Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemajemukan Indonesia: Kekayaan dan Ancaman Disintegrasi Bangsa

15 Februari 2022   21:52 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:13 1883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Indonesia lebih dikenal sebagai negara yang pluralis karena berdiri di atas kemajemukan yang mencakupi hampir seluruh sendi kehidupan masyarakatnya. Secara geografis saja, negara ini dibentuk oleh bentangan pulau -- pulau yang beranekaragam. Keadaan geografis yang berbeda -- beda ini kemudian menciptakan kemajemukan budaya yang dihidupi oleh etnis yang juga beragam. Lantas pada jaman penyebaran agama -- agama besar di dunia seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, setiap etnis menerima agama sesuai dengan kebiasaan daerahnya. Akibatnya terjadi pula  kemajemukan  agama di Indonesia.

Kemajemukan Indonesia pada awalnya adalah kekayaan bangsa, tetapi lama kelamaan menjadi "bumerang" bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sebab ancaman disintegrasi bangsa selalu membayangi. Berbagai hal mengancam kesatuan bangsa Indonesia, mulai dari hal -- hal yang berkaitan dengan persoalan kedaerahan, keagamaan, sampai hal -- hal yang berkaitan dengan ideologi, konsep dan pandangan hidup yang dianggap berbeda.

Menurut saya ada tiga  alasan utama yang melatar-belakangi lahirnya ancaman ini. Pertama, karena pudarnya narasi kebangsaan yang pernah mempersatukan pluralitas di Indonesia. Yang dimaksud dengan narasi kebangsaan di sini adalah suatu pandangan yang melihat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar yang memiliki sejarah dan asal -- usul yang sama. Pada jaman kemerdekaan, narasi inilah yang menyatukan bangsa Indonesia dan membentuk negara Indonesia. Para pejuang berdarah -- darah di medan tempur, menanggalkan identitas diri, agama, suku, bahasa dan golongan demi merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah.

Indikasi pudarnya narasi kebangsaan banyak sekali. Salah satu yang paling meresahkan ialah munculnya organisasi -- organisasi masyarakat (Ormas)  yang menganut paham radikal. Ormas -- ormas ini tidak menerima adanya narasi kebangsaan. Mereka melihat bahwa narasi kebangsaan justru memperlemah upaya mereka untuk melebarkan sayap dan pengaruhnya. Mereka hanya menginginkan bahwa negara ini menjadi negara satu agama saja dan menolak kehadiran agama lain yang dianggapnya sebagai musuh. Karena itu mereka menebarkan hoax di mana -- mana, propaganda sana -- sini, mendiskriminasi agama -- agama minoritas serta yang mengerikan adalah melakukan aksi --aksi teror seperti bom bunuh diri di gereja, hotel dan di obyek -- obyek vital lainnya.

Kedua, karena lahir sebuah sikap destruktif yang mengacaukan pandangan bangsa yakni prasangka buruk atau prejudice. Dengan adanya sikap ini, muncul oknum -- oknum yang memandang bangsa Indonesia tidak secara keseluruhan tetapi secara terkotak -- kotak berdasarkan kriteria -- kriteria yang melekat pada identitas dirinya. Sikap ini memaksa kita melihat secara a priori tanpa didukung bukti apa pun dan cenderung negatif disertai dengan tindakan -- tindakan diskriminatif.

Dalam kehidupan beragama prejudice telah berhasil melahirkan konflik -- konflik besar di Indonesia sebagai contoh Konflik Ambon  dan Konflik Poso. Dua konflik ini menelan korban jiwa yang sangat banyak, kerugian materil yang tidak terhitung, trauma psikologis anak -- anak yang berkepanjangan dan menguatnya sentimen agama dalam kehidupan bersama.

