Mohon tunggu...
Alvian Fachrurrozi
Alvian Fachrurrozi Mohon Tunggu... Seniman - Penulis bebas

Manusia bebas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seteru Ideologi Abadi di Tanah Jawa

8 Juni 2022   11:48 Diperbarui: 13 Juni 2022   09:04 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak! Tentu saja tidak. Masyarakat Jawa itu tidak anti Islam atau anti agama apapun. Sebelum agama-agama dari negeri asing datang ke sini, masyarakat Jawa itu sudah mempunyai konsepsi spiritualitas sendiri yang sangat mendalam dan kokoh. Bagi tataran manusia yang sudah memegang pemahaman spiritualitas yang sangat mendalam dan kokoh itu tentu akan sangat tidak elok manakala bersikap antipati/menghinakan/mengkafirkan ajaran spiritualitas dari bangsa lain, makanya baik itu agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen diterima dengan baik di negeri ini. Tidak pernah ada sejarahnya manusia Jawa Sejati yang berakar pada jati diri bangsanya itu menggidap Hindu-phobia, Buddha-phobia, Islam-phobia, Kristen-phobia, atau Yahudi-phobia.

Jadi sungguh tidak berdasar dan sontoloyo jika ada orang yang mengatakan bahwa orang Jawa yang mempercayai sejarah yang menggempur Majapahit adalah kerajaan Demak itu adalah orang yang anti Islam dan bahkan disebut menggidap problem "Jawa esensial" --- purifikasi kemurnian Jawa, sebagaimana Wahabisme pengusung purifikasi Islam. Sekali lagi saya tegaskan, Tidak, Sama Sekali Tidak! Majapahit yang digempur oleh Demak dengan dalil sentimen agama itu memang fakta sejarah. Patut kita curigai (ada kepentingan apa?) pada beberapa orang yang ketakutan dan denial dengan sejarah itu. Padahal saudara kita di Bali dan juga Banyuwangi mempunyai catatan dan memori kolektif bagaimana mbah-mbahnya dulu dikejar-kejar dan disembelih hanya karena tidak mau berpindah agama.

Sesungguhnya manusia Jawa atau Nusantara itu memang tidak pernah anti terhadap agama apapun, manusia Jawa tidak berpikiran picik mendambakan "kemurnian" dengan tidak mau bersinergi dengan unsur ajaran lain. Tetapi ingat, manusia Jawa di satu sisi juga tidak lantas sukarela menjadi "bangsa follower", bangsa pengekor mentah-mentah terhadap pakem ajaran dari bangsa lain. Agama apapun yang masuk ke tanah Nusantara selalu "difilter" oleh para leluhur Jawa agar selaras dengan bangunan spiritual asli Nusantara.

Makanya jangan heran jika kubu Nasionalis yang merupakan representasi dari kelompok Abangan, orang-orang yang meski apapun agamanya selalu mampu bersinergi dengan bangunan spiritual Nusantara suka atau tidak suka adalah kelompok yang selalu berjaya dalam kepemimpinan politik di negeri ini. Sudah garis karmanya, kelompok yang berorientasi pada hal-hal inklusif, pada hal-hal universal lah yang pasti berjaya di negeri penuh kebhinekaan ini, sementara kelompok yang berorientasi pada hal-hal eksklusif, pada kefanatikan golongannya sendiri sudah pasti kalau tidak menjadi gembel politik yang keleleran ya hanya menjadi kere pengemis subsidi negara.

Sampai di sini saya sangat memahami jika sejak di abad-abad yang silam hingga di masa kini kelompok Abangan yang selalu berorientasi pada pluralisme, pada hal-hal universal, pada esensi tunggal dibalik setiap kebhinekaan selalu gencar dimusuhi oleh kaum fundamentalis yang selalu berorientasi pada klaim monopoli kebenaran, pada kefanatikan penuhanan terhadap kaumnya sendiri.

Dalam perlawanan wacana intelektual pun saya melihat kaum Fundamentalis Sontoloyo penerus NII/Kartosuwiryo dan kelompok Sontoloyo yang sejenisnya juga terus saja gencar bergerilya membuat fitnah-fitnah dan pemutarbalikkan fakta terhadap sejarah Nasional. Propagandis-propagandis "Hoaks Kebencian" itu diantaranya adalah Ahmad Mansur Suryanegara yang menulis buku "Api Sejarah (Jilid 1 dan Jilid 2)", Artawijaya yang menulis buku "Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara", dan Irfan S. Awwas yang menulis buku "Jejak Jihad SM Kartosuwiryo". Mereka ini misalnya bersekongkol membuat "Narasi Penggiringan" jika Boedi Oetomo dahulu adalah kaum anti Islam dan dijadikan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) oleh rezim yang sama-sama anti Islam. Serta Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan anti Islam yang didukung Belanda, makanya hari lahir Ki Hajar Dewantara dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Betapa tengiknya fitnahan kaum Islam Fundamentalis ini, padahal dalam sejarahnya organisasi Boedi Oetomo ini justru sangat berjasa dalam membantu pendirian ormas Muhammadiyah, dr. Soetomo pendiri BO bahkan juga berkiprah dalam mendirikan Rumah Sakit Muhammadiyah yang pertama, beliau juga berjasa dalam membantu pendirian keorganisasian Nahdlatul Ulama, dan bahkan di akhir hayatnya juga sempat mendirikan Yayasan Kuliah Islam. Bagaimana bisa hanya ada satu dua oknum anggota BO yang menulis satir agak nakal terhadap Islam di Majalah, lalu dibuat generalisasi jika BO adalah organisasi yang anti Islam. Apakah hanya karena BO berorientasi ke hal-hal universal tanpa memihak satu agama seperti Sarekat Islam, lantas dibenci, difitnah, dan gencar dimusuhi dalam berbagai narasi fundamentalisme sontoloyo mereka?

Selanjutnya soal pendidikan Taman Siswa, bagaimana bisa dikatakan pendidikan anti Islam yang didukung Belanda. Lha wong Ki Hajar Dewantara saja jika kita baca biografinya beliau mempunyai pandangan yang respektif terhadap pendidikan pesantren tradisional daripada terhadap sekolah kolonial Belanda yang elitisme. Dan bagaimana bisa dikatakan jika pendidikan Taman Siswa dikatakan didukung Belanda. Lha wong Taman Siswa saja dalam sepanjang sejarahnya menolak subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, dan justru malah organisasi Muhammadiyah dan KH Ahmad Dahlan yang mau menerima subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. Jadi tentu saja sudah tepat sekali jika hari kelahiran pejuang pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional, meski sungguh sayang kurikulum-kurikulum dari Taman Siswa yang amat sangat sesuai dengan jati diri bangsa ini belum dijadikan sebagai kiblat pendidikan di negeri ini.

Sampai di sini, saya sudah tidak heran dengan masifnya kebencian-kebencian picisan kaum Islam Fundamentalis.
Mereka sejak dulu memang menghalalkan segala cara dalam memusuhi kaum Nasionalis yang tulus mencintai bangsanya dan mau merangkul segenap kebhinnekaan. Sejak era Arya Penangsang, era Kartosuwiryo, hingga era internet saat ini watak mereka tidak berubah, tetap gencar menjadi "benalu bangsa" yang tiada henti memusuhi sekelompok orang yang berbeda. Entahlah, seakan mereka itu memang ditakdirkan menjadi "seteru abadi" bagi anak negeri yang menjunjung tinggi kemanusiaan, pluralitas, dan jati diri kebangsaan negeri ini.

----------
Ngawi, 07.06.2022
Alvian Fachrurrozi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun