Mohon tunggu...
Refael Fernando
Refael Fernando Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Unpad, Ketua Society (Social Politic Music Commnity) atau Komunitas musik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unpad. Selain dari kegiatan kuliah dan bermusik, saya juga suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revisi Undang-Undang Pengangkatan Anak

27 Juni 2015   01:06 Diperbarui: 27 Juni 2015   01:07 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah bentuk opini dari seorang warga Negara Republlik Indonesia. Harus saya akui bahwa tulisan ini adalah salah satu bentuk kegagalan saya dalam memahami apa yang terjadi dan saya harus mengakuinya. Hal ini terkait kasus pembunuhan Angeline. Kegagalan pemahan yang saya maksud adalah kegagalan untuk memahami tingkat prioritas dalam memahami akar permasalahan ini.

Baru saja saya melihat berita bahwa salah satu anggota dewan berencana akan merevisi Undang-Undang terkait adopsi atau pengangkatan anak. Menurut hemat saya, hal tersebut bukanlah AKAR permasalahan yang terjadi dalam permasalahan ini. Akar masalahnya menurut saya adalah pengetahuan tentang apa yang namanya NIKAH. Saya mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Ibu Mentri Sosial dalam tayangan Indonesian Lawyers Club tanggal 23 Juni 2015 “bagaimana sesungguhnya dalam UU perlindungan anak, tanggung jawab pertama-tama untuk melindungi anak, baik secara psikososial maupun secara intelektual itu adalah orangtua, sehingga kembali mengajak kedua orangtua memberikan perlindungan semaksimal mungkin kepada anak-anak mereka ini yang harus kita bangun komitmen bersama terutama jika kita kemudian melihat bahwa ada proses pra nikah itu sering kali tidak melalui pendidikan pra nikah sehingga tanggung jawab terhadap seluruh sosial impact dari proses pernikahan saya khawatir kemudian tidak terkomunikasi dengan baik” kira-kira seperti itu yang diungkapkan oleh Ibu Khofifah Indar Parawansa, untuk selengkapnya bisa disaksikan di Youtube.

Hal yang diungkapkan oleh Ibu Khofifah adalah hal yang saya sebutkan sebagai AKAR permasalahan dan saya sangat sependapat dengan Ibu Mentri, bukan malahan sibuk dengan revisi Undang-Undang terkait pengangkatan anak. Saya akan mencoba untuk menjelaskan mengapa saya sependapat dengan Ibu Khofifah.

Apa itu pengangkatan anak?

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 pasal 1 ayat 2 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkat.

Saya mencoba untuk menterjemahkanya secara lebih mudah, yaitu pengangkatan anak adalah pemindahan kewajiban dan tanggung jawab dari orangtua kandung kepada orangtua angkat. Artinya ada alasan-alasan mengapa seseorang memberikan hak dan tanggung jawab tersebut kepada orang lain. Tentu ini bukanlah hal yang mudah, ataupun bisa sangat mudah. Mengapa saya bilang hal ini tidak mudah? Karena jelas sebagai orangtua hal ini adalah hal yang paling menyedihkan harus berpisah dengan anaknya sendiri, apalagi bagi seorang Ibu yang telah mengandung selama 9 bulan dengan berbagai kesakitan, terutama pada saat persalinan, dimana pertaruhan nyawa bukanlah hal yang aneh. Keterikatan batin antara orangtua dan si anak merupakan hal yang membuat perpisahan tersebut menjadi begitu menyedihkan dan menyakitkan. Namun pada saat ini hal tersebut (pengangkatan anak) dapat dilakukan dengan mudahnya, saya ambil contoh kasus yang sering terjadi yaitu penjualan anak. Oleh karena itu sebelumnya saya mengatakan bahwa ada sebuah alasan-alasan mengapa seseorang bisa merelakan anaknya di angkat oleh orang lain.

