang yang menyebarkan gambar karikatur ini bisa terjerat kasus pencemaran nama baik dan dapat dikatakan sebagai pelecehan kehormatan. Tidak hanya itu, responden yang menyatakan bahwa tidak perlunya melakukan revisi terhadap UU ITE Pasal 27 Ayat 3 ini karena sistem dari UU tidak boleh terlalu memberikan detail penjelasan seperti yang diharapkan, karena untuk penjelasan lebih lanjut itu sudah dijelaskan dalam UU pelaksanaannya. Sehingga UU ini dirasa sudah tepat dalam unsur sebagai sebuah regulasi yang memberikan dan menjamin kepastian hukum yang diinginkan. Untuk menjawab kekhawatiran dari penyalahgunaan pasal ini, sebenarnya dapat dilakukan pembelaan dan
pembuktian nanti di pengadilan. Dengan dampingan dari badan hukum yang baik, tentu akan menjadi beban pembuktian yang konkrit untuk pertimbangan hakim nantinya.
Ia juga berpendapat bahwa keputusan mencederai itu ada di tangan hakim, biasanya didukung oleh bukti-bukti pengadu. Jika bukti tidak jelas, maka bisa berbalik. UU ITE semestinya menilai kehormatan dari seseorang itu seperti apa mencederainya, agar tidak menjadi bumerang bagi sang pelapor. Jadi, jika dilakukannya revisi terhadap UU ITE Pasal 27 Ayat 3 ini justru malah akan menghancurkan keefektifan dari UU ITE itu, menjelaskan apa itu “pencemaran nama baik”, “pencorengan kehormatan” dalam frasa UU ITE Pasal 27 Ayat 3 bukan memberikan suatu solusi dari masalah yang beredar.
Dan jawaban ketika kami menanyakan tentang bagaimana cara agar UU ITE Pasal 27 Ayat 3 ini dipergunakan dengan sebenar-benarnya adalah, pemerintah, khususnya badan yang melakukan pengesahan dan pengecekan terhadap pembuatan undang-undang,
melakukan sosialisasi atau terbuka
dalam penetapan setiap hukumnya. Dalam penelitian ini adalah UU ITE Pasal 27 Ayat 3, melakukan sosialisasi bertujuan untuk menjelaskan bagaimana fungsi dan pembatasan dari UU ITE Pasal 27 Ayat 3 ini jauh lebih penting dari penambahan penjelasan tentang “pencemaran nama baik” itu sendiri.
Sosialisasi akan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap UU ITE sehingga tidak akan sembarangan dalam mempergunakannya untuk memperkarakan orang lain. Hal ini penting karena untuk melindungi masyarakat itu sendiri dari pengaduan pencemaran nama baik atau pengajuan banding orang yang mereka perkarakan.
Selain itu, pentingnya sosialisasi juga untuk melindungi orang yang diperkarakan oleh orang lain dengan pasal ini jika mereka tidak melakukan kesalahan. Pemahaman terhadap pasal ini akan membantu mereka dalam mengajukan banding dengan menggunakan bukti-bukti yang lebih kuat dan konkrit bahwasannya mereka tidak pernah melakukan kesalahan
seperti yang diperkarakan menggunakan UU ITE Pasal 27 Ayat 3 ini. Jadi, UU ITE Pasal 27 Ayat 3 ini sudah benar dalam frasanya, yang diperlukan hanyalah penjelasan dan pendekatan terhadap masyarakat. UU ITE Pasal 27 Ayat 3 tidak memberatkan pihak manapun ketika semua masyarakat paham akan sistem penggunaannya. Begitulah pendapat dari narasumber yang kami wawancarai.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 Ayat 3 membatasi kebebasan berpendapat. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari pembentuk UU mengenai ketentuan tersebut, sehingga terjadi penyalahgunaan di masyarakat. Selain itu, tujuan dari UU ITE Pasal 27 Ayat 3 adalah untuk membatasi kebebasan berpendapat demi melindungi hak atas tindakan dan tuduhan yang tidak pantas oleh pihak lain. Namun, sebagian pihak berpendapat bahwa pasal ini justru membatasi kebebasan berpendapat karena pemerintah belum memberikan definisi yang jelas mengenai kata "penghinaan". Akibatnya, pasal ini rentan disalahgunakan untuk membungkam pendapat. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah dapat memberikan kebebasan berpendapat yang lebih luas kepada masyarakat, terutama terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
SARAN
Dari hasil penelitian kami, selama beberapa minggu bersama para narasumber, yakni mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2021, kami sebagai penyusun karya ilmiah ini mengharapkan kepada orang yang dituju, yakni dalam penelitian ini adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), untuk merevisi isi dari UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet, sekaligus menjelaskan pengukuran dari pencemaran nama baik dan hal yang dikatakan mencederai kehormatan individu. Namun, bukan hanya penjelasan yang diharapkan, tetapi penerapan dan pengajaran kepada masyarakat tentang penggunaan UU ITE ini lebih urgent lagi untuk dilaksanakan agar tidak
terjadi lagi kesalahan dan penyalahgunaan tentang penerapan UU ITE Pasal 27 Ayat 3 ini.
Pengajaran kepada masyarakat tentang penggunaan UU ITE ini lebih urgent lagi untuk dilaksanakan agar tidak terjadi lagi kesalahan dan penyalahgunaan tentang penerapan UU ITE Pasal 27 Ayat 3 ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H