Halo para pembaca! Pada artikel ini, penulis akan membahas tentang penyalahgunaan perkembangan IPTEK.
Kita hidup di dunia yang modern di mana semua hal dapat kita akses melalui internet. Perkembangan teknologi tersebut pastinya membawa banyak sekali keuntungan bagi manusia. Keuntungan yang paling terlihat adalah kemudahan dalam mengakses suatu berita baru. Misalnya, ada suatu kejadian yang patut dijadikan berita, tidak butuh waktu lama untuk menerbitkan berita tersebut secara online. Tidak berhenti pada kemudahan mengakses, menyebarluaskan suatu berita atau artikel juga sangatlah mudah melalui beragam sosial media, seperti Line, Whatsapp, dan lain sebagainya.
Apakah perkembangan IPTEK hanya membawa dampak baik saja? Tentu saja tidak, banyak hal yang masih perlu diperbaiki dan masih ada juga orang-orang yang menyalahgunakan kemudahan ini.
Banyak dijumpai anak-anak muda yang sibuk sendiri dengan gadgetnya dan tidak bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Peristiwa itu menunjukkan bahwa telah tumbuh sifat individualistis pada generasi milenial yang merupakan dampak buruk dari canggihnya teknologi.
Seperti yang telah disebutkan di atas, ada sebagian orang yang menyalahgunakan perkembangan IPTEK. Hal tersebut nampak pada kasus yang sedang marak di Indonesia yaitu tentang penyebaran berita palsu atau yang lebih dikenal dengan sebutan hoax. Artikel kali ini akan lebih fokus membahas penyalahgunaan IPTEK melalui hoax.
Menurut KBBI, Hoax mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber. Werme (2016), mendefiniskan Fake news sebagai berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoax bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.
Hoax dapat diterbitkan oleh siapa pun karena pada dasarnya setiap orang memiliki kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya. Hak tersebut juga tertulis di UUD 19945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Namun, ada oknum yang tidak bertanggungjawab dalam berpendapat, mereka menyalahgunakan kebebasan tersebut dan jadilah hoax.
Contoh kasus yang pastinya sudah tidak asing lagi adalah kasus Ratna Sarumpaet. Kasus ini berawal dari unggahan aku Facebook yang menyebutkan tentang penganiayaan Ratna. Unggahan ini disertai sebuah tangkapan layar yang berisi dari aplikasi pesan WhatsApp pada 2 Oktober 2018 serta foto Ratna yang babak belur. Namun unggahan tersebut kini telah dihapus.
Unggahan tersebut dikonfirmasi oleh banyak politikus Partai Gerindra yang juga menambahkan bahwa Ratna dikeroyok oleh orang tak dikenal. Begitu banyaknya politikus yang membenarkan kabar tersebut menyebabkan pihak kepolisian melakukan penyelidikan.
Setelah diselidiki, diketahui bahwa Ratna tidak pernah ke rumah sakit untuk merawat lukanya dan tidak juga melapor ke Polsek. Bukannya menemukan bukti tentang penganiayaan, polisi malah menemukan transaksi Ratna di Rumah Sakit Bina Estetika. Penyelidikan lebih lanjut menemukan bahwa sebenarnya muka bengkak Ratna disebabkan oleh operasi plastik, bukan akibat dikeroyok orang.
Ratna pun akhirnya mengaku bahwa ia berbohong. Ia menjelaskan bahwa narasi pengeroyokan itu mulanya hanya disampaikan kepada anak-anaknya yang bertanya penyebab wajahnya lebam. Namun setelah lebamnya sembuh, Ratna kembali menceritakan pemukulan itu kepada Fadli Zon.