Kapitalisme seringkali dianggap sebagai suatu tindakan moral, seperti menganggap kapitalisme baik karena mampu memberikan kekayaan, atau kapitalisme jahat karena menyebabkan ke tidak adilan. Reduksi soal kapitalisme tidak berhenti sampai disitu, banyak kalangan yang mengaku sebagai Marxis sering terjebak ketika mencoba menguraikan apa itu kapitalisme.
Acap kali, mereka yang mengaku Marxis hanya menjelaskan kapitalisme sebatas tentang kepemilikan pribadi. Bahwa kapitalisme sangat pro terhadap konsep kepemilikan pribadi di segala aspek, sehingga menurut mereka, perlawanan terhadap kapitalisme harus dengan menolak segala macam bentuk kepemilikan.
Bahkan, terkadang banyak pula yang percaya bahwa kapitalisme itu identik dengan perdagangan. Artinya setiap perdagangan yang terjadi itu bisa disebut sebagai kapitalisme. Tak jarang pula yang mengartikan kapitalisme hanya sebatas tentang uang. Asumsinya, dalam masyarakat pra kapitalis, penggunaan uang sebagai alat tukar sangat terbatas.
Menurut Ellen Meiksins Wood, ahli sejarah politik. Setidaknya ada dua kesalahan yang paling fundamental oleh kebanyakan orang dalam memahami kapitalisme. Pertama, pengertian kapitalisme kerap kali disandarkan pada pemahaman soal model perdagangan, maksudnya yaitu kapitalisme dianggap muncul  dari modal yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil perdagangan. Yang oleh Adam Smith disebut sebagai akumulasi primitif, membeli sesuatu semurah-murahnya, lalu menjual semahal mungkin kemudian menghemat keuntungan untuk di tumpuk menjadi kekayaan.
Kedua, pendefinisian kapitalisme sering mengacu pada revolusi industri. Kemunculan kapitalisme dianggap karena adanya kemajuan teknologi di Inggris pada saat terjadi revolusi industri. Sehingga menyebabkan banyak tenaga kerja di kota-kota yang diserap oleh kegiatan industri dan menyebabkan pengambilan nilai lebih dari tenaga kerja. Pengertian ini memiliki anggapan bahwa penumpukan modal terjadi karena adanya nilai lebih yang diambil dari tenaga kerja dalam aktivitas produksi.
Pengertian- pengertian di atas terbantahkan dengan gamblang manakala kita menggunakan pendekatan Wood, dalam menguraikan kapitalisme, Wood menggunakan pendekatan sejarah. Misalnya, anggapan mengenai perdagangan dan uang selalu identik dengan kapitalisme dapat dibantah dengan mudah, karena perdagangan dan uang sudah ada jauh sebelum kapitalisme muncul. Contohnya perdagangan Cina, Cina mampu berdagang dan menggunakan uang sebagai alat tukar ke seluruh penjuru dunia sebelum kapitalisme itu ada. Lantas apakah waktu itu Cina disebut sebagai kapitalis ?
Menurut Wood, kemunculan kapitalisme bukan karena fenomena-fenomena di atas. Bahkan banyak ahli yang meyakini asal-usul kapitalisme lahir di kota-kota dagang Eropa seperti Amsterdam, Venesia, Florence, dan Paris. Keyakinan itu justru dibantah oleh Wood, menurut Wood kapitalisme lahir di pedesaan Inggris.
Dalam menguraikan pendapatnya itu, Wood meminjam karya Robert Brenner seorang Marxis yang mengulas transisi feodalisme ke kapitalisme dan karya dari E. P. Thompson tentang kemunculan kelas pekerja di Inggris. Ke dua karya itu menjadi alat bantu bagi Wood untuk menguraikan tafsir soal kapitalisme.
Dari karya-karya tersebut, Wood dengan jeli menguraikan apa itu kapitalisme. Bagi Wood, kapitalisme terpatah dan berbeda dari sistem- sistem ekonomi politik sebelumnya. Kekayaan tidak dengan sendirinya menjadi kapital. Kapital adalah suatu hubungan sosial yang spesifik. Artinya seberapapun modal yang ditumpuk, tidak serta Merta menjadi kapitalisme.Â
Karena yang dibutuhkan kapitalisme adalah perubahan hubungan sosial yang memberikan daya gerak. Oleh Wood diuraikan sebagai berikut; adanya paksaan persaingan, maksimalisasi profit, keharusan untuk menginvestasikan kembali laba, dan tak henti-henti memaksimalkan produktivitas tenaga kerja serta pengembangan produksi. Perubahan sosial itu terjadi akibat diceraikannya manusia dari kepemilikan faktor produksi yang menyebabkan hubungan sosial baru demi bertahan hidup.
Hubungan sosial baru tersebut ditandai dengan karakter yang memaksa semua pelaku produksi mengalami ketergantungan pada pasar. Semua produksi diwajibkan untuk pasar, dan seluruh unsur di dalamnya harus tunduk dalam prinsip persaingan agar bisa bertahan. Pencarian laba menjadi orientasi dominan ketimbang proses produksi itu sendiri.
Pembacaan tersebut dilakukan oleh Wood melalu dimensi sejarah. Pada abad 16, karakter lapisan masyarakat Inggris sangat berbeda dengan negara Eropa yang lain. Fenomena penaklukan kaum Norman, menghasilkan monarki yang sangat terpusat dan kuat di Inggris. Seluruh aktivitas ekonomi di monopoli oleh monarki, akibatnya kelas aristokrat pemilik tanah tidak diperbolehkan lagi melakukan kegiatan ekstra- ekonomi (pengambilan upeti dari petani). Untuk bertahan hidup, para aristokrat pemilik tanah hanya mengandalkan mekanisme ekonomi, yaitu dari harga sewa tanah.
Karena situasi demikian, para pemilik tanah harus memainkan harga sewa tanah seturut dengan ongkos dan hasil produksi serta konsumsi yang digerakkan oleh pasar. Akibatnya harga sewa tanah di Inggris sangat fluktuatif tergantung konsumsi pasar. Dulu sebelum ada monopoli dari monarki, harga sewa tanah cenderung stabil, karena aristokrat pemilik tanah bisa mengambil keuntungan dari upeti. Akibatnya, pasca aturan pelarangan kegiatan ekstra ekonomi bagi pemilik tanah, hanya dengan memainkan harga sewa mereka bisa bertahan hidup.
Sementara bagi petani penggarap, dimainkannya harga sewa tanah memaksa petani untuk memutar otak agar tetap bisa menyewa tanah. Karena dari tanah yang disewa, petani bisa melakukan aktivitas produksi untuk bertahan hidup. Disinilah muncul persaingan antar petani untuk menawarkan harga sewa paling tinggi agar bisa mendapatkan lahan.Â
Akibatnya, petani harus menekan ongkos produksi dan meningkatkan produktivitas demi meraup keuntungan untuk menyewa tanah. Karena keuntungan yang di dapat dari hasil produksi semata, tidak bisa diandalkan untuk memenuhi ongkos sewa lahan yang kompetitif. Hal itu terjadi karena  hasil penjualan tidak bisa dikendalikan oleh petani, melainkan oleh pasar.
Disinilah pasar menjadi sesuatu yang memaksa, bukan sebuah mekanisme biasa seperti era sebelumnya, dimana para produsen bisa bebas menjual atau tidak hasil produksinya. Ini lah yang oleh Wood disebut sebagai kapitalisme; pasar bukan menjadi mekanisme perdagangan biasa, tapi penentu utama dan pengatur seluruh aspek kehidupan, bahkan keberlangsungan hidup itu sendiri.
Redi Liana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H