Mohon tunggu...
Alvian Fachrurrozi
Alvian Fachrurrozi Mohon Tunggu... Seniman - Penulis bebas

Manusia bebas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seteru Ideologi Abadi di Tanah Jawa

8 Juni 2022   11:48 Diperbarui: 13 Juni 2022   09:04 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca buku The Religion Of Java (Clifford Geertz), Serat Wedhatama (Mangkunegara IV), Serat Darmagandul (Anonim), dan Serat Gatholoco (Anonim) kita sebagai pembaca terang-terang disuguhi sebuah lakon "seteru ideologi abadi" yang eksis bercokol di tanah Jawa. Dan barangkali di antara pembaca referensi-referensi itu ada yang tidak saja menjadikannya sebagai sebatas pengetahuan dalam tempurung ingatan atau referensi ilmiah dalam kajian ilmu sosial belaka. Tetapi alih-alih ada juga yang menjadikan referensi-referensi bacaan itu sebagai pustaka penting untuk "analisa diri" dan "analisa sosial" yang menyangkut jati diri kulturalnya, mahzab perilaku dan berpikirnya, serta preferensi dalam olah laku spiritualnya. Bahkan saya pun menerka-nerka, bagi jiwa-jiwa yang begitu ideologis dan lebih radikal akan menjadikannya referensi-referensi bacaan itu tadi sebagai pisau analisis penting untuk mengidentifikasi "siapa kawan" dan "siapa lawan" dalam palagan sosial.

Saya sebagai salah satu pembaca referensi-refensi bacaan itu tentu tidak ketinggalan pula memetik banyak manfaat darinya. Saya menjadi lebih "peka" dengan jati diri kultural saya. Menjadi lebih terang kepada siapa saya harus memiliki keperpihakan, kepada siapa saya harus "mikul duwur mendhem jero", menjunjung tinggi kelebihan dan mengoreksi kelemahannya. Tentu saya tidak menutup mata pada polemik sengit yang dibangun oleh beberapa pribadi dan kelompok yang terbukti sangat "ketakutan" kepada referensi-referensi bacaan tadi. Terutama dua buah karya yang dibuat oleh penulis anonim, Serat Darmagandul dan Serat Gatholoco itu. 

Dua serat itu dituduh dengan tudingan macam-macam yang saling tumpang tindih. Ada yang menuduhnya buatan orientalis Belanda demi kepentingan kolonialisasi, ada yang menuduhnya buatan misionaris Kristen Jawa demi penyebaran kekristenan, ada pula yang menuduhnya buatan pujangga Kebatinan Jawa yang mana sakit hati karena ditindas ruang sosial dan ruang ekspresi keyakinannya oleh fundamentalisme Islam. Begitu pula dengan The Religion Of Java, sekelompok orang ketakutan tadi pun mengecam Clifford Geertz sebagai pengusung "polarisasi" yang memecah belah kehidupan spiritual dan politik di bumi Jawa. Cuma Serat Wedhatama saja yang benar-benar luput dari "komentar-komentar ketakutan" sekelompok orang tadi. Barangkali, ya barangkali narasi bahasa Serat Wedhatama itu sangat sopan dan halus meskipun sama tajamnya dengan Serat Darmagandul dan Serat Gatholoco dalam "menusuk" kelompok Sontoloyo yang sama itu.

Menanggapi orang-orang dan kelompok yang ketakutan dan denial pada kandungan isi Serat Gatholoco, Serat Darmagandul, dan The Religion Of Java itu kok alih-alih saya menjadi percaya pada mereka. Sebaliknya saya kok malah justru mencurigai mereka, ada kepentingan apa mereka sebenarnya itu sehingga begitu takutnya pada narasi-narasi yang ada di dalam referensi-referensi bacaan itu? Apakah kelompok fundamentalis, intoleran, dan vandalis yang disebutkan dalam Serat Darmagandul tidak lain adalah kelompok mereka itu? Apakah kaum pemuja kulit agama dan kosong dalam esensi spiritualitas yang dilukiskan dalam Serat Gatholoco itu tidak lain adalah mereka? Apakah kaum yang berhasrat menyeragamkan penduduk Jawa menjadi satu golongan dalam berkeyakinan, berpakaian, berbudaya, dan berperilaku yang dianalisis dalam The Religion Of Java adalah mereka, sehingga mereka harus bersungut-sungut marah pada Clifford Geertz yang menulis penelitian bahwa di tanah Jawa ini ada seteru 3 ideologi yang tidak bisa dielakkan?

Terlepas dari pledoi orang dan sekelompok Sontoloyo tadi, jika saya mengkaji Serat Gatholoco dengan sungguh-sungguh kok malah menemukan citarasa Sufistik Islam yang sangat mendalam di situ, alih-alih sebuah karya yang konon sangat anti Islam.

Satu contoh saja, di Serat Gatholoco itu ada penjabaran soal Nur Muhammad dan Syahadat Hakekat. Dalam ajaran Tassawuf Islam Jawa yang sangat mendalam seperti dalam Serat Wirid Hidayat Jati, makna Muhammad dalam syahadat dan makna Rasulullah itu memang dipahami bukan sebagai Muhammad bin Abdullah yang sudah meninggal lama di tanah Arab. Tetapi Muhammad itu tidak lain adalah Nur Muhammad (Cahaya Awal Kehidupan) dan Rasulullah itu tidak lain adalah Rasa Sejati/Ruh kita sendiri. Maka jangan aneh jika mendapati orang Jawa di pelosok desa atau orang-orang Jawa ningrat di keraton itu meski mengaku Islam tetapi dia tidak mengkultuskan Muhammad bin Abdullah, tidak menjadikan Muhammad bin Abdullah sebagai teladan universal dalam berpikir, berucap, dan berperilaku. Karena orang Jawa itu Islamnya Islam Hakekat, teladan universalnya adalah Rasulullah atau Utusan Tuhan yang sejati yaitu tidak lain adalah Rasa Sejati yang ada di dalam dirinya sendiri.

Sesarkas dan sevulgar apapun Serat Gatholoco tadi dalam mengkritik kelompok santri yang memuja syariat/kulit agama, dia tidak lupa tetap menyelipkan ajaran Tassawuf Jawa seperti yang juga termuat di dalam Serat Wirid Hidayat Jati yang merupakan kompilasi wejangan mistik dari para Wali Songo. Jadi sungguh sontoloyo sekali jika menuduh dengan dangkal Serat Gatholoco sebagai sebuah karya yang anti Islam.

Lalu jika menilik The Religion Of Java yang memaparkan 3 klasifikasi utama manusia Jawa (Abangan, Santri, dan Priyayi) yang lalu dituding membuat polarisasi atau bahasa kasarannya memecah belah orang Jawa itu, apakah benar juga demikian? Dengan membaca sejarah Jawa paska runtuhnya Majapahit sekilas saja akan kita dapati bahwa tudingan semacam itu adalah tudingan ahistoris dan juga sontoloyo sekali. Bagaimana tidak? Semenjak masa "sirna ilang kertaning bhumi" atau masa setelah berakhirnya kekuasaan politik kerajaan Majapahit, penting untuk dipahami bahwa sosio historis  masyarakat Jawa memang menjadi kerap diwarnai oleh konflik polarisasi ideologi/golongan, satu contoh saja konflik polarisasi politik antara Syekh Siti Jenar (Penggusung Islam Abangan) dan Sunan Kudus (Pengusung Islam Murni), juga konflik antara Arya Penangsang yang mewakili penggusung Islam Murni dan Jaka Tingkir yang mewakili Islam Abangan.

Seteru polarisasi ideologi itu terus berlanjut hingga di masa pergerakan nasional. Ada Sekarmadji Marijan Kartosuwirnyo pendiri Darul Islam/Negara Islam Indonesia (NII) yang merupakan representasi dari kelompok pengimpi Islam Murni yang berseteru sengit dengan Sukarno yang Nasionalis dan tidak tertarik pada konsep teokrasi negara Islam --- Entah kebetulan atau memang sudah blue print karmanya, Kartosuwiryo ini pun juga sangat mengidolakan sosok Arya Penangsang musuh Jaka Tingkir itu dan sampai menjadikan nama Arya Penangsang sebagai nama pena kala Kartosuwiryo masih menjadi jurnalis.

Menenggok masyarakat Jawa yang tidak mau menerima Islam Murni yang sangat bernafsu mendirikan diktatorisme negara Islam ini, apakah berarti masyarakat Jawa itu adalah masyarakat yang anti Islam?

Tidak! Tentu saja tidak. Masyarakat Jawa itu tidak anti Islam atau anti agama apapun. Sebelum agama-agama dari negeri asing datang ke sini, masyarakat Jawa itu sudah mempunyai konsepsi spiritualitas sendiri yang sangat mendalam dan kokoh. Bagi tataran manusia yang sudah memegang pemahaman spiritualitas yang sangat mendalam dan kokoh itu tentu akan sangat tidak elok manakala bersikap antipati/menghinakan/mengkafirkan ajaran spiritualitas dari bangsa lain, makanya baik itu agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen diterima dengan baik di negeri ini. Tidak pernah ada sejarahnya manusia Jawa Sejati yang berakar pada jati diri bangsanya itu menggidap Hindu-phobia, Buddha-phobia, Islam-phobia, Kristen-phobia, atau Yahudi-phobia.

Jadi sungguh tidak berdasar dan sontoloyo jika ada orang yang mengatakan bahwa orang Jawa yang mempercayai sejarah yang menggempur Majapahit adalah kerajaan Demak itu adalah orang yang anti Islam dan bahkan disebut menggidap problem "Jawa esensial" --- purifikasi kemurnian Jawa, sebagaimana Wahabisme pengusung purifikasi Islam. Sekali lagi saya tegaskan, Tidak, Sama Sekali Tidak! Majapahit yang digempur oleh Demak dengan dalil sentimen agama itu memang fakta sejarah. Patut kita curigai (ada kepentingan apa?) pada beberapa orang yang ketakutan dan denial dengan sejarah itu. Padahal saudara kita di Bali dan juga Banyuwangi mempunyai catatan dan memori kolektif bagaimana mbah-mbahnya dulu dikejar-kejar dan disembelih hanya karena tidak mau berpindah agama.

Sesungguhnya manusia Jawa atau Nusantara itu memang tidak pernah anti terhadap agama apapun, manusia Jawa tidak berpikiran picik mendambakan "kemurnian" dengan tidak mau bersinergi dengan unsur ajaran lain. Tetapi ingat, manusia Jawa di satu sisi juga tidak lantas sukarela menjadi "bangsa follower", bangsa pengekor mentah-mentah terhadap pakem ajaran dari bangsa lain. Agama apapun yang masuk ke tanah Nusantara selalu "difilter" oleh para leluhur Jawa agar selaras dengan bangunan spiritual asli Nusantara.

Makanya jangan heran jika kubu Nasionalis yang merupakan representasi dari kelompok Abangan, orang-orang yang meski apapun agamanya selalu mampu bersinergi dengan bangunan spiritual Nusantara suka atau tidak suka adalah kelompok yang selalu berjaya dalam kepemimpinan politik di negeri ini. Sudah garis karmanya, kelompok yang berorientasi pada hal-hal inklusif, pada hal-hal universal lah yang pasti berjaya di negeri penuh kebhinekaan ini, sementara kelompok yang berorientasi pada hal-hal eksklusif, pada kefanatikan golongannya sendiri sudah pasti kalau tidak menjadi gembel politik yang keleleran ya hanya menjadi kere pengemis subsidi negara.

Sampai di sini saya sangat memahami jika sejak di abad-abad yang silam hingga di masa kini kelompok Abangan yang selalu berorientasi pada pluralisme, pada hal-hal universal, pada esensi tunggal dibalik setiap kebhinekaan selalu gencar dimusuhi oleh kaum fundamentalis yang selalu berorientasi pada klaim monopoli kebenaran, pada kefanatikan penuhanan terhadap kaumnya sendiri.

Dalam perlawanan wacana intelektual pun saya melihat kaum Fundamentalis Sontoloyo penerus NII/Kartosuwiryo dan kelompok Sontoloyo yang sejenisnya juga terus saja gencar bergerilya membuat fitnah-fitnah dan pemutarbalikkan fakta terhadap sejarah Nasional. Propagandis-propagandis "Hoaks Kebencian" itu diantaranya adalah Ahmad Mansur Suryanegara yang menulis buku "Api Sejarah (Jilid 1 dan Jilid 2)", Artawijaya yang menulis buku "Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara", dan Irfan S. Awwas yang menulis buku "Jejak Jihad SM Kartosuwiryo". Mereka ini misalnya bersekongkol membuat "Narasi Penggiringan" jika Boedi Oetomo dahulu adalah kaum anti Islam dan dijadikan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) oleh rezim yang sama-sama anti Islam. Serta Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan anti Islam yang didukung Belanda, makanya hari lahir Ki Hajar Dewantara dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Betapa tengiknya fitnahan kaum Islam Fundamentalis ini, padahal dalam sejarahnya organisasi Boedi Oetomo ini justru sangat berjasa dalam membantu pendirian ormas Muhammadiyah, dr. Soetomo pendiri BO bahkan juga berkiprah dalam mendirikan Rumah Sakit Muhammadiyah yang pertama, beliau juga berjasa dalam membantu pendirian keorganisasian Nahdlatul Ulama, dan bahkan di akhir hayatnya juga sempat mendirikan Yayasan Kuliah Islam. Bagaimana bisa hanya ada satu dua oknum anggota BO yang menulis satir agak nakal terhadap Islam di Majalah, lalu dibuat generalisasi jika BO adalah organisasi yang anti Islam. Apakah hanya karena BO berorientasi ke hal-hal universal tanpa memihak satu agama seperti Sarekat Islam, lantas dibenci, difitnah, dan gencar dimusuhi dalam berbagai narasi fundamentalisme sontoloyo mereka?

Selanjutnya soal pendidikan Taman Siswa, bagaimana bisa dikatakan pendidikan anti Islam yang didukung Belanda. Lha wong Ki Hajar Dewantara saja jika kita baca biografinya beliau mempunyai pandangan yang respektif terhadap pendidikan pesantren tradisional daripada terhadap sekolah kolonial Belanda yang elitisme. Dan bagaimana bisa dikatakan jika pendidikan Taman Siswa dikatakan didukung Belanda. Lha wong Taman Siswa saja dalam sepanjang sejarahnya menolak subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, dan justru malah organisasi Muhammadiyah dan KH Ahmad Dahlan yang mau menerima subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. Jadi tentu saja sudah tepat sekali jika hari kelahiran pejuang pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional, meski sungguh sayang kurikulum-kurikulum dari Taman Siswa yang amat sangat sesuai dengan jati diri bangsa ini belum dijadikan sebagai kiblat pendidikan di negeri ini.

Sampai di sini, saya sudah tidak heran dengan masifnya kebencian-kebencian picisan kaum Islam Fundamentalis.
Mereka sejak dulu memang menghalalkan segala cara dalam memusuhi kaum Nasionalis yang tulus mencintai bangsanya dan mau merangkul segenap kebhinnekaan. Sejak era Arya Penangsang, era Kartosuwiryo, hingga era internet saat ini watak mereka tidak berubah, tetap gencar menjadi "benalu bangsa" yang tiada henti memusuhi sekelompok orang yang berbeda. Entahlah, seakan mereka itu memang ditakdirkan menjadi "seteru abadi" bagi anak negeri yang menjunjung tinggi kemanusiaan, pluralitas, dan jati diri kebangsaan negeri ini.

----------
Ngawi, 07.06.2022
Alvian Fachrurrozi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun