Mohon tunggu...
Reffi Dhinar
Reffi Dhinar Mohon Tunggu... -

Japanese Interpreter and Content Writer. Penulis novel Triangle's Destiny dan kumpulan puisi Menyulam Senja, Smart Kokila, Promise (Bentang Pustaka, ebook), blogger di wordholic.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dear Diary- Kehilangan, Sapaan Kembali hingga Cokelat Panas

13 April 2016   20:50 Diperbarui: 13 April 2016   21:10 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="diary"][/caption]Dear Diary,

Beberapa waktu lalu, seseorang dari masa laluku menanyakan kabarku lagi. Lewat sebuah pesan singkat yang menanyakan apakah aku sudah menerbitkan buku baru lagi. Kujawab dengan singkat pula, dan tanpa tendensi apa-apa. Sebab kami sudah memiliki kisah sendiri-sendiri, sebab aku sudah menganggapnya hanya sebagai masa lalu yang tak punya kesan berarti.

Kubaca timeline akun media sosialnya, penuh dengan penyesalan dan kegundahan. Sudah hampir dua tahun kami berpisah dan ia juga sudah mengikat janji menuju pernikahan dengan perempuan lain yang entah kenapa malah tak terlalu ia syukuri.

Katanya, aku masih lebih baik dari kekasihnya saat ini.

Katanya, ia menyesal karena telah terlampau sering menjebol tanggul air mataku hingga aku memilih untuk melepaskannya pergi, tanpa ingin menoleh lagi.

Kataku, itu pilihanmu dan juga keinginanku. Waktu itu lukaku memang menyakitkan, namun mungkin kita tak baik jika disatukan toh aku juga tak sepenuhnya baik untukmu. Mungkin.

Kami memang pernah punya satu cerita dan janji. Langkah demi langkah menuju hidup bersama, dua keluarga besar pun sudah sama-sama saling mengetahui. Tetapi ketidakmengertian, amarah, ketidakdewasaan, berujung pengkhianatan telah membuatku kehilangan rasa percaya. Dan kami memutuskan untuk sama-sama saling menjauhkan diri.

 

Dia sedang berkubang dalam sesal. Memiliki seseorang tanpa hasrat mencintai sepenuh hati, bukankah itu hanyalah sebuah kebodohan bekepanjangan? Dia menceritakan kisahnya padaku, tapi kuputuskan untuk memberinya penjelasan bahwasanya,

KISAH KAMI SUDAH TIDAK BISA DILANJUTKAN.

My diary, inilah puisi penuh luka yang pernah kutuliskan untuknya.

 

Pujangga Tersesat

 

Sedetik kerling di awal

Membuka rayu dan pujian berikutnya

Dari pandangan, berubah menjadi penghamba

 

Kau penasaran dengan sistem kerjanya

Mengutak-atik cara menatap

Fokus pada gerak bibir di tiap ucap

Tersenyum geli ketika semburat merah menghiasi pipinya

 

Yang kauperhatikan itu

Sedang dimabuk racun kerinduan

Menyusup pelan di tiap kapiler mimpinya

Gerak jemari menggubah kata

Tiba-tiba saja dia menjadi pujangga

 

Agaknya, terjadi salah paham

Kau di sisinya hanya untuk belajar mengerti

Bagaimana debar menghidupkan jiwa yang mati

Eksperimen di waktu senggang

Aku takut ia akan menjadi karam

Pujangga tersesat, patah yang tak kunjung khatam

 

Cokelat Panas di Bibirmu

 

Cokelat Panas

Diaduk perlahan

Melekat lengket sisakan manis

Di bibirmu

 

Namun serbuan kata-kata

Tentang perpisahan

Mewujudkan pahit

di jantungku

 

 

Dia bersedih. Aku hanya menghela nafas panjang. Waktu tak bisa diulang dan aku pun sama sekali tak berkehendak untuk memutar kembali.

Bila bicara tentang hati, rumit memang. Di satu sisi kita ingin begini, di sisi lain kenyataan memberikan hantaman kejadian yang tak bisa kita ubah. Dia tak tahu betapa hampir tiap malam aku sedih sendirian menghitung waktu kebersamaan kami. Dua tahun lalu, entah mengapa, hari-hari menuju perpisahan dapat kurasakan dengan sangat sadar.

Tak disangka aku bisa jatuh hati lagi, meski pada akhirnya aku dan kisahku yang baru tidak beranjak kemana-mana karena ada suatu dan lain hal yang membuat kami tertahan tanpa mengungkapkan perasaan. Entah sampai kapan. Karena yang kupercaya, jika berjodoh maka pasti akan terbuka jalan. Barangkali tiba-tiba ada kejutan, aku malah bertemu yang lain, itu juga masih tak bisa kuraba.

Dear, Diary.

Masa lalu bagiku adalah sebuah pembelajaran. Bekas luka dahulu kujadikan lencana betapa aku ternyata bisa melalui banyak halangan.

Impian bisa perlahan kuraih setelah mengarungi banyak fase ketakutan serta kehilangan.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun