Namun, semakin lama ia menyimpan semua perasaan itu, semakin sulit baginya untuk berfokus pada proyek. Di satu sisi, ia tidak ingin kehilangan kesempatan bekerja bersama Lila. Di sisi lain, kehadiran Adrian mengganggu keseimbangan yang telah mereka ciptakan.
Akhirnya, di suatu malam setelah pertemuan proyek yang melelahkan, Raka memutuskan untuk berbicara dengan Lila. Mereka duduk di sudut kafe yang sudah sepi, dan Raka merasa ini adalah momen yang tepat untuk jujur.
"Lila," Raka memulai dengan suara pelan, "aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, tapi... aku merasa ada sesuatu yang berubah sejak Adrian mulai lebih sering terlibat."
Lila menatap Raka dengan tatapan penuh perhatian. "Maksudmu, Adrian? Kenapa? Apa dia membuatmu merasa tidak nyaman?"
Raka menghela napas. "Ya, sedikit. Maksudku, aku tahu dia manajer proyek kita, tapi aku merasa dia... tertarik padamu, lebih dari sekadar urusan pekerjaan."
Lila terdiam sejenak, seolah memikirkan ucapan Raka. "Aku tidak terlalu memikirkannya, Raka. Adrian memang orang yang ramah, tapi aku tidak pernah melihatnya lebih dari sekadar rekan kerja."
Raka tersenyum tipis, meski rasa cemasnya belum sepenuhnya hilang. "Aku hanya ingin memastikan... karena aku peduli padamu, Lila. Dan aku tidak ingin sesuatu atau seseorang merusak apa yang kita punya."
Mata Lila melunak, dan ia mengulurkan tangan, menyentuh tangan Raka dengan lembut. "Raka, aku juga peduli padamu. Proyek ini penting, tapi kamu lebih penting bagiku."
Raka merasakan kehangatan yang kembali memenuhi hatinya. Namun, di balik momen itu, ia tahu bahwa kehadiran Adrian bisa membawa masalah lebih besar jika ia dan Lila tidak segera menentukan arah hubungan mereka.
To be Countinue.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H