Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema Seorang Suami

26 Juni 2021   13:52 Diperbarui: 26 Juni 2021   14:06 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dilema seorang suami (kaba12.co.id)

Suasana rumah mencekam. Air mata Bete tak berhenti mengalir. Ia merasa terjebak di kamar berdinding bebak itu.

            "Aku makan hati tinggal di rumah ini. aku benci ibumu. Mulutnya seperti pantat ayam. Tak pernah berhenti mengoceh. Harusnya  dia tidak perlu mengomentari masalah kita. Ibumu terlalu ikut campur urusan kita, sayang." Katanya sambil duduk membelakangi Nahak suaminya.

            Nahak hanya mendengarkan keluhannya dengan jantung berdebar -- debar, mata memerah dan melotot. Amarah memenuhi hati dan kepalanya. Tetapi ia mencoba sabar untuk menghadapi istrinya itu.

            "Aku tidak betah tinggal di sini. Aku mau kita tinggal di kos. Jauh dari keluargamu dan keluargaku. Biar kita urus rumah tangga kita sendiri. Kalau kau tidak mau, biar aku sendiri tinggal di kos. Aku butuh keputusanmu sekarang". Katanya lagi dengan nada yang semakin meninggi.

            Suasana rumah kian mencekam. Langit yang cerah berbintang seolah tertutup awan gelap. Bulan hanya bisa melongo melihat Nahak terjebak pada pilihan yang sulit. Namun Nahak tetap sabar ia mencoba menenangkan situasi.

            "Sayang, mama tidak bermaksud mencampuri urusan kita. Dia hanya ingin kita tidak bertengkar dan memarahi anak -- anak. Kadang -- kadang kau memang berlebihan saat memarahi anak -- anak. Tadi mama mencoba menghindarkan anak -- anak dari kemarahanmu. Lalu jangan berusaha membuat keputusan saat marah. Itu justru akan menimbulkan masalah baru." Usaha Nahak ternyata sia -- sia. Bete tidak menggubris. Suaranya terbuang percuma. Bete justru menganggap Nahak membela ibunya. Suasana makin kacau. Nahak kebingungan tak tahu harus bagaimana.

             Sambil duduk saling membelakangi di atas ranjang, Bete terus mengoceh tanpa henti. Nahak hilang kesabaran. Ia bangkit berdiri dan berteriak memanggil ibunya. Bete yang semula berkomat -- kamit, langsung terdiam dan menatap suaminya dengan heran. Dia lalu mencoba meraih tangan Nahak untuk menghalanginya bertemu ibu. Tapi Nahak menepis tangannya dan berjalan keluar kamar.

            Nahak lalu menuju kamar tamu. Ia sediakan tiga buah kursi untuk mereka bertiga. Tapi istrinya tak mau keluar kamar. Dia terus berkomat -- kamit seperti dukun. Ibunya pun keluar dari kamar tidur sambil menggendong anak mereka yang sudah tertidur.

            "Mama, istri saya tersinggung dengan ucapan mama tadi. Dia tidak mau mama terlalu ikut campur urusan kami".

            Dengan menarik nafas dalam ibunya berkata: "Saya tidak marah istrimu. Dia tidak perlu tersinggung. Saya tadi hanya berusaha mengajak anak -- anak supaya tidak mengganggu istrimu".

            "Iya mama, saya mengerti. Tapi mungkin lain kali mama tidak usah ikut campur urusan kami dulu, kecuali masalah -- masalah yang tidak bisa kami atasi." Mendengar permintaan Nahak, ibunya hanya mengangguk mengiyakan lalu berjalan meninggalkannya sendirian di ruang tamu.

            Nahak pun bergegas kembali ke kamar untuk menyampaikan pertemuannya dengan ibu kepada istrinya. Saat membuka pintu, Nahak  menemukan istrinya sedang menangis sambil tidur menelungkup di atas ranjang. Nahak pun mendekati sang istri dan berusaha menenangkan. Setelah menyadari bahwa Nahak ada di sebelahnya Bete berbalik memeluk suaminya itu dengan wajah penuh air mata.

            "Sayang, saya minta maaf. Saya sudah buat sayang marah. Mama juga pasti marah karena saya tersinggung dengan ucapannya". Katanya dengan penuh penyesalan.

            Nahak memeluk dia sambil terus berusaha menenangkannya. "Tak ada yang perlu disesali sayang, semua sudah terjadi. Mama pun mengerti dengan kemarahanmu. Mama tidak marah. Tadi pun dia tidak bermaksud ikut campur, dia hanya ingin membantumu. Hanya mungkin sayang salah paham."

***

            Saat terbangun pada pagi hari, Nahak menemukan dirinya sendiri di atas ranjang. Bete menghilang entah ke mana. Namun sayup -- sayup terdengar bunyi piring, senduk dan percikan air serta suara nyala api di kompor yang terdengar seperti musik tarian Likurai di dapur. Ternyata Bete sementara mempersiapkan sarapan untuk mereka.

            Belum sempat Nahak turun dari ranjangnya, sang istri sudah duduk di pinggir ranjang sambil menyuguhkan senyuman manisnya. Nahak menyambut istrinya dengan senyuman yang sama sambil berusaha melepaskan selimut.

            "Sayang, kita jadi pindah ke kos?" Kata Bete mengawali percakapan mereka pagi itu. Nahak terkejut bukan main. Ia kira istrinya sudah melupakan masalah semalam. Ternyata masih ada lanjutannya. Nahak bergeming beberapa saat lalu balik bertanya pada istrinya.

            "Apakah kita mesti tinggal di kos? Padahal kebutuhan kita saja lebih besar dari upah yang kita peroleh setiap bulannya sayang. Apalagi kita sudah berencana membuat rumah. Nanti pengeluaran kita bertambah. Bukankah lebih baik uang yang akan dipakai bayar kos itu kita tabung untuk rumah?"

            "Sayang, tapi di sini saya tidak nyaman. Apakah kau bisa pastikan bahwa saya akan nyaman tinggal di antara keluargamu yang cerewet, keras kepala, dan terkadang malas tahu ini?" Bete berusaha mempengaruhi suaminya dengan membeberkan alasan -- alasan yang membuatnya ingin pindah. Namun Nahak bersikukuh, ia justru terkejut dengan apa yang disampaikan istrinya.

            "Bete, selama ini mereka tidak mencampuri urusan kita, bahkan mereka membantu kita di saat -- saat kita mengalami kesulitan. Ah kau ini bagaimana? Terus kalau kita mau tinggal di kos, kira -- kira mau kos di mana dan berapa biaya kos per bulannya?"

            Bete terdiam sesaat, lalu tanpa menanggapi pernyataan Nahak tentang keluarga, ia menjawab, "Ada kos dekat rumah temanku, harganya 600.000 rupiah per bulan, sudah termasuk listrik dan air".

            "Bayangkan kalau uang 600.000 ribu itu kita tabung untuk membuat rumah, daripada memperkaya pemilik kos. Kan selama ini orang tuaku tidak galak seperti di sinetron -- sinetron? Cobalah buang stigma buruk tentang keluargaku sayang." Nahak mencoba meyakinkan istrinya.

            Bete terdiam lagi cukup lama, lalu berkata,"Okey baik, kita tetap tinggal di sini tapi kau harus pastikan bahwa rumah segera dibuat. Saya tidak butuh rumah yang bagus bak istana, cukup saya nyaman saja, itu sudah buat saya bahagia." Bete lalu mengambil handuk, keranjang berisi sabun dan keperluan mandi lainnya dan menghilang di balik kamar mandi. Nahak hanya terpaku menatap istrinya berlalu di hadapannya sambil menarik nafas lega. Di lain pihak tugas baru menantinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun