Tanggal dua belas Agustus setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Gajah Sedunia atau dikenal dengan istilah World Elephant Day. Kegiatan ini mulai dicanangkan pada tahun 2012 ketika masyarakat dunia menyadari adanya ancaman yang semakin serius bagi kelangsungan hidup gajah dan populasinya di negara-negara khususnya Afrika dan Asia.
Tingginya angka penurunan populasi gajah akibat kegiatan perburuan yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus telah meresahkan masyarakat dunia. Dua tahun yang lalu, 35.000 individu gajah telah hilang dari benua Afrika, apabila kejadian ini dibiarkan saja, diperkirakan tahun 2025, anak-anak manusia di masa depan tidak dapat lagi melihat kehidupan gajah di alam bebas. Informasi dari organisasi pecinta satwa langka dunia, World Wildlife Fund for Nature (WWF) menyebutkan dalam kurun waktu 25 tahun, telah terjadi penurunan populasi gajah lebih dari separuh di pulau Sumatera, Indonesia. Di tahun 2007, estimasi populasi adalah berkisar 2400 – 2800 individu, padahal jumlah gajah di tahun 1985 mencapai 5000 individu. Manusia telah menjadi musuh utama gajah.
Mengapa manusia terobsesi dengan kematian gajah?
Penyebab perburuan gajah tidak dapat dihentikan, salah satunya karena faktor ekonomi. Pepatah lama yang mengatakan “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama” tentulah tidak asing terdengar di telinga. Gading gajah memiliki nilai jual yang luar biasa. Permintaan pasar terutama dari benua Asia untuk gading gajah tergolong permintaan istimewa karena masyarakat Asia memiliki ramuan tradisional atau resep obat-obatan untuk penyembuhan penyakit berbahan utama gading, dan bagi beberapa kelompok suku di Asia, gading gajah menjadi simbol status sosial.
Bagaimana dengan nasib gajah di Indonesia? Yuk, sejenak bersama-sama kembali mengunjungi sebuah kawasan hutan terlindungi di pulau Sumatera, tepatnya di provinsi Riau. Kawasan yang diresmikan pada pertengahan bulan Juli 2004 dengan luas mencapai 120.000 hektar ini merupakan ‘rumah’ bagi keanekaragaman hayati, taman surga yang amat kaya dan subur bagi berbagai jenis burung, ikan sungai, hewan primata seperti siamang, wau-wau, kera ekor, juga ada beruang, harimau, buaya, tapir. ‘Rumah’ ini diberi nama Taman Nasional Tesso Nilo. Dengan posisi di’apit’ oleh kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, taman ini termasuk rumah bagi Gajah Sumatera ( Elephas Maximus Sumatrensis) yang juga terancam oleh berbagai praktik eksploitasi hutan terutama pembalakan liar yang dilakukan dengan berani dan terang-terangan di seluruh kawasan bekas Hak Pengusahaan Hutan ini. Faktor ekonomi juga-lah yang menjadi pemicu kegiatan ini. Elfian Effendi, seorang Greenomics Indonesia, memaparkan fakta mencengangkan nilai ekonomi dibalik penjualan kayu ilegal. Kayu tebangan liar (siap kirim) di lokasi penebangan memiliki potensi pencapaian nilai kisaran 43,3 miliar hingga 99,3 miliar rupiah. Bila diskonto sebesar 14% diperhitungkan, nilai tersebut sama dengan nilai bersih antara 201 – 460,7 miliar rupiah untuk delapan tahun ke depan, wow !