Melirik pariwisata laut di Kepulauan Seribu
Indonesia merupakan negara bahari dengan kekayaan biota laut yang luar biasa. Sebagai negara archipelago yang memiliki 17.054 pulau dan memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, Indonesia tentunya memiliki potensi wisata  laut yang sangat menjual. Namun jika tidak benar menerapkannya, alam laut Indonesia bisa rusak dan tidak memiliki nilai sama sekali.
Pertanyaannya, apakah semua pihak yang bekerja di sektor wisata laut paham arti keberlanjutan? Jawabannya bisa jadi tahu, namun apakah diterapkan dengan sungguh-sungguh? Atau anggaplah semua yang bekerja di sektor ini tahu, tapi apakah para pengunjungnya tahu?Â
Kepulauan Seribu merupakan wisata bahari yang letaknya tidak jauh dari Jakarta. Tempat wisata yang mudah digapai secara jarak dan kocek. Justru karena kemudahannya diraih, pengunjungpun membludak, melebihi carryng capacity, terutama weekend, atau libur panjang. Penumpukan pengunjung bisa kita lihat di pelabuhan Muara Angke untuk antri menyeberang pada Sabtu pagi terutama.
Bisa dibayangkan, ribuan pengunjung, datang di waktu  dan tempat yang sama, pasti sampahnya juga banyak. Belum lagi jika mereka snorkeling di lokasi yang sama, lalu tidak semua terbiasa menggunakan fin (sepatu katak), mereka menyepak-nyepak karang-karang.Â
Atau saat mereka lelah lalu asal berdiri di atas karang, dan berfoto-foto sambal memegang biota laut untuk segera diunggah di sosial media. Serta banyak lagi polah pengunjung yang sembarangan yang tak dipikir panjang dampaknya.
Apalagi, ada target pemasukan yang harus dikejar, karena Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) jadi diwajibkan ikut mendongkrak roda perekonomian negara.
Artinya, jika masih memungkinkan, sebanyak-banyaknya pengunjung harus bisa ditampung dan tidak booleh ditolak. Hal itu jika tidak diantisipasi, akan semakin merusak kondisi Kepulauan Seribu yang sudah rusak. Ingat, apabila hanya mengejar perekonomian tanpa memikirkan keberlanjutan lingkungannya, otomatis colaps, percuma.Â
Lalu apa yang diharapkan jika isi lautnya rusak dan tak bisa dipandang lagi? Darimana pemasukan finansialnya? Secara otomatis, jika rusak sumber daya alamnya, tak aka nada pengunjung yang mau datang. Jadi kesadaran ekologis memang harus ditanamkan, karena sangat penting menjaga keberlanjutan.
Miller & Spoolman (2016) mendefinisikan keberlanjutan yaitu kapasitas dari sistem alami di bumi dan sistem budaya manusia untuk bertahan, berkembang dan beradaptasi pada perubahan kondisi lingkungan untuk jangka Panjang.Â
Artinya, jika dikaitkan dengan pola perilaku pengunjung di atas dalam berhadapan dengan sistem alam di bawah laut, maka alam akan cepat rusak dan tidak terjadi keberlanjutan.