Dalam dunia bisnis di Indonesia dewasa ini, penerapan Standar ISO, baik ISO 9001 (Quality Management System / Sistem Manajemen Mutu) maupun Standar-standar ISO dalam keluarga (serie) yang lain, di kalangan organisasi perusahaan bukan lagi menjadi suatu hal yang asing. Bukan hanya karena dalam berbagai bidang Standar ISO menjadi satu persyaratan dalam pengajuan proposal penawaran kerja (tender) pada aktivitas-aktivitas bisnis yang terkait dengan proyek-proyek pemerintahan, namun juga diakibatkan berbagai peraturan pemerintah dan Kementerian menetapkan penerapan Standar ISO sebagai syarat standar bagi perusahaan dalam beberapa bidang bisnis tertentu.
Dalam situasi itulah, perkembangan penerapan Standar ISO di Indonesia kemudian berkembang marak dan pelaku-pelaku di dunia Standar ISO bertumbuh dengan pesat, mulai dari Lembaga Sertifikasi hingga lembaga-lembaga Konsultan.
Namun sayang, dalam perkembangannya terlihat bagaimana Standar ISO kemudian lebih banyak menjadi suatu persyaratan formalitas belaka. Gejalanya kemudian seperti menjadi fenomena yang semakin umum dan dianggap biasa, lumrah, atau bahkan tidak jarang sampai menerbitkan keyakinan di dalam diri pelaku-pelaku di dunia ISO bahwa, "memang seharusnya seperti itu."
Mulai dari organisasi perusahaan, ketika memiliki keinginan untuk mendapatkan sertifikat ISO, latar belakang dan konsep yang ada dalam benak Top Manajemen hanyalah sebatas "ingin memperoleh sertifikat ISO" untuk tujuan-tujuan yang pragmatis, seperti memenuhi persyaratan tender, atau memenuhi persyaratan regulasi. Upaya untuk mempekerjakan tenaga Konsultan, kemudian jatuh pada tujuan teknis, membantu organisasi perusahaan untuk melengkapi dokumen-dokumen administratif, maupun persyaratan-persyaratan teknis yang disyaratkan dalam Standar ISO.
Demikian pula kemudian Konsultan yang menangani terjebak dalam situasi tuntutan klien semacam itu, dan pada gilirannya membentuk sistem kerja konsultasinya sebatas membantu organisasi untuk melengkapi dokumen, atau persyaratan teknis lainnya, agar organisasi perusahaan siap menghadapi audit dari Lembaga Sertifikasi.
Situasi seperti ini kemudian semakin mencapai puncaknya ketika Lembaga Sertifikasi dalam melaksanakan audit ibarat memposisikan diri untuk "membantu perusahaan klien" memperoleh Sertifikat. Sebagai akibatnya, pelaksanaan Audit pun dilakukan dengan pola formalitas belaka. Kegiatan Audit yang sesungguhnya merupakan sarana untuk mengevaluasi dan memverifikasi kelayakan sebuah Organisasi menerima Sertifikat ISO, akhirnya jatuh menjadi praktek "Jual Beli Sertifikat."
Kondisi ini kemudian semakin diperparah, dengan maraknya praktek Lembaga Sertifikasi yang tidak kredibel, dan tidak terjangkau dalam pengawasan Komite Akreditasi Nasional ataupun Badan Standar Nasional di Indonesia. Praktek "jual beli sertifikat" bisa terjadi dalam hitungan jam, dan rangkaian proses audit dilakukan dalam pola potong kompas, sehingga sertifikat ISO yang diterbitkan sesungguhnya tidaklah berbeda dengan Ijazah Palsu.
Lembaga Sertifikasi Independen ini ibarat "lone wolf" yang bekerja sendiri-sendiri tanpa terlibat dalam asosiasi, dan tidak menempatkan dirinya sebagai bagian dari komunitas pelaku bisnis Sertifikasi yang di Indonesia akan berada dalam pengawasan Lembaga Komite Akreditasi Nasional. Perusahaan Lembaga Sertifikasi seperti ini, akan bekerja dengan "kerahasiaan" yang berbeda dengan konsep "kerahasiaan" dalam dunia Lembaga Sertifikasi. Kerahasiaan yang dibentuk lebih merupakan cara untuk menghindari jeratan hukum, ketimbang untuk menjaga kepentingan hukum klien.
Dalam kondisi carut marut yang demikian, pada akhirnya pemahaman konsepsional tentang Standar ISO menjadi semakin terlupakan. Tidak jarang pelaku-pelaku bisnis konsultasi (konsultan) maupun audit (auditor) tidak memiliki cukup pemahaman yang baik dan benar tentang manajemen pada umumnya, maupun tentang Standar ISO dan klausul-klausul yang terkandung di dalamnya.
Upaya untuk terus menerus menggali pemahaman tentu saja menjadi "tidak diperlukan", ketika proses disain sistem manajemen pada klien yang akan disertifikasi dilakukan dengan pola salin tempel (copy paste). Pola kerja yang demikian membuat Konsultan tidak memiliki tuntutan untuk menciptakan disain-disain sistem manajemen yang cocok diterapkan bagi perusahaan yang tentunya memiliki tujuan, value (nilai), budaya organisasi, skala, struktur dan tingkat maturitas yang berbeda-beda. Semua klien akan diterapkan sistem yang seragam, dengan perubahan-perubahan minor yang bahkan dilakukan dalam bentuk hanya mengubah format header, atau identitas perusahaan dalam form-form dan dokumen yang digunakan.
Dengan pemahaman yang "seadanya" tentu saja kemudian pemberian training yang dilakukan konsultan akan dilakukan dengan pola penjelasan teoritis dan abstrak dalam bahasa-bahasa klausul standar yang tidak memberikan pemahaman esensial pada para manajer maupun pegawai di perusahaan klien. Copy Paste modul training menjadi pola standar. Bahkan sering terjadi konsultan tidak menerapkan benchmark pada modul yang digunakannya, sehingga materi yang sama dibawakan bertahun-tahun tanpa ada update baik dalam data maupun teknik penyampaian.
Dalam konteks demikian tentu saja, sertifikat-sertifikat "Basic Training" atau bahkan "Audit Internal" begitu mudah diberikan pada peserta dari perusahaan hanya dengan pemenuhan persyaratