Mohon tunggu...
Romeo Saru
Romeo Saru Mohon Tunggu... Administrasi - ASN / Gemar literasi/ Kota Sorong Papua Barat Daya /

"Perbedaan antara sesuatu yang tidak mungkin dan yang mungkin, terletak pada cara berpikir seseorang" -Haryanto Kandani-

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Hakim atau Algoritma: Masa Depan Peradilan dengan Kecerdasan Buatan, Apakah Kita Siap?

19 Oktober 2024   19:26 Diperbarui: 19 Oktober 2024   19:31 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan lain yang timbul dari penggunaan AI dalam peradilan adalah pertanyaan filosofis: apakah hukum itu sebuah sains yang bisa dihitung secara matematis, atau seni yang membutuhkan pemahaman manusia? Putusan hukum sering kali melibatkan pertimbangan moral, etika, dan bahkan interpretasi yang rumit dari teks hukum. Sementara AI bisa unggul dalam hal kecepatan dan akurasi pemrosesan data, ia tidak memiliki kemampuan untuk menafsirkan hukum dengan cara yang sama seperti manusia.

Selain itu, penggunaan AI juga memunculkan isu akuntabilitas. Jika terjadi kesalahan dalam putusan, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah pengembang algoritma, hakim yang mengandalkan rekomendasi AI, atau pemerintah yang mengadopsi teknologi tersebut? Ketiadaan akuntabilitas yang jelas bisa menjadi celah yang berbahaya dalam sistem hukum yang sudah kompleks.

Tantangan di Indonesia

Di Indonesia, sistem peradilan kita masih menghadapi banyak tantangan, seperti tumpukan kasus, keterbatasan sumber daya hakim, hingga korupsi yang menyusup ke lembaga hukum. Di satu sisi, AI bisa menjadi solusi untuk mengatasi sebagian dari masalah ini, terutama dalam hal efisiensi dan transparansi. Namun, penerapannya juga harus dipikirkan matang-matang agar tidak justru memperparah ketidakadilan yang sudah ada.

Dalam konteks Indonesia, di mana kasus-kasus hukum sering kali melibatkan nuansa sosial dan budaya yang kompleks, kehadiran AI tanpa pengawasan manusia bisa menimbulkan lebih banyak masalah daripada solusi. Sistem hukum kita juga perlu mempersiapkan landasan hukum yang kuat untuk mengatur penggunaan teknologi ini, termasuk soal transparansi algoritma dan perlindungan hak-hak terdakwa.

Kesimpulan: Teknologi atau Keadilan?

Penggunaan kecerdasan buatan dalam peradilan memang menawarkan potensi besar untuk mempercepat dan memperbaiki sistem hukum yang lamban dan tidak efisien. Namun, kita juga harus ingat bahwa keadilan adalah konsep yang melampaui sekadar efisiensi. Keadilan melibatkan pertimbangan manusiawi, empati, dan moralitas, yang tidak bisa sepenuhnya diotomatisasi.

Oleh karena itu, meskipun teknologi AI dapat membantu dalam beberapa aspek proses peradilan, peran hakim manusia tetap tak tergantikan dalam menjaga esensi keadilan. Tantangan ke depan adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan teknologi ini dengan cara yang mendukung, bukan menggantikan, peran manusia dalam menegakkan hukum yang adil dan beradab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun