Sore hari...
Bersama tenggelamnya matahari
Bersama pulangnya para pekerja
Bersama hebohnya bedak di pipi bocah usia lima
Udara dingin sedang marah marahnya
Ku bilang, takdir ternyata tak selalu ramahÂ
Kadang kepalaku penuh kenang yang memekikan kening
Telingaku ramai oleh tawa yang bersautan
Jantungku tidak pernah sehat
Ia berpacu seperti proses hitung mundur pergantian tahun
Seperti peristiwa sakral yang haram untuk terlewatkan
Kemudian sadar, betapa peristiwa sakral juga akan bubar
Letupan kembang api kemudian selesai
Mati digantikan sunyi paling nyeri
Dilanda badai paling gelisah
Hancurnya sudah kelewatan
Tapi aku tak mau berhenti
Aku ingin semua berjalan sakral di tengah badai hujan paling amuk sekalipun
Seseorang datang mengeluh terluka
Terkena badaiku berkepanjangan
Darahnya tidak berserakan tapi katanya sanggup membuat ingin tiada saja
Ia adalah antonim
Segala yang tidak pernah selaras
Tidak pernah sejalan
Tidak pernah menjadi satu makna
Berlawanan dan melawan
Selalu mengambil langkah mundur
Seolah aku sedang mengajaknya bertempur
Satu berani melangkah, satu takut terjatuh
Satu berbicara dengan suara badai, satu berbisik mengancam
Mencari keseimbangan di antara kutub yang bertentangan
Celaka yang menyamar menjadi jenaka
Tidak pernah berjeda
Tidak pernah mau reda
kataku, egoisku mesti juara dalam perlombaan keras kepala
Melewati perjalanan paling baik dan paling buruk
Tapi tidak pernah lebih buruk dari berkendara lalu saling tersesat selamanya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H