Dari foto -- foto relief yang diabadikan oleh Kassian Cephass terdapat kurang lebih 226 relief alat musik baik itu alat musik jenis aerophone, cordophone, idiophone maupun membranophone. Â Foto - foto ini kemudian menginspirasi Tri Utami dan beberapa seniman nusantara lain untuk menyelenggarakan kegiatan musik dengan tajuk Sound Of Borobudur. Tujuannya adalah untuk menggaungkan kembali bunyian peradaban Borobudur yang terpendam selama ribuan tahun agar dapat dimanfaatkan di masa depan sekaligus sebagai upaya untuk mengembalikan kejayaan musik di nusantara.
Selain itu menurut Tri Utami, Sound Of Borobudur juga dilihat sebagai sebuah spirit yang melahirkan geliat dan upaya reaktualisasi serta revitalisasi nilai-nilai luhur yang terpahat dan tersirat di setiap bagan relief dan lekuk candi. Artinya bahwa melalui Sound Of Borobudur segala nilai yang terpahat pada dinding candi khususnya tentang musik mesti dihidupkan kembali dan dijiwai sebagai sesuatu yang penting. Ia menjadi spirit mata panah kebudayaan yang tajam, untuk kita sendiri sebagai anak bangsa maupun kepada dunia.
Pendapat tentang Sound of Borobudur
Bagi saya apa yang dilakukan oleh Tri Utami dan kawan -- kawan adalah sebuah perjuangan luar biasa yang perlu diapresiasi dan didukung oleh seluruh anak bangsa. Karena saat banyak orang lelap dalam kekuasaan internet yang makin merajalela, mereka justru menyusuri lereng sejarah untuk menemukan remah -- remah kejayaan masa lalu yang mulai berdebu. Tak sampai di situ saja, mereka lalu mencari ke sisa -- sisa alat musik yang masih bertahan, membuat replika alat musik yang sudah punah, dan melantunkan kembali alat -- alat musik itu seperti pada jamannya.
Bagi sebagian orang ini mungkin hal gila. Namun justru melalui kegilaan seperti inilah sesuatu yang terpendam bisa diangkat ke permukaan. Sebab siapa yang menyangka sebelumnya bahwa di tempat yang dikenal sebagai tempat berdoa umat Buddha ini pernah  menjadi pusat musik dunia. Sound of Borobudur yang digagas oleh Tri Utami dan kawan -- kawan inilah yang membuka mata kita dan mata dunia tentang fakta sejarah itu.
Walaupun begitu, upaya yang sudah dilakukan selama 5 tahun itu, memang belum terlalu bergaung. Karena sampai hari ini banyak orang masih terkejut dan bertanya -- tanya tentang Sound of Borobudur termasuk saya pada minggu lalu. Oleh sebab itu, semua komponen masyarakat  harus bekerja dan bergerak dalam irama yang sama, mengintegrasikan diri dan saling mendukung, menggunakan segala macam cara dan sarana menggemakan Borobudur sebagai Pusat Musik Dunia kepada sesama di sekitar rumah, kepada masyarakat Indonesia dan kepada warga dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H