Dalam penulisan artikel ini disajikan berdasarkan makalah yang dipresentasikan oleh seorang tokoh yang bernama Etienne Gilson pada kongres Internasional Keenam Filsafat yang diadakan di Harvard pada tahun 1926 mengenai "Peran Filsafat dalam Sejarah Peradaban". Gilson menguraikan tiga kecenderungan umum di kalangan sejarawan filsafat mengenai arti dari filsafat.Â
Pertama, dalam teori sejarah filsafat menjadi kajian sumber-sumber dan mencari penjelasan filsafat di luar dirinya. Pendapat ini mengutip dari Harder, Taine, Marx, dan Durkheim sebagai perwakilan yang berpendapat bahwa filsafat adalah sebuah bidang yang diperlukan dari sebab-sebab dalam sejarah seperti elemen fisik atau sosial di luar filsuf.
Kedua, ada para filsuf yang mencoba untuk melampaui sumber-sumber filsafat tertentu, bahkan melampaui konsep dan gambaran yang didalamnya mengekspresikan dalam menemukan intuisi yang menghasilkan aslinya. Para filsuf ini ingin melampaui bahan yang mengajukan filosofi serta menemukan intuisi asalnya.
Dari kedua pandangan dari para filsuf tidak ada satupun dari keduanya yang dapat didamaikan satu sama lain. Sehingga Gilson menghindari kedua pandangan tersebut, maka ia  mengemukakan bahwa filsafat di atas segalanya cinta kebijaksanaan dan tidak ada kebijaksanaan tanpa kebenaran, tetapi kebenaran tidak bergantung pada masyarakat maupun dari hakekat filsafat namun memang sebuah kebenaran berasal dari kebenaran itu sendiri.Â
Filsafat memiliki peran besar bagi manusia terhadap pemahaman yang dapat membawa manusia untuk bertindak lebih bernilai. Sistem filsafat memang tampak unik yang dikondisikan oleh hubungan-hubungan yang diperlukan untuk menghubungkan sebuah gagasan sehingga dalam semua elemen sejarah, filsafat yang dipahami hanya mempertahankan nilai kebenarannya yang pada dasarnya adalah filsafat.Â
Melalui definisi tersebut dapat dipahami bahwa filsafat bertujuan untuk menemukan kebenaran, menerapkan nilai, bertindak kreatif, menerapkan tujuan, menetapkan arah, serta menentukan pada jalan baru.
Dalam merenungkan kefilsafatan akan melahirkan sebuah hasil pemikiran yang berfungsi sebagai simbol eksistensi (keberadaan) serta kehidupan manusia, melalui interaksi ini maka peradaban manusia mulai terbentuk dan mengalami kemajuan. Ada beberapa argumen dari bebetrapa ahli mengenai peran filsafat terhadap peradaban, yakni:
- Pertama, setiap filsafat muncul sebagai ekspresi, cermin dari sebuah peradaban yaitu berkenaan dengan apa yang harus dilakukan serta apa yang akan di dedikasikan oleh para filsuf pada waktunya terhadap kejeniusannya. Jika filsafat tidak memiliki fungsi lain selain membawa kesadaran yang jelas tentang manusia pada setiap peradaban, maka ruang lingkupnya  tidak akan melebihi periode peradaban yang diungkapkannya.Â
- Para filsuf menemukan bahwa sebagaimanapun Plato, Aristoteles memperkenalkan konsep filsafat non-historis yang relevan di zamannya, masih memiliki banyak hal untuk dilakukan kepada filsuf karena pemikiran historis mereka mengandung elemen abadi yang terus menerus membuat para filsuf memikirkan kontemporer dengan semua akal manusia. Kebenaran filsafat non-histeris ini lebih tinggi tinggi daripada kebenaran peradaban sejarah.Â
- Nilai setiap peradaban berasal dari keterlibatan perannya dalam kebenaran yang dilaluinya. Sejauh sebuah peradaban yang turut berperan dalam kebenaran maka akan menggoreskan pesan yang tidak bisa lagi dihapus oleh waktu.
- Kedua, terlepas dari peradaban, dimana para filsuf bergantung sehingga menemukan ide-ide pada esensi yang diperlukan dalam sebuah kebenaran yang nyata, filsuf bergerak untuk membebaskan dan melepaskan semua yang tidak berkaitan dengan esensinya.Â
- Sehingga Gilson mendefinisikan semua filsafat sebagai "eksperimen metafisika yang didorong hingga batasnya yang berisi dari satu ide" atau "termasuk pemikiran alam semesta yang berfungsi sebagai esensi".Â
- Semuanya terjadi seakan sejarah filsafat secara keseluruhan merupakan penyelidikan besar tentang isi pemikiran manusia yang dilakukan tanpa henti, yang mengungkapkan esensi kecerdasan dalam mendefinisikan filsafat manusia. Bagi Gilson sejarah peradaban menjadi sejarah filsafat, dia memperlakukan filsafat pada setiap manusia sebagai eksperimen akal.
- Tiga, interpretasi berbeda tentang sejarah filsafat yang digariskan Gilson sesuai dengan tiga pandangan tentang peran filsafat dalam sejarah peradaban.Â
- Bila filsafat larut ke dalam elemen yang diambil dari lingkungan sosial yang melahirkannya. Setiap filsafat merupakan ekspresi ideologis dari suatu keadaan peradaban tertentu, sebaliknya jika filsafat merupakan sebuah ilmu realitas dari aktivitas berpikir. Maka filsafat bukan lagi hasil dari sebuah peradaban melainkan filsafat yang menciptakan peradaban.Â
- Namun jika filsafat adalah ekspresi dari kebenaran abadi secara progresif yang mendominasi manusia dan masyarakat melalui perantara para filsuf, maka filsafat bukanlah akibat terciptanya peradaban maju tetapi sebagai transenden (diluar segala kesanggupan manusia yang terjadi pada alam semesta) yang berkaitan dengan setiap keadaan peradaban tertentu.
Gilson kemudian bertanya apakah sejarah memungkinkan kita untuk menentukan mana dari tiga interpretasi ini yang benar atau sampai mana kebenaran setiapnya.Â
Sejarah menunjukkan filosofi bahkan yang yang telah lama Plato, tidak ada seorang pun dapat menafsirkan misalnya seperti St. Thomas yang tanpa memperhatikan pengaruh integral dari Aristoteles, St. Agustine, dalam pemikirannya.Â
Demikian pula Descartes seorang matematikawan serta filsuf pada masanya yang mengatakan "Apa yang tidak diberdebatkan adalah kenyataan bahwa tidak ada satu filosofi pun yang tidak memiliki akar dalam lingkungan sosial tempat filsafat itu lahir". Semakin kuat, orisinal dan pemikiran yang dianalisi oleh seorang sejarawan, semakin ia mengungkapkan dirinya sebagai reseptif dan asimilasi.Â
Itulah sebabnya setiap filsafat besar pertama adalah mencari dari mana dalam menganggap peradaban yang merupakan penjumlahannya. Tetapi ini tidak cukup untuk menjelaskan secara lengkap asal-usul filsafat, meskipun filsafat secara langsung mewakili peradaban yang diakspresikannya, itu bukan hasilnya melainkan sesuatu yang lebih dari elemen  yang dipinjamnya sesuai yang diperlukan dari sebuah peradaban.