Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dari Pengalaman ke Borobudur sampai Pendapat tentang Sound of Borobudur

9 Mei 2021   22:29 Diperbarui: 9 Mei 2021   22:30 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu yang lalu, saat berselancar di laman Kompasiana sekadar membaca tulisan -- tulisan kompasianer, mata saya langsung disuguhkan dengan tulisan Sound of Borobudur. 

Ternyata Kompasiana sementara menyelenggara Event Blog Competition tentang Sound of Borodudur dengan hadiah yang sangat menarik yakni kesempatan jalan -- jalan ke Candi Borobudur. Melihat kata Borobudur, sekonyong -- konyong pikiran saya langsung menghantar saya pada kenangan 3 tahun lalu. 

Pada saat yang sama muncul juga pertanyaan dalam benak saya, "Mengapa Sound of Borobudur? Apakah candi besar ini dapat bersuara?

Pengalaman ke Candi Borobudur

Seumur hidup saya baru sekali menapakan kaki di atas Candi Borobudur. Pengalaman itu terjadi pada tahun 2018 yang lalu saat saya mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi tempat saya bekerja di Yogyakarta. Karena letak Candi Borobudur yang tidak terlalu jauh dari Kota Yogyakarta sehingga pada hari terakhir kegiatan, panitia memberi kesempatan kepada kami berkunjung ke Candi terbesar di dunia itu untuk sekadar melihat dan berfoto. Bagi saya, pengalaman itu sungguh suatu pengalaman yang luar biasa dan sangat berkesan di mana saya bisa melihat secara langsung maha karya para pendahulu kita yang sangat kaya akan nilai seni dan nilai budaya serta berbagai ilmu pengetahuan.

Sebelumnya informasi tentang Candi Borobudur lebih banyak saya peroleh dari pelajaran di sekolah dan dari buku -- buku sejarah yang pernah saya baca. Dari situ saya mengetahui bahwa Candi yang memiliki 2672 panel relief dan 504 stupa itu dibangun pada abad 9 Masehi oleh Dinasti Syailendra dari Kerajaan Mataram. Lalu  tahun 1991 lalu diakui oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia. Namun, apa artinya mengetahui tanpa melihat sendiri, menyentuh dan merasakan energi dari para pembuatnya. Sekalipun kita berkoar -- koar tentang kemegahan suatu karya, tetap saja orang akan pertanyakan tentang validitas informasi yang kita berikan.

Karena itu saat berada di Candi Borobudur saya berkeliling ke semua sisi bangunan bersejarah itu untuk melihat susunannya, melihat relief -- relief yang terpahat indah di dinding -- dinding candi, melihat patung -- patung yang mulai rapuh termakan usia, dan melihat stupa -- stupa yang megah sembari membayangkan bagaimana maha karya ini dibangun. Saya juga berdiri di depan stupa  - stupa sambil berfoto ria, berjalan di bilik -- bilik candi yang cukup luas dan duduk semedi di tempat yang datar sambil merasakan rinai hujan menyentuh kulit.

Walaupun begitu sebagai seorang wisatawan biasa,  banyak obyek yang luput dari pandangan saya waktu itu. Salah satunya adalah relief -- relief yang menampilkan alat musik. Sebab saya tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa Candi Borobudur memiliki kekayaan sejarah tentang musik. Apalagi sebuah pandangan tentang Borobudur Pusat Musik Dunia.

Pertanyaan: Mengapa Sound of Borobudur?

Mengapa Sound Of Borobudur? Apakah candi terbesar di dunia itu dapat bersuara? Pertanyaan ini memang pertanyaan orang awam yang heran. Terkesan sangat polos dan sarat akan ketidaktahuan. Tetapi dari pertanyaan ini lahir rasa ingin tahu akan kekayaan Candi Borobudur yang biasa dipromosikan oleh Kementerian Pariwisata dalam program Wonderful Indonesia sebagai  salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia.

Lalu setelah berikhtiar di jagad internet, saya menemukan bahwa Sound of Borobudur bukan berarti candi yang bersuara melainkan alunan musik yang lahir dari rahim Borobudur sebagai hasil kekayaan seni budaya dan kemajuan peradaban nusantara yang pernah dicapai nenek moyang kita 13 abad yang lalu. Hal ini terbukti dengan adanya relief -- relief pada dinding -- dinding candi yang memperlihatkan suasana orang memainkan  alat -- alat musik. Namun sayang, relief -- relief ini tidak bisa dilihat secara langsung karena merupakan relief yang ada di dasar candi dan tertutup. Kita hanya bisa melihatnya pada foto -- foto yang pernah diabadikan oleh seorang fotografer bernama Kassian Cephass.

Dari foto -- foto relief yang diabadikan oleh Kassian Cephass terdapat kurang lebih 226 relief alat musik baik itu alat musik jenis aerophone, cordophone, idiophone maupun membranophone.  Foto - foto ini kemudian menginspirasi Tri Utami dan beberapa seniman nusantara lain untuk menyelenggarakan kegiatan musik dengan tajuk Sound Of Borobudur. Tujuannya adalah untuk menggaungkan kembali bunyian peradaban Borobudur yang terpendam selama ribuan tahun agar dapat dimanfaatkan di masa depan sekaligus sebagai upaya untuk mengembalikan kejayaan musik di nusantara.

Selain itu menurut Tri Utami, Sound Of Borobudur juga dilihat sebagai sebuah spirit yang melahirkan geliat dan upaya reaktualisasi serta revitalisasi nilai-nilai luhur yang terpahat dan tersirat di setiap bagan relief dan lekuk candi. Artinya bahwa melalui Sound Of Borobudur segala nilai yang terpahat pada dinding candi khususnya tentang musik mesti dihidupkan kembali dan dijiwai sebagai sesuatu yang penting. Ia menjadi spirit mata panah kebudayaan yang tajam, untuk kita sendiri sebagai anak bangsa maupun kepada dunia.

Pendapat tentang Sound of Borobudur

Bagi saya apa yang dilakukan oleh Tri Utami dan kawan -- kawan adalah sebuah perjuangan luar biasa yang perlu diapresiasi dan didukung oleh seluruh anak bangsa. Karena saat banyak orang lelap dalam kekuasaan internet yang makin merajalela, mereka justru menyusuri lereng sejarah untuk menemukan remah -- remah kejayaan masa lalu yang mulai berdebu. Tak sampai di situ saja, mereka lalu mencari ke sisa -- sisa alat musik yang masih bertahan, membuat replika alat musik yang sudah punah, dan melantunkan kembali alat -- alat musik itu seperti pada jamannya.

Bagi sebagian orang ini mungkin hal gila. Namun justru melalui kegilaan seperti inilah sesuatu yang terpendam bisa diangkat ke permukaan. Sebab siapa yang menyangka sebelumnya bahwa di tempat yang dikenal sebagai tempat berdoa umat Buddha ini pernah  menjadi pusat musik dunia. Sound of Borobudur yang digagas oleh Tri Utami dan kawan -- kawan inilah yang membuka mata kita dan mata dunia tentang fakta sejarah itu.

Walaupun begitu, upaya yang sudah dilakukan selama 5 tahun itu, memang belum terlalu bergaung. Karena sampai hari ini banyak orang masih terkejut dan bertanya -- tanya tentang Sound of Borobudur termasuk saya pada minggu lalu. Oleh sebab itu, semua komponen masyarakat  harus bekerja dan bergerak dalam irama yang sama, mengintegrasikan diri dan saling mendukung, menggunakan segala macam cara dan sarana menggemakan Borobudur sebagai Pusat Musik Dunia kepada sesama di sekitar rumah, kepada masyarakat Indonesia dan kepada warga dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun