Hal ini diperparah dengan putusan hakim yang tendesinya hanya menjadi mulut undang-undang. Padahal dalam isu ini, pertimbangan hukum dari hakim menjadi kunci utama dalam penyelesaian perkara ini, mengingat ketentuan pada regulasi yang masih ambigu.Â
Berdasarkan publikasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), angka penolakan permohonan dispensasi kawin hanya mencapai 2,66n hanya disebabkan oleh masalah adiministrasi dan prosedural. Maka, kesinergisan antara regulasi dengan integritas penegak hukum menjadi poin utama dalam rangka menciptakan keadilan substantif.
Dengan demikian, pemerintah masih perlu mengupayakan pengaturan dispensasi kawin lebih lanjut. Ruang multitafsir perlu dipersempit dengan memformulasikan standar perkara yang layak diberikan izin dispensasi kawin berikut dengan parameter yang lugas terkait frasa 'mendesak' dan bukti pendukung yang 'cukup'.Â
Dalam perkara ini, kondisi yang pantas digolongkan sebagai keadaan mendesak dan hanya bisa diselesaikan dengan dispensasi kawin ialah kondisi kehamilan di luar nikah.Â
Hal ini pun didukung oleh pengaturan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 53 Ayat (1), "Seorang perempuan yang hamil di luar perkawinan dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya." Maka, faktor sosiologis seperti kondisi perekonomian ataupun norma agama dan budaya dapat diselesaikan tanpa pemberian izin dispensasi kawin.
Jangan sampai dispensasi kawin diperalat menjadi jalan alternatif dan menghilangkan kewibawaan pemerintah pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019. Karena sejatinya, dispensasi kawin ditujukan sebagai jawaban dari persoalan yang mendesak, bukan pengalihan dari larangan ketentuan perkawinan anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H