Bila kita melihat pada kasus Angeline, pengangkatan anak ini dilakukan karena keterbatasan ekonomi kedua orangtua Angeline, dimana mereka tidak mampu membayar biaya persalinan di rumah sakit sebesar 800.00 (pada tahun 2007). Akhirnya seorang Ibu datang untuk bersedia membayar biaya rumah sakit (saya tidak mau membahas kasus ini terlalu jauh).

Harus saya pertegas, bahwa pada pengangkatan anak ada PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB. Pengalihan ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kasus Angeline faktornya adalah ekonomi. Artinya permasalahan sebenarnya bukanlah pada pengangkatan anak, walaupun ada pengaruhnya, tetapi bukanlah AKAR permasalahan sebenarnya. Bilamana saya urutkan permasalahannya, mungkin seperti ini :

 

     Lapangan Pekerjaan/Kebijakan Pemerintah --> kemiskinan -->Masalah Ekonomi -->Pengangkatan Anak --> Anak Terlantar

                                                                               Gambar 1

 

 

                                   Pendidikan Pra Nikah -->Peraturan Mengenai Pernikahan --> Pernikahan

                                                                                 Gambar 2

 

Saya akan menjelaskan gambar pertama terlebih dahulu. Pada gambar pertama saya mengurutkan bahwa ada permasalahan yang harus diperhatikan oleh pemerintah terkait dengan lapangan pekerjaan dan kebijakan pemerintah (mencatut pernyataan dari Ibu Ratna Sarumpaet di ILC tanggal 23 Juni 2015) yang mungkin dapat menjadi beberapa alasan dari kemiskinan, hal tersebut dapat memunculkan masalah ekonomi pada suatu keluarga yang menikah, kemudian karena masalah tersebut munculah pemikiran untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain (dalam hal ini pengangkatan anak) dengan harapan bahwa anaknya lebih layak di asuh orang lain agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak (pemikiran yang sangat mulia namun lebih banyak berspekulasi dan hal ini tertera pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 pasal 1 butir 2 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Bab I Pasal 2 bahwa Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan), akhirnya anak tersebut menjadi anak yang tidak dirawat dengan baik, atau bahkan bisa saja dirawat dengan sangat baiknya. Untuk hasil akhir yang negatif jelas ini menjadi permasalahan yang serius, bahkan kasus terkini si anak sampai meningal dunia. Mungkin pula kita tidak mengetahui bahwa pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Bab III tentang Hak dan Kewajiban Anak Pasal 7 butir 1 mengatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”, walaupun pada butir k 2 dijelaskan bahwa “dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Namun pesan yang disampaikan adalah bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri).

Pada gambar kedua saya mencoba menjelaskan dengan pendidikan pra nikah terlebih dahulu sebelum si calon mempelai tersebut memutuskan untuk menikah. Hal tersebut berguna untuk memahami apa yang dimaksud dengan pernikahan, memberikan informasi mengenai kehidupan pernikahan kepada pasangan, meningkatkan kemampuan komunikasi pasangan, mengembangkan keterampilan menyelesaikan konflik, memberikan kesempatan pada pasangan untuk mendiskusikan mengenai topik tertentu yang sensitif, seperti mengenai peran dan tanggung jawab suami-istri, seks, keuangan, dan hubungan dengan mertua. (http://psikologikita.com/?q=konselingpranikah). “proses pra nikah itu sering kali tidak melalui pendidikan pra nikah sehingga tanggung jawab terhadap seluruh sosial impact dari proses pernikahan” (kutipan pernyataan Ibu Mentri Sosial dalam ILC 23 Juni 2015). Setelah melalui pendidikan pra nikah, seharusnya anggota dewan lebih mengutamakan untuk membuat, memperbaiki, atau merevisi peraturan atau Undang-Undang mengenai pernikahan, terutama syarat-syarat pernikahan. Memang sudah ada dalam Undang-Undang, namun saya fikir memang harus direvisi

Syarat-syarat Pernikahan :

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab II Pasal 6 Mengenai Syarat-syarat Perkawinan dijelaskan :

Pasal 6

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

 

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

 

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
  2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
  5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
  6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

 

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

 

Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

 

Pasal 11

(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

 

Pasal 12

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

 

Syarat-syarat perkawinan ini sudah jelas, namun menurut saya tidak ada satu pasal pun yang menekankan pada pendidikan/pengetahuan/informasi tertentu terkait dengan pernikahan seperti yang telah saya jabarkan di atas dan dengan adanya pernyataan dari Mentri Sosial RI. Apabila kita menelisik lagi pada Bab IV Tentang Pencegahan Perkawinan dijelaskan pada Pasal 14 ayat 2 yang berbunyi “Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini”. Sedikit informasi definisi dari pengampuan adalah penyangga, penyokong, penopang, orang yg menjaga keselamatan orang lain, wali, orang tua, pembimbing. Anda bisa mengartikan sendiri ayat tersebut.

Artinya setelah pendidikan pra nikah, maka syarat berlangusngnya sebuah pernikahan pun harus diatur dengan mengutamakan atau menambahkan point mengenai pendidikan pra nikah (mungkin juga harus tersertifikasi bagi calon mempelai). Setelah pendidikan pra nikah dan syarat pernikahan telah terpenuhi, maka yang terakhir adalah pernikahan itu sendiri, dimana mereka terjun langsung pada hal yang lebih nyata. Artinya setelah melewati tahap-tahap tersebut, kedua mempelai mengetahui apa yang harus mereka lakukan pada hal-hal yang mungkin terjadi (termasuk menafkahi anak dari dalam kandungan hingga si anak besar nanti) dan mereka disumpah dalam hukum dan di atur dalam Undang-Undang dan sanksinya adalah penjara atau pengambilan hak asuh anak.

Kemungkinan pada terjadinya pengangkatan anak pada hal ini tetap ada, namun itu artinya pengangkatan seorang anak terjadi karena hal-hal yang sangat krusial, semisalkan orangtuanya telah tiada, atau orangtuanya dalam perjalanan membangun keluarga sedang dalam keadaan sakit sehingga tidak memungkinkan untuk menafkahi keluarganya, menurut saya hal-hal tersebut yang menjadi alasan pengangkatan anak.

 

KESIMPULAN :

Kemiskinan yang terjadi karena kurangnya lapangan pekerjaan, kebijakan pemerintah yang kemudian menjadikan rakyat kecil semakin melarat, atau juga kemampuan diri yang tidak sesuai dalam persaingan ketat dalam mencari pekerjaan memanglah sebuah momok yang telah ada dari jaman dulu dan hingga hari ini dan detik ini permasalahan tersebut tetap menjadi topik yang sangat mengesalkan.

Namun dalam kasus ini saya ingin melihat dari segi prioritas, saya menganggap dan mengusulkan agar prioritasnya bukanlah merevisi Undang-Undang mengenai pengangkatan anak untuk menyelesaikan masalah yang ada, namun lebih melihat pada asal-usul atau akar mengapa permasalahan ini sampai terjadi. Kita tidak perlu mencari akar hingga kepada pemerintah (kebijakan atau masalah lapangan pekerjaan), walaupun saya tidak menampik bahwa hal tersebut juga sangat berpengaruh. Namun saya lebih menekankan agar sebuah keputusan untuk menikah harus didasari kesadaran diri pada kemampuan secara ekonomi, sosial, dan budaya.

Keseluruhan tersebut dapat dipelajari dalam pendidikan pra nikah, jadi tidak lagi mengatasnamakan “Nikah adalah Ibadah” atau “Sebelum menikah rezekinya 1, setelah menikah rezekinya 2, setelah punya anak rezekinya 3, dan seterusnya” hal tersebut pada akhirnya tidak relevan karena apakah pernikahan itu akan menjadi sebuah ibadah ketika kita tidak bisa menafkahi atau bertanggung jawab pada suami/istri/anak? Bagi saya ungkapan-ungkapan tersebut dapat menjadi kenyataan kalau masing-masing memahami ungkapan tersebut dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun