[caption caption="diary"][/caption]Dear Diary,
Beberapa waktu lalu, seseorang dari masa laluku menanyakan kabarku lagi. Lewat sebuah pesan singkat yang menanyakan apakah aku sudah menerbitkan buku baru lagi. Kujawab dengan singkat pula, dan tanpa tendensi apa-apa. Sebab kami sudah memiliki kisah sendiri-sendiri, sebab aku sudah menganggapnya hanya sebagai masa lalu yang tak punya kesan berarti.
Kubaca timeline akun media sosialnya, penuh dengan penyesalan dan kegundahan. Sudah hampir dua tahun kami berpisah dan ia juga sudah mengikat janji menuju pernikahan dengan perempuan lain yang entah kenapa malah tak terlalu ia syukuri.
Katanya, aku masih lebih baik dari kekasihnya saat ini.
Katanya, ia menyesal karena telah terlampau sering menjebol tanggul air mataku hingga aku memilih untuk melepaskannya pergi, tanpa ingin menoleh lagi.
Kataku, itu pilihanmu dan juga keinginanku. Waktu itu lukaku memang menyakitkan, namun mungkin kita tak baik jika disatukan toh aku juga tak sepenuhnya baik untukmu. Mungkin.
Kami memang pernah punya satu cerita dan janji. Langkah demi langkah menuju hidup bersama, dua keluarga besar pun sudah sama-sama saling mengetahui. Tetapi ketidakmengertian, amarah, ketidakdewasaan, berujung pengkhianatan telah membuatku kehilangan rasa percaya. Dan kami memutuskan untuk sama-sama saling menjauhkan diri.
Â
Dia sedang berkubang dalam sesal. Memiliki seseorang tanpa hasrat mencintai sepenuh hati, bukankah itu hanyalah sebuah kebodohan bekepanjangan? Dia menceritakan kisahnya padaku, tapi kuputuskan untuk memberinya penjelasan bahwasanya,
KISAH KAMI SUDAH TIDAK BISA DILANJUTKAN.
My diary, inilah puisi penuh luka yang pernah kutuliskan untuknya.
Â
Pujangga Tersesat
Â
Sedetik kerling di awal
Membuka rayu dan pujian berikutnya
Dari pandangan, berubah menjadi penghamba
Â
Kau penasaran dengan sistem kerjanya
Mengutak-atik cara menatap
Fokus pada gerak bibir di tiap ucap
Tersenyum geli ketika semburat merah menghiasi pipinya
Â
Yang kauperhatikan itu
Sedang dimabuk racun kerinduan
Menyusup pelan di tiap kapiler mimpinya
Gerak jemari menggubah kata
Tiba-tiba saja dia menjadi pujangga
Â
Agaknya, terjadi salah paham
Kau di sisinya hanya untuk belajar mengerti
Bagaimana debar menghidupkan jiwa yang mati
Eksperimen di waktu senggang
Aku takut ia akan menjadi karam
Pujangga tersesat, patah yang tak kunjung khatam
Â
Cokelat Panas di Bibirmu
Â
Cokelat Panas
Diaduk perlahan
Melekat lengket sisakan manis
Di bibirmu
Â
Namun serbuan kata-kata
Tentang perpisahan
Mewujudkan pahit
di jantungku
Â
Â
Dia bersedih. Aku hanya menghela nafas panjang. Waktu tak bisa diulang dan aku pun sama sekali tak berkehendak untuk memutar kembali.
Bila bicara tentang hati, rumit memang. Di satu sisi kita ingin begini, di sisi lain kenyataan memberikan hantaman kejadian yang tak bisa kita ubah. Dia tak tahu betapa hampir tiap malam aku sedih sendirian menghitung waktu kebersamaan kami. Dua tahun lalu, entah mengapa, hari-hari menuju perpisahan dapat kurasakan dengan sangat sadar.
Tak disangka aku bisa jatuh hati lagi, meski pada akhirnya aku dan kisahku yang baru tidak beranjak kemana-mana karena ada suatu dan lain hal yang membuat kami tertahan tanpa mengungkapkan perasaan. Entah sampai kapan. Karena yang kupercaya, jika berjodoh maka pasti akan terbuka jalan. Barangkali tiba-tiba ada kejutan, aku malah bertemu yang lain, itu juga masih tak bisa kuraba.
Dear, Diary.
Masa lalu bagiku adalah sebuah pembelajaran. Bekas luka dahulu kujadikan lencana betapa aku ternyata bisa melalui banyak halangan.
Impian bisa perlahan kuraih setelah mengarungi banyak fase ketakutan serta kehilangan.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H