Mohon tunggu...
reginagraciaalexander
reginagraciaalexander Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Katolik Parahyangan

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Efektivitas Penerapan Pajak Progresif Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Negara Indonesia

13 Januari 2025   08:25 Diperbarui: 13 Januari 2025   08:23 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel 1. Output Regresi Time Series EViews 13

PENDAHULUAN

Mewujudkan negara yang bebas dari ketimpangan bukan hal yang mudah. Realitanya, jika kita melihat dari kaleidoskop dunia, akan selalu ada negara yang berkondisi buruk sehingga gagal mencapai kesejahteraan yang layak dan merata dibandingkan dengan negara-negara lain yang berhasil mendekati egalitarianisme. Kondisi ini diukur dengan indeks gini (gini ratio), yakni alat untuk mengukur ketidakmerataan yang terjadi di masyarakat. Menggunakan metrik ini, dibuktikan lebih dari 80% negara di Amerika Latin dan lebih dari 50% negara di Sub-Sahara memiliki ketimpangan tinggi yang diindikasikan oleh indeks gini di atas 40, sedangkan mayoritas negara-negara di Eropa dapat mempertahankan indeks gini di bawah 40 (Fleck, 2024). Negara Indonesia sendiri berada pada urutan ke-62 dari 139 negara yang dikaji untuk ketimpangan (Hanung, 2018), didukung oleh kalkulasi Gibson (2017) bahwa 4 orang terkaya di Indonesia memiliki harta lebih dari 100 juta orang miskin. Menurut World Bank (2015), ketimpangan ini terjadi karena beberapa hal, yang pertama adalah ketimpangan peluang. Masyarakat yang lahir di negara dengan sumber daya yang terbatas atau berada di daerah konflik cenderung akan sulit untuk keluar dari gelembung nya dan bahkan tidak mengetahui bahwa mereka memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas hidupnya, karena seumur hidupnya tidak pernah terjadi perubahan di tempat mereka tinggal. Yang kedua adalah ketimpangan pasar kerja, dengan adanya kesenjangan sejak lahir, maka seluruh orang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan tidak berpijak pada start line yang sama, sehingga performa yang dapat dikontribusikan pun berbeda dan alhasil tidak dapat menerima imbalan yang setara. Yang ketiga adalah ketimpangan stabilitas, yang artinya ketika terjadi situasi genting seperti bencana alam atau wabah, umumnya masyarakat kaya telah memiliki pemikiran yang cukup maju untuk menyimpan aset tak berwujud (intangible asset) sehingga keamanannya terjamin dan mampu dicairkan saat dibutuhkan, sedangkan masyarakat miskin lebih rentan terhadap ancaman karena keterbatasan aset sehingga lebih terbatas pula peluangnya untuk mengamankan dirinya. Yang terakhir adalah ketimpangan pendapatan, merupakan hasil akhir dari ketiga ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat.

Ketimpangan pendapatan adalah kondisi di saat masyarakat dalam suatu negara tidak memperoleh pendistribusian pendapatan yang adil. Menurut Todaro (2015), ketimpangan pendapatan adalah perbedaan pendapatan yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga terjadi perbedaan yang mencolok di masyarakat. Telah diketahui alasan mengapa ketimpangan pendapatan terjadi, maka tanda tanya berikutnya adalah alasan mengapa ketimpangan pendapatan terus terjadi. Acemoglu dan Robinson (2012) pernah menyatakan bahwa kesejahteraan dapat diakses oleh seluruh rakyat apabila negara memiliki institusi yang inklusif, sehingga negara mampu menjamin hak kepemilikan, kemudahan untuk mencari peluang, pasar yang memiliki daya saing, dan infrastruktur yang merata. Institusi yang inklusif dicirikan dengan pemerintah yang berprinsip untuk memanfaatkan sumber daya dengan efisien, kuat, dan tidak korup. Maka, ditarik bahwa kunci dari kesejahteraan yang merata adalah berdirinya institusi yang inklusif di negaranya. Sayangnya, negara-negara dengan ketimpangan yang tinggi terbukti tidak memiliki institusi inklusif dan enggan menyediakan akses pembangunan manusia yang merata, contohnya seperti negara Kolombia yang berada di bawah pemerintahan korup dan akhirnya memperoleh indeks gini sebesar 54.8 (WDI, 2023). Selain dari institusi yang ekstraktif, penyebab keberlangsungan ketimpangan yang terus menerus adalah penerapan sistem ekonomi yang kapitalis. Solow dalam Taylor dan Lybbert (2020) berteori bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, maka negara perlu melakukan investasi modal setinggi-tingginya. Akan tetapi, jika banyak dari masyarakat tidak dibekali atau memiliki modal untuk berinvestasi dari awal, maka mereka tidak mampu mengakses peluang seperti demikian, sedangkan masyarakat kaya dapat terus memutarkan dan mengakumulasikan modalnya yang mengarahkannya ke perolehan pendapatan yang lebih tinggi. Teori Solow umumnya linier dengan teori produksi yang dijadikan sebagai dasar pemikiran ekonomi, yakni untuk mengefisiensikan input atau biaya serendah-rendahnya tetapi tetap mencapai output atau hasil yang tinggi. Dalam teori produksi, salah satu unsur penyusun biaya adalah pembayaran upah tenaga kerja, dan cara instan untuk mencapai hasil tinggi adalah dengan memberikan upah rendah kepada para tenaga kerja dengan tekanan produktivitas yang tinggi. Jika teori produksi ini diterapkan di bawah institusi yang ekstraktif, maka yang dihasilkan bukanlah efisiensi tetapi eksploitasi karena tidak diimbangi dengan jaminan hidup yang adil dan layak. Inilah yang sering terjadi di negara dengan ketimpangan tinggi, khususnya di negara-negara dunia ketiga atau berkembang.

Salah satu solusi untuk memecahkan masalah ketimpangan adalah dengan penerapan pajak progresif. Bastagli et al. (2012) menyatakan bahwa negara-negara maju melakukan konsolidasi fiskal berupa penerapan pajak progresif dan terbukti memiliki peran yang sentral dalam memperbaiki masalah ketimpangan. Dikarenakan didapati bahwa pengenaan pajak yang progresif pada masyarakat kaya atau masyarakat yang memperoleh pendistribusian pendapatan tinggi lebih efektif dibandingkan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk menyuntik dana bantuan kepada masyarakat miskin (Dahlan, 2022). Situasi ini yang dipercaya menjadi alasan bagi negara Indonesia untuk melakukan hal serupa, bahkan sedari tahun 1983 (Sari, 2021). Pemerintah Indonesia berkeyakinan bahwa peningkatan tarif pajak pada orang "super kaya" diharapkan dapat mengikis ketimpangan dengan mengedepankan asas ability to pay, yakni di saat sistem pajak dikatakan adil jika setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuannya (Damayanti, 2023). Maka dari itu, tercatat bahwa pemerintah terus merampungkan kebijakan mengenai tingkat tarif pajak progresif setiap periode tertentu, dengan perubahan terakhir di tahun 2022. Pada tahun 2022, pajak progresif tidak lagi dikenakan kepada orang berpendapatan 50 juta rupiah per tahun, yakni dimulai pada orang berpendapatan 60 juta rupiah per tahun (setelah perhitungan PTKP) dan dikenakan tarif sebesar 5%. Lalu, pemerintah juga menambah golongan kelompok masyarakat untuk dikenakan tarif yang lebih tinggi. Yang sebelumnya tarif pajak tertinggi sebesar 30% dikenakan pada orang berpendapatan >500 juta rupiah per tahun, sekarang tarif pajak tertinggi adalah sebesar 35% dan dikenakan pada orang berpendapatan >5 miliar rupiah per tahun. Oleh karena itu, penulis ingin menguji linieritas dari teori yang berhasil diimplementasikan di negara maju serta kebijakan pemerintah dalam meningkatkan tarif pajak progresif terhadap ketimpangan pendapatan jika diterapkan pada negara berkembang seperti Indonesia.

KAJIAN LITERATUR

Nusiantari & Swasito (2019) dalam penelitiannya yang berjudul "Peran Penerimaan Pajak dalam Usaha Pemerataan Pendapatan" menggunakan 3 model ekonometrika untuk melihat pengaruh pajak langsung maupun tidak langsung di negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang berbeda. Diperoleh hasil bahwa pajak tidak berdampak secara signifikan pada negara berkembang. Liyana et al. (2024) dalam penelitiannya yang berjudul "Pengaruh Pajak Daerah Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Indonesia" menggunakan model regresi panel Fixed Effect Model untuk melihat pengaruh penerimaan pajak daerah, yang diikuti dengan variabel kontrol PDRB, belanja modal, dan jumlah penduduk Kab/Kota. Diperoleh hasil yang serupa bahwa pajak daerah belum dapat berfungsi sebagai penggerak utama untuk menekan angka ketimpangan di daerah.

METODE

Berdasarkan pencarian tersebut, maka penulis ingin turut meninjau seberapa efektif kenaikan pajak progresif dalam mengendalikan ketimpangan pendapatan di Indonesia. Studi ini menggunakan metode regresi time series yang dipraktikkan melalui EViews 13 variabel-variabel sebagai berikut:

  • Variabel pengikat: indeks gini (gini ratio) per bulan Maret dengan data bersumber dari BPS.
  • Variabel bebas: penerimaan perpajakan dari pajak penghasilan dengan data bersumber dari BPS.
  • Variabel kontrol:
    a.) Indeks pembangunan manusia (IPM) dengan data bersumber dari BPS. Hubungan yang dimiliki dengan variabel pengikat dapat dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan oleh Lala et al. (2023) dengan hasil bahwa IPM berpengaruh secara negatif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Sulawesi Utara.
    b.) Tingkat kemiskinan P0 dengan data bersumber dari BPS. Hubungan yang dimiliki dengan variabel pengikat dapat dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan oleh Farhan & Sugianto (2020) dengan hasil bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh secara negatif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa.
    c.) Pertumbuhan ekonomi dengan data dari World Development Indicators. Hubungan yang dimiliki dengan variabel pengikat dapat dijelaskan melalui Hipotesis Kuznets dalam Todaro & Smith (2015) bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara positif pada jangka pendek dan negatif signifikan pada jangka panjang terhadap ketimpangan pendapatan.

Khusus data dari BPS, provinsi Papua Barat Daya, Selatan, Tengah, dan Pegunungan belum tercatat sampai tahun 2024. Seluruh variabel mengambil data dalam kurun waktu 2013 - 2024, dengan tahun 2022 sebagai penentu dari hipotesis penelitian. Atas dasar itu, studi ini memanfaatkan variabel dummy untuk melihat perbandingan sebelum dan sesudah kenaikan tarif pajak progresif terhadap tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia. Model regresi yang digunakan diuraikan sebagai berikut:

GINI_RATIOt = 0 + 1PENERIMAAN_PPHt + 2INFLASI_RATA_RATAt + 3IPMt + DUMMYt

HASIL DAN PEMBAHASAN

 Analisis regresi Time Series dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

  • H0: variabel bebas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel pengikat
  • H1: variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel pengikat

Dengan level signifikansi 5% (0.05), maka diperoleh bahwa variabel IPM adalah variabel satu-satunya yang berpengaruh secara negatif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan, dengan Prob 0.0468 < 0.05 sehingga H0 ditolak. Sedangkan, variabel penerimaan pajak penghasilan, yang selanjutnya disingkat dengan penerimaan PPH, pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan P0, dan dummy tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendapatan karena seluruh Prob > 0.05 sehingga H0 diterima. Bila diinterpretasikan, maka nilai koefisien regresi variabel IPM diartikan bahwa setiap kenaikan IPM sebesar 1%, akan menurunkan angka gini ratio sebesar 0.0052 satuan.

Dilanjutkan dengan uji asumsi klasik:

1. Uji Normalitas

  • H0: data berdistribusi normal
  • H1: data tidak berdistribusi normal

Tabel 2. Histogram Normalitas EViews 13
Tabel 2. Histogram Normalitas EViews 13

Dengan level signifikansi 5% (0.05), maka diperoleh bahwa model analisis regresi yang digunakan berdistribusi secara normal karena Prob Jarque-Bera 0,550 > 0.05 sehingga H0 diterima.

2. Uji Autokorelasi

  • H0: data terdapat masalah autokorelasi
  • H1: data terbebas masalah autokorelasi

Tabel 3. Uji Autokorelasi dengan LM Test EViews 13
Tabel 3. Uji Autokorelasi dengan LM Test EViews 13

Dengan level signifikansi 5% (0.05), maka diperoleh bahwa model analisis regresi yang digunakan terbebas dari masalah autokorelasi karena Prob Chi Square 0.0357 < 0.05 sehingga H0 ditolak dan data tidak dipengaruhi oleh error sebelumnya.

3. Uji Heteroskedastisitas

  • H0: data homoskedastisitas
  • H1: data heteroskedastisitas

Tabel 4. Uji Heteroskedastisitas dengan Glejser EViews 13
Tabel 4. Uji Heteroskedastisitas dengan Glejser EViews 13

Dengan level signifikansi 5% (0.05) dan menggunakan Glejser, maka diperoleh bahwa model analisis regresi yang digunakan merupakan homoskedastisitas karena Prob Chi Square 0.2637 > 0.05 sehingga H0 diterima dan data yang dimiliki adalah konstan.

4. Uji Multikolinearitas

  • H0: data tidak terdapat multikolinearitas
  • H1: data terdapat multikolinearitas

Tabel 5. Uji Multikolinearitas EViews 13
Tabel 5. Uji Multikolinearitas EViews 13

Dengan level signifikansi 5% (0.05), maka diperoleh bahwa hanya variabel bebas pertumbuhan ekonomi yang terbebas dari masalah multikolinearitas dengan VIF 4.168 < 10, sedangkan variabel bebas lain terdapat masalah multikolinearitas yang diartikan bahwa minimnya hubungan antar variabel bebas sehingga menurunkan relevansi pada model.

Seperti yang diperoleh dari pengujian, bahwa hanya variabel IPM yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendapatan, sedangkan variabel bebas lain seperti pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan tidak berpengaruh meskipun dalam penelitian terdahulu kedua variabel ini dapat memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan susunan variabel model dibandingkan dengan penelitian terdahulu, sebab model ini memasukkan variabel penerimaan PPH dan juga perbedaan data sampel. Akan tetapi, hanya variabel penerimaan PPH ini yang pengaruhnya masih sama dengan penelitian-penelitian terdahulu meskipun dengan model dan sampel yang berbeda, sehingga dengan tidak signifikannya variabel penerimaan PPH dari pengujian analisis regresi awal mengakibatkan tertunda nya pengujian kombinasi dengan variabel dummy, sehingga penulis tidak dapat melihat dampak dari perubahan tarif pajak progresif sebelum dan sesudah peningkatan di tahun 2022. Signifikansi variabel IPM terhadap ketimpangan pendapatan dapat disebabkan oleh masyarakat kelas menengah dan menuju kelas menengah yang masih mendominasi jumlah populasi di Indonesia, yakni sebesar 66,35% (BPS, 2024). Masyarakat kelas menengah cenderung memiliki kesadaran untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidupnya dengan berinvestasi pada human capital, sehingga mereka mengalokasikan dana yang cukup untuk memenuhi pendidikan, kesehatan, dan kondisi finansial yang seimbang yang akhirnya perlahan dapat menurunkan ketimpangan karena peningkatan human capital mampu memberikan efek spill over.

Tidak signifikannya pengaruh penerimaan PPH terhadap ketimpangan pendapatan dapat disebabkan oleh beberapa hal. Yang pertama adalah kemungkinan terjadinya penghindaran dan penggelapan pajak oleh oknum dengan pendapatan tinggi. Celah-celah yang terdapat pada peraturan perpajakan dimanfaatkan oknum untuk melarikan uangnya secara legal sehingga tidak perlu membayar pajak sesuai dengan tax bracket yang seharusnya, contohnya memilih untuk memindahkan uangnya ke wilayah tax haven atau melakukan upaya money laundry. Selain itu, konsentrasi pemotongan pajak yang kurang tepat sasaran juga menjadi salah satu penyebab, contohnya pada capital gain. Capital gain adalah selisih keuntungan yang diperoleh saat berhasil menjual harga saham lebih tinggi dibandingkan harga belinya, dan berdasarkan PP Nomor 139 Tahun 2000 bahwa pemotongan pajak untuk capital gain hanya dikenakan sebesar 0.03% (Flazztax, 2024), sehingga penerimaan pajak penghasilan dari capital gain tidak memiliki proporsi yang begitu besar, padahal sudah banyak sekali orang kaya yang memilih untuk mencari passive income menggunakan media ini. Kemudian, jika kita memperhatikan data nominal dari BPS (tanpa disesuaikan dengan inflasi terlebih dahulu), terlihat bahwa setiap tahun nya besar penerimaan PPH mengalami peningkatan yang cukup pesat, sehingga sebetulnya negara memiliki perkembangan yang positif dalam mengumpulkan pendapatan negara. Akan tetapi, seringkali pendapatan tersebut tidak sepenuhnya dialokasikan untuk memodali keperluan human capital dan cenderung dihabiskan untuk bantuan sosial sehingga belanja negara tidak menerapkan prinsip yang berkelanjutan (BKF, 2015) dan ketimpangan akan terus terjadi, sebab dana negara yang dimiliki tidak diberdayakan untuk membekali kemandirian masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya. Pengetahuan dan kesadaran yang minim untuk memprioritaskan pembangunan human capital telah menjadi kekhawatiran yang kerap terjadi terhadap negara berkembang. Terakhir, negara Indonesia adalah negara dengan institusi yang tergolong ekstraktif, dibuktikan dengan tingkat korupsi yang semakin meningkat setiap tahun nya, penyalahgunaan kekuasaan, kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk pro-elite seperti penerapan tax holiday yang semakin menguntungkan perusahaan multinasional atau asing namun memberikan umpan balik pajak yang rendah. Kondisi ini dapat memperbesar ketimpangan karena ketidakadilan perlakuan pajak terhadap para Wajib Pajak yang tidak betul-betul disesuaikan dengan kemampuan seseorang, menjadikan pajak progresif berubah menjadi pajak degresif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Studi ini ingin meninjau seberapa efektif pengaruh pajak progresif terhadap ketimpangan pendapatan di negara Indonesia, sebab di negara maju, pajak progresif merupakan salah satu solusi yang sangat direkomendasikan untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi. Akan tetapi, meskipun solusi tersebut telah dirumuskan ke dalam kebijakan dan penerimaan pajak penghasilan meningkat setiap tahun nya, nyatanya penerapan pajak progresif ternilai tidak efektif terhadap ketimpangan pendapatan, yang dibuktikan melalui pengujian regresi time series bahwa penerimaan pajak penghasilan tidak menunjukan hasil yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendapatan, begitu juga variabel kontrol lain yang menjadi penyeimbang untuk menciptakan perhitungan yang lebih presisi seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan P0, hanya variabel IPM yang tetap berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan karena masih tingginya populasi masyarakat kelas menengah yang memprioritaskan investasi atas human capital. Tidak signifikan nya pajak progresif terhadap ketimpangan pendapatan disebabkan oleh upaya menghindari pajak, konsentrasi pemotongan pajak yang salah sasaran, alokasi belanja pemerintah yang tidak berkelanjutan, dan institusi ekstraktif yang pro-elite. Dengan bantuan atau intervensi negara lain yang menyadari permasalahan ini, diperlukan penegakkan birokrasi perpajakan yang tegas dan tepat sasaran agar tujuan penerapan pajak progresif dapat terlaksana dengan baik, berikan insentif pajak yang sesuai dengan umpan baliknya terhadap negara agar pengelolaan input dan output dapat berjalan dengan seimbang.

Sebagai saran untuk studi selanjutnya, studi ini masih memiliki kekurangan untuk mencari data sampel negara maju sebagai perbandingan efektivitas penerapan pajak progresif dan apa saja unsur-unsur yang mendukung terciptanya efektivitas di negara-negara tersebut. Sampel data yang digunakan di studi ini juga belum memasukkan variabel-variabel kontrol lain yang juga dapat memengaruhi besar angka gini ratio seperti inflasi, tingkat korupsi, dan indikator lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Axel J. Lala, A. T. (2023). Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia Terhadap Tingkat Ketimpangan Pendapatan (Studi Pada Kota-kota di Provinsi Sulawesi Utara). Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, 61-72.

Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu. (2015). Taxes & Public Spending in Indonesia: Who Pays and Who Benefits? Jakarta: The World Bank Jakarta.

Dahlan, M. (2022, September 08). Redaksi DDTCNews. Retrieved from Tarif Pajak Orang Kaya Naik, Apakah Ketimpangan Bisa Turun?: https://news.ddtc.co.id/komunitas/lomba/41792/tarif-pajak-orang-kaya-naik-apakah-ketimpangan-bisa-turun

Damayanti, D. (2023, January 04). Direktorat Jenderal Pajak. Retrieved from Naiknya Tarif Pajak Orang Kaya Bukan Jalan Instan: https://pajak.go.id/id/artikel/naiknya-tarif-pajak-orang-kaya-bukan-jalan-instan-0

Daron Acemoglu, J. R. (2012). Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. United States: Crown Business.

Dwi Nusiantari, A. P. (2019). Peran Penerimaan Pajak dalam Usaha Pemerataan Pendapatan. Jurnal Pajak Indonesia, 35-41.

Fleck, A. (2024, October 16). Statista. Retrieved from The State of Global Inequality: https://www.statista.com/chart/33270/income-inequality-by-country/

Francesca Bastagli, D. C. (2012). Income Inequality and Fiscal Policy. IMF Fiscal Affairs Department.

Gibson, L. (2017, February 23). Oxfam in Indonesia. Retrieved from Laporan Ketimpangan Indonesia: Menuju Indonesia yang Lebih Setara: https://indonesia.oxfam.org/latest/publications/laporan-ketimpangan-indonesia-menuju-indonesia-yang-lebih-setara

Hanung, R. (2018, April 14). CNBC. Retrieved from Daftar Negara dengan Ketimpangan Ekonomi Terbesar di Dunia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20180414181336-4-11035/daftar-negara-dengan-ketimpangan-ekonomi-terbesar-di-dunia

J. Edward Taylor, T. J. (2020). Essentials of Development Economics 3rd Edition. Oakland, United States: University of California Press.

Michael P. Todaro, S. C. (2015). Economic Development. United Kingdom: Pearson.

Muhammad Farhan, S. (2022). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Ketimpangan Pendapatan di Pulau Jawa. Sibatik Journal, 243-258.

Nur Farida Liyana, A. B. (2024). Pengaruh Pajak Daerah Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Indonesia . Balance Vocation Accounting Journal, 1-14.

Pajak, J. K. (2024, May 27). Flazztax. Retrieved from Hubungan Pajak Penghasilan dan Pajak Capital Gain Saham: https://flazztax.com/2024/05/27/hubungan-pajak-penghasilan-dan-pajak-capital-gain-saham/#:~:text=Tarif%20pajak%20penghasilan%20atau%20PPH,03%25%20dari%20nilai%20transaksi%20keuntungannya.

Sari, L. P. (2021, October 22). Direktorat Jenderal Pajak. Retrieved from Lapisan Pajak Penghasilan Kian Progresif: https://pajak.go.id/index.php/id/artikel/lapisan-pajak-penghasilan-kian-progresif

World Bank Group. (2015, December 08). World Bank Group. Retrieved from Meluasnya Ketimpangan di Indonesia: https://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun