Sore itu matahari bersinar terik di atas Kabupaten Sorong, menggantung tanpa belas kasih di langit Papua Barat Daya. Pukul tiga siang WIT, saya baru saja keluar dari kantor dan menaiki motor untuk pulang. Sepanjang jalan bandara yang lebar, sekitar 30 meter, jalanan cor tanpa pohon pelindung atau trotoar membentang panjang. Debu beterbangan, memenuhi udara, mengiringi deru mesin kendaraan yang melaju.
Di depan sana, sosok seorang anak lelaki berjalan sendirian di pinggir jalan. Usianya sekitar lima belas tahun, mengenakan seragam sekolah yang sudah pudar warnanya. Ransel tua tergantung di pundaknya, terlihat berat dengan beban buku yang penuh harapan masa depan. Langkahnya tenang, namun terlihat letih setelah berjalan di bawah panas matahari yang membakar. Entah sudah berapa lama dia berjalan kaki di jalan ini.
Merasa kasihan, saya menghampirinya dan menawarkan tumpangan. Dia menyambut tawaran itu dengan senyum malu-malu dan segera naik ke motor.
"Rumahmu jauh?" tanyaku sambil tetap melajukan motor.
Dia mengangguk, lalu menjawab dengan suara pelan, "Iya, Pak. Tadi jalan kaki dari sekolah, sudah sekitar empat kilometer, tapi masih ada sekitar satu kilometer lagi ke rumah."
Kaget dengan jawabannya, saya langsung bertanya, "Empat kilometer jalan kaki dari sekolah?"
Dia tersenyum kecil, "Sudah biasa, Pak. Tidak ada angkutan ke kampung saya. Biasanya saya jalan kaki saja. Sekalian bisa menabung."
Hati saya terenyuh mendengar jawabannya. Di tengah segala keterbatasan, dia tidak menyerah atau mengeluh. Justru, dia tetap bersekolah dan menghadapi kesulitan dengan ketabahan luar biasa. Sepanjang perjalanan, kami berbincang tentang sekolahnya, tentang cita-citanya untuk suatu hari nanti menjadi seorang guru agar bisa mengajar anak-anak di kampungnya.
"Kenapa ingin jadi guru?" tanya saya, penasaran.
Dia menjawab penuh keyakinan, "Supaya anak-anak di kampung saya bisa belajar dan jadi orang sukses, Pak. Banyak yang putus sekolah karena harus bantu orang tua. Tapi kalau ada guru yang mau ajar di kampung, mungkin bisa bantu mereka untuk tetap sekolah."
Ucapan sederhana itu terdengar begitu besar artinya bagi saya. Anak ini, di usianya yang masih belia, telah memiliki tekad mulia untuk berjuang tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi masyarakat sekitarnya.
Tak terasa, kami sudah hampir tiba di jalan masuk menuju kampungnya. Dia turun dengan hati-hati dari motor, lalu menatap saya sambil tersenyum.
"Terima kasih, Pak. Sudah beri saya tumpangan," katanya tulus.
Saya membalas senyum itu dan berpesan, "Tetap semangat ya, teruskan cita-citamu."
Dia mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya menuju rumah, melawan terik dengan tekad yang tak tergoyahkan. Di sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus dihantui oleh sosoknya. Seorang anak sederhana dari kampung yang jauh, yang tetap berani bermimpi dan melangkah teguh demi pendidikan.
Malam itu, saya memikirkan kembali perjalanan singkat yang penuh makna itu. Bahwa terkadang, kita tidak butuh fasilitas lengkap atau kemudahan untuk berjuang dan berprestasi. Seperti anak itu, kita hanya perlu keberanian dan kemauan keras untuk terus melangkah, meski di bawah panas dan debu yang membara.
Setiap langkah kecilnya adalah perjalanan menuju masa depan yang lebih baik --- bukan hanya bagi dirinya, tetapi bagi kampungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H