Mohon tunggu...
Sosbud

Konstruksi Desa sebagai Nilai Adat Indonesia

7 November 2018   19:25 Diperbarui: 7 November 2018   19:27 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada waktu zaman Indonesia belum mendeklarasikan proklamasi kemerdekaan, masa-masa imperialisme menduduki tanah Indonesia sebetulnya sudah terdapat banyak sekali desa. Dari wilayah barat hingga timur pedesaan telah terbentuk. Seringkali masyarakat awam kurang peduli dengan keadaan serta kondisi desa yang ada di Indonesia. Padahal, di dalam tubuh desa, menyimpan sejarah yang tidak diketahui oleh warga.

Apalagi di era modern saat ini, masyarakat elit khususnya daerah perkotaan tidak lagi mempedulikan desa. Dari realita yang memang benar-benar ada dalam kehidupan sekarang, bisa dilihat secara garis besarnya adalah bagaimana seharusnya desa bisa tetap menjaga nilai nilai adat nya. Begitu pun tradisi yang secara turun temurun diwariskan.

Desa sendiri merupakan satuan terkecil dari sistem pemerintahan Indonesia. Kedudukannya ada dibawah Kecamatan, namun setara dengan Kelurahan. Menurut Rifhi Siddiq mengemukakan bahwa desa adalah suatu wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan rendah yang dihuni oleh penduduk dengan interaksi sosial yang bersifat homogen, bermatapencaharian di bidang agraris serta mampu berinteraksi dengan wilayah lain di sekitarnya. 

Dari pendapat Rifhi, representasi kehidupan di desa sudah tercermin bahwasannya keadaan atau suasana yang ada di desa kurang lebih mirip dengan pendapat beliau. Aroma khas pedesaan dapat dilihat dari hubungan timbal balik antar warganya. Seperti misalnya, ketika salah satu warga mendapat hajatan atau tertimpa musibah, sudah pasti tetangga terdekat atau bahkan dari desa sebelahnya pun ikut memberi ucapan. Tidak dapat dipungkiri lagi tradisi tersebut memang melekat pada relasi masyarakat desa dimanapun desa itu berada.

Sisi lain desa yang perlu di expose untuk masyaraat luar adalah dimana desa di Indonesia mempunyai ciri khas nya masing-masing. Dalam artian, Indonesia merupakan negara kepulauan, yang terdiri dari beribu suku dan Ras. Perbedaan yang sangat kompleks tersebut membawa dampak utamanya setiap daerah mempunyai ikon nya sendiri. Misalnya, daerah Istimewa Yogyakarta dengan cerita sejarah Keratonnya, Surabaya dengan identitas perjuangannya yang terkenal mengusir AWS Mallaby saat pertarungan 10 Nopember, Daerah Timur misal, Papua yang mengandalkan nilai adat turun temurun tanpa harus memasukkan entitas modern didalamnya, dan masih banyak lagi. Bahkan, setiap daerah memiliki beberapa desa juga mempunyai ciri khas yang berbeda pula.

Homogenitas pedesaan adalah salah satu sifat dari Desa. Perlunya perawatan struktur dan sistem desa sangat penting untuk keberlangsungan desa mengingat arus Globalisasi yang semakin kencang tidak terbendung. Dilihat dari sejarahnya, Undang-undang yang mengatur tentang desa sudah di buat oleh pemerintah. Pada masa reformasi, terjadi perubahan arah polik hukum pemerintahan desa dari yang sebelumnya bersifat penyeragaman menjadi pengakuan atas keberagaman struktur tatanan desa yang tumbuh berdasarkan adat isadat setempat. 

Politik hukum pemerintahan desa ini dak berubah meskipun pada tahun 2004 melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004) terbit menggankan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 1999). Namun demikian, terdapat kerancuan dalam penentuan status perangkat daerah, yakni jabatan sekretaris desa diberikan status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tanpa diiku oleh perangkat desa lainnya termasuk kepala desa. 

Oleh karena itu, pada masa UU Pemda 2004 ini terdapat gejolak yang mbul di masyarakat desa untuk turut mengangkat perangkat desa lainnya, terutama kepala desa, untuk turut diberikan status sebagai PNS. Setelah rezim UU Pemda 2004 yang menempatkan pengaturan tentang pemerintahan desa sebagai bagian dari pemerintahan daerah, pada tahun 2014 disahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang mengatur pemerintahan desa secara tersendiri.

Beberapa kebijakan hukum baru yang terlihat berdasarkan undang-undang tersebut adalah adanya alokasi dana untuk desa yang langsung berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini menjadikan sumber-sumber pendanaan desa menjadi lebih banyak dari sebelumnya. 

Penambahan sumber pendanaan ini secara kasat mata memperlihatkan adanya polik hukum untuk mempertahankan eksistensi desa sebagai entas yang otonom. Namun, perlu untuk dikaji apakah UU Desa tersebut mengalami perubahan politik hukum yang signifikan dari undang-undang pendahulunya. Selain itu, perlu adanya pengkajian untuk membahas apakah UU Desa telah mengakomodasi kebutuhan hukum yang dirasakan pada masa berlakunya UU Pemda 2004. Pembahasan dua permasalahan yang mendasar ini diperlukan untuk dapat memahami arah perkembangan polik hukum pemerintahan desa dari UU Pemda 2004 ke UU Desa, serta perubahan karakter dan kedudukan desa yang sebelumnya merupakan bagian dari pemerintahan daerah.[1]

Seiring dengan zaman yang telah berubah, dimana saat ini Arus globalisasi menjadi goncangan bagi kearifan desa menjadikan tantangan yang sulit. Apalagi, dengan era digital berusaha mengubah nilai substantif lokal desa dengan cara menggerus melalui Sosial Media. Ditambah lagi masyarakat Indonesia sekarang sudah dianggap berpikir secara matang dan terbuka dalam melihat situasi global. 

Disini muncul pertanyaan bagaimana cara untuk kembali membentuk nilai luhur desa sebagai ciri khas kebudayaan Indonesia. Mungkin akan sulit merevitalisasi sistem atau struktur dalam desa karena bagaimanapun seluruh komponen negara juga mengikuti perkembangan zaman yang semakin tidak terbendung. 

Dibutuhkan solusi dalam hal ini apabila tidak mau nilai-nilai dalam pedesaan akhirnya akan menghilang dengan sendirinya. Perlunya pemerhati maupun budayawan turun tangan merawat kearifan-kearifan yang mungkin selama ini sudah dibabat habis oleh modernisme. Pemahaman kita sebagai rakyat juga tak lepas peran. Misalnya, secara sederhana untuk memelihara kultur desa dapat dilakukan dengan melestarikan beberapa kesenian, tradisi, atau ritual sehingga kemurnian dari desa tersebut terus terjaga.

Perlunya kesadaran akan aset bangsa termasuk desa ini adalah hal yang penting. Tidak boleh disepelekan. Modernisme janganlah sampai menusuk kebudayaan desa, terpaan paham-paham Liberal sebisa mungkin di bendung. Pemerintah lokal maupun pusat sudah semestinya melakukan aksi nyata untuk memahami desa saat ini. Sudah saat nya desa kembali di konstruk agar wilayah pedesaan tetap menjadi lokalitas yang mempunyai nilai sejarah, nilai adat, dan nilai gotong royong utuh sehingga apabila bangsa lain melihat dan mengetahui diharapkan bisa menambah daya tarik decak kagum.

[1] Agus Kusnadi. Perkembangan Polik Hukum Pemerintahan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa : PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 Nomor 3. 2015. Hlm 567.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun