Perjalanan karir Kiai Mustain Romli sebagai tokoh Islam sangat bersinar di kancah nasional dan internasional. Padahal sebagian besar perjalanan  karir Kiai Mustain Romli pada masa Presiden Soeharto memimpin Indonesia dengan rezim Orde Barunya. Orde yang terkenal garang kepada umat Islam Islam terutama dari kalangan NU. Padahal pada masa itu juga NU---tokoh-tokohnya, pondok pesantrenya, benar-benar termarjinalkan. Akhirnya, Kiai Mustain Romli harus berpulang ke pangkuan Allah pada 21 Januari 1985. Kiai Mustain Romli dikebumikan di komplek pemakaman masayikh Pondok Pesantren Darul Ulum. Seberapa besar ketokohan seseorang, ia tetap akan kembali kepada Tuhannya. Ketokohan Kiai Mustain Romli, meninggalkan kemajuan bagi Pondok Peantren Darul Ulum, meninggalkan teladan bagi para santrinya, memberikan contoh bagi para tokoh Islam lainnya, dan meninggalkan pemikiran bagi bangsa Indonesia.
Oleh karea itu maka kiai pesantren merasa perlu untuk melakukan kegiatan politik, dengan target utama lembaga legilatif dan eksekutif atau bila mungkin lembaga yudikatif dan lembaga non pemerintah lainnya. Lewat kedua lembaga negara yang bergengsi itu khususnya dan umumnya, lembaga-lembaga non pemerintah lainnya, kiai pesantren dan mereka yang duduk mewakili kepentingan kiai pesantren dan Ormas NU, dapat memainkan peran-peran politiknya, misalnya peran dalam pengambilan berbagai keputusan, peran dalam melaksanakan fungsi-fungsi DPR, yakni bersama-sama Presiden membentuk undang-undang, membentuk undang undang tentang APBN, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan APBN dan kebijakan pemerintah serta berperan sebagai forum komunikasi antara rakyat dengan pemerintah dan DPR. Tentu, untuk sampai pada lembaga negara dan non negara tersebut,. Khusus untuk elite pesantren, pendirian beragam partai itu, bisa direalisasikan karena NU telah perlu ada sarana yang mengantarkannya, sedangkan kendaraan yang dipandang sangat efektif adalah partai politik. Oleh karena itu, pada tempatnya, bila para elite politik, elite agama, elite pesantren dan elite-elite lainnya, sebagaimana dijelaskan terdahulu, kemudian mendirikan partai yang sangat variatif kembali ke khittah 1926, dari organisasi politik menjadi organisasi atau Jam'iyah yang memusatkan perhatiannya pada kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta bidang sosial ekonomi, sehingga membuka kesempatan kepada kiai pesantren untuk berkiprah di partai politik, baik baru maupun lama.
Dengan demikian, sikap politik kiai di atas, nampak dipicu oleh banyak faktor dan untuk melengkapi faktor tersebut, berikut argumen argumen yang barangkali bisa dikategorikan sebagai factor pemacu. Pertama, bahwa sumber ajaran Islam memiliki lingkup tidak terbatas pada aspek ritual dan bimbingan moral, tetapi juga memberikan nilai-nilai pada semua sisi kehidupan, baik dalam ilmu ekonomi, hukum dan sosial maupun dalam persoalan politik dan Negara. Kedua, dengan posisinya sebagai pemuka (elite) agama, kiai pesantren memiliki pengikut dan pengaruh yang luas di tengah-tengah santri dan masyarakat di sekitar pesantren, sehingga menyebabkannya terlibat dalam persoalan pengambilan keputusan bersama, proses kepemimpinan, penyelesaian problem-problem sosial, pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Ketiga, dari segi sejarah, ulama, baik wali maupun kiai pesantren memiliki peran yang cukup besar dalam politik, yang bisa dilihat dalam pengambilan keputusan sepanjang sejarah Islam di Indonesia.
Fenomena sikap politik kiai pesantren terhadap perpolitikan di Indonesia, khususnya pada era reformasi, sejauh pengamatan saya dapat dijadikan sebagai bahasan dalam sebuah tulisan, mengingat masa itu merupakan bagian yang menentukan dari demokratisasi di Indonesia yang ditandai oleh pelaksanaan pemilu multi partai yang bebas, rahasia, jujur dan adil, pada 7 Juni 1999.
Dan sebuah kebijakan visioner hasil dari refleksi mendalam yang melahirkan semboyan bagi santri, yaitu memiliki "Berotak London dan Berhati Masjid al-Haram". Semboyan "Berotak London" sebagai pemaparan keluasan penguasaan ilmu pengetahuan, serta ajaran untuk berpikir kritis. "Berhati Masjid al-Haram" sebagai pemaparan kedalaman pemahaman, pengamalan agama, dan mendekatkan diri kepada Allah. Sehing Santri yang kelak mampu mengikuti perkembangan zaman tidak kolot dan tidak gagap teknologi dengan tetap mendekatkan diri kepada Allah.
DAFTAR PERPUSTAKA
Abdullah, Taufik, Nasionalisme & Sejarah, Bandung: Setya Historika, 2001, Cet. Ke-1. Abdullah, Taufiq (ed), Sejarah Ummat Islam Indonesia, Jakarta: MUI, 1991.
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. 80-81. Lihat pula Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), Cet. Ke-1, h. 304-309.
Mahbub Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 27-28.
H. Lukman Hakim Mustain. SH., MH, P.hd, sebagai Rektor pertama termuda th 1998 di Univesitas Darul Ulum dan saat ini sebagai Pembina Yayasan, beliau putra pertama kyai mustain. Â Wawancara Pribadi, Jombang, 29 agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H