Ketiga, banyak kaum muda saat ini mengalami degradasi moral, terlena dengan kesenangan dan lupa akan tanggung jawab sebagai seorang pemuda. Dalam kehidupan setiap hari banyak kaum muda tidak lagi memberi contoh dan teladan kepada masyarakat sebagai kaum terpelajar tetapi lebih sering melakoni kebiasaan yang berorientasi pada kesenangan semata. Selain itu banyak kaum muda juga sering menjadi provokator  yang meledakan konflik antar agama. Tercatat kasus kasus Ambon dan Poso adalah konflik agama yang dipicu oleh ulah kaum muda yang tidak bertanggung jawab.

Masalah lain yang menghinggapi kaum muda adalah lemahnya pemahaman mereka terhadap ajaran agama. Mereka jarang berdoa, jarang ke gereja atau masjid tetapi sok -- sokan membela kebenaran agama. Apabila kita menelusuri dinding -- dinding media sosial seperti facebook dan twitter dan lain -- lain kita pasti akan menemukan ribuan kata -- kata provokasi yang bertujuan menebar suara kebencian terhadap agama lain. Ini adalah bahaya laten yang bisa memicu konflik.

Atas dasar itu saya berpikir bahwa kita mesti berbenah. Apa yang mesti kita benahi? Menurut saya ada 3 hal yang bisa kita lakukan. Pertama, Kita harus menghidupkan kembali dan memperkuat Narasi Kebangsaan dalam kehidupan setiap hari bahwa kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia adalah hasil usaha bersama semua agama dengan peran yang berbeda dan unik. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak bisa kita sangkal apalagi sengaja kita lupakan.

Bagaimana cara memperkuat narasi kebangsaan? Ya kita harus mau menerima kenyataan berbeda dan kemajemukan yang ada di Indonesia dan mengimplementasikan semboyan bhineka tunggal ika dalam kehidupan setiap hari. 

Kita juga mesti mengamalkan Pancasila, khususnya sila Persatuan Indonesia, sebagai kekuatan bangsa serta mengimlementasikan Sumpah Pemuda sebagai semangat bersama untuk terus menjaga keutuhan bangsa.

Kedua, Kita harus melakukan dialog antar agama secara intens dan  membiasakan diri untuk hidup berbaur dengan agama lain. Tujuannya adalah setiap agama saling memahami satu sama lain sehingga tercipta hubungan yang harmonis. 

Sebab kurangnya kontak dan komunikasi biasanya menciptakan kecurigaan dan permusuhan. Dialog ini bisa dilakukan dengan 4 cara yakni dialog hidup, dialog karya, dialog pandangan teologi dan dialog Iman atau pengalaman keagamaan.

Ketiga, mengajak kaum muda untuk menyadari hakekatnya yang sebenarnya. Kaum muda seharusnya berperan sebagai aset masa depan, agen perubahan, kekuatan moral dan pemecah masalah. Hal ini tidak bisa ditawar -- tawar. Sebab kaum muda pejuang akan menghasilkan bangsa yang kokoh di masa depan. 

Kaum muda pesimis akan menghasilkan bangsa yang pecundang dan kaum muda hura -- hura akan menghasilkan bangsa yang kacau balau. Tentu kita mau bangsa Indonesia semakin kokoh dari waktu ke waktu maka dari itu kita butuhkan mental kaum muda pejuang di bumi ibu pertiwi ini yang siap berperan sebagai aset masa depan, agen perubahan, kekuatan moral dan pemecah masalah.

Jika kita tidak segera berbenah memperbaiki situasi yang ada, bukan tidak mungkin suatu saat Indonesia hanyalah sebuah cerita belaka. Keanekaragaman yang dimilikinya hanya akan menjadi kenangan yang dirindukan anak cucu. 

Kejayaannya hanya akan jadi buah bibir dari masa ke masa tanpa mampu direngkuh seperti negara Atlantis yang pernah diceritakan oleh Plato. Tentu kita tidak mau  hal itu terjadi pada Negara kita tercinta ini. Karena itu mari kita perkuat narasi kebangsaan kita, kita buang jauh -- jauh prejudice antar kelompok dan kita bangun kaum muda yang berkarakter yang siap berjuang untuk bangsa dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun