BELAKANGAN ini, publik sempat diresahkan dengan iklan dari Aisha Weddings yang menawarkan jasa perkawinan anak. Kehadirannya yang sangat bertolak belakang dengan sikap negara membuat publik pun mempertanyakan, apakah revisi dari regulasi perkawinan di Indonesia sudah mengikat masyarakat secara komprehensif? Bilamana revisi sudah dirumuskan, lantas mengapa angka perkawinan anak justru mengalami lonjakan tinggi selama masa pandemi?
Berdasarkan data statistik United Nations Population Fund (UNFPA) tahun 2020, Indonesia menempati peringkat ke-8 dengan angka 1,2 juta kasus perkawinan anak di skala internasional. Angka ini terus meningkat mengingat situasi pandemi yang membelit perekonomian masyarakat, terlebih lagi masyarakat dari kalangan ekonomi terbawah.
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas (25,79%) dari angka perkawinan anak dilangsungkan oleh kelompok ekonomi terbawah dengan presentase 40%. Hal ini diakibatkan oleh stigma masyarakat bahwa dengan mengawinkan anak, beban keluarga akan berkurang.
Tak hanya fenomena krisis ekonomi, norma agama dan adat yang mengikat masyarakat juga memengaruhi praktik perkawinan anak. Meresponi fenomena dari iklan Aisha weddings, putri Gus Dur, Allisa Wahid, menegaskan bahwa fenomena ini merujuk pada sempitnya pemahaman akan keagamaan. Pemikiran ini penting untuk digaris bawahi mengingat interpretasi keagamaan tidak dapat dilakukan dengan hanya mengadopsi satu hadis saja.
Namun pada dasarnya, faktor determinan dari segi sosiologis dapat dientaskan tanpa pemberian izin dispensasi kawin jikalau rumusan dari regulasi pemerintah menjamin kepastian hukum berikut dengan pengaturan yang spesifik dan lugas agar tidak tercipta 'zona abu-abu' dalam praktik perkawinan.
Butuh waktu 45 tahun bagi pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan dirumuskan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 dalam rangka mengakomodir permohonan peninjauan ulang terhadap Pasal 7 ayat 1 dengan pertimbangan akan konstitualisme dan pengaturan yang dinilai diskriminatif terhadap gender.
Putusan inipun menuai respon positif dan juga kritik. Batasan umur yang telah dikondisikan ulang menjadi jaminan bahwa Indonesia memperlakukan rakyat tanpa pandang bulu. Kendati demikian, revisi dari regulasi ini masih belum berhasil dalam menuntaskan misi pemberantasan perkawinan anak. Pasalnya, presensi dari Pasal 7 ayat 1 menjadi 'kehilangan taring' akibat pengaturan di ayat-ayat berikutnya.
Dalam Pasal 7 ayat 2 menyatakan bahwa dispensasi dapat diajukan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Meski maksud dari frasa 'dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup' ialah untuk mengeliminasi permohonan dengan alasan yang kurang memumpuni.
Nyatanya, tidak ada parameter yang objektif terkait ukuran 'mendesak' dan 'bukti-bukti pendukung yang cukup'. Frasa-frasa yang tak dipaparkan dengan spesifik akan secara tidak langsung menimbulkan ruang multitafsir.
Adapun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin hanya sekadar mengatur proses mengadili permohonan dispensasi perkawinan berikut dengan persyaratan administrasi, asas-asas yang harus dipertimbangkan oleh hakim, maupun konsensus antara orang tua dengan anak, tanpa menjabarkan secara detail mengenai jenis perkara yang layak diberi perizinan dispensasi kawin.
Hal ini diperparah dengan putusan hakim yang tendesinya hanya menjadi mulut undang-undang. Padahal dalam isu ini, pertimbangan hukum dari hakim menjadi kunci utama dalam penyelesaian perkara ini, mengingat ketentuan pada regulasi yang masih ambigu.Â
Berdasarkan publikasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), angka penolakan permohonan dispensasi kawin hanya mencapai 2,66n hanya disebabkan oleh masalah adiministrasi dan prosedural. Maka, kesinergisan antara regulasi dengan integritas penegak hukum menjadi poin utama dalam rangka menciptakan keadilan substantif.
Dengan demikian, pemerintah masih perlu mengupayakan pengaturan dispensasi kawin lebih lanjut. Ruang multitafsir perlu dipersempit dengan memformulasikan standar perkara yang layak diberikan izin dispensasi kawin berikut dengan parameter yang lugas terkait frasa 'mendesak' dan bukti pendukung yang 'cukup'.Â
Dalam perkara ini, kondisi yang pantas digolongkan sebagai keadaan mendesak dan hanya bisa diselesaikan dengan dispensasi kawin ialah kondisi kehamilan di luar nikah.Â
Hal ini pun didukung oleh pengaturan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 53 Ayat (1), "Seorang perempuan yang hamil di luar perkawinan dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya." Maka, faktor sosiologis seperti kondisi perekonomian ataupun norma agama dan budaya dapat diselesaikan tanpa pemberian izin dispensasi kawin.
Jangan sampai dispensasi kawin diperalat menjadi jalan alternatif dan menghilangkan kewibawaan pemerintah pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019. Karena sejatinya, dispensasi kawin ditujukan sebagai jawaban dari persoalan yang mendesak, bukan pengalihan dari larangan ketentuan perkawinan anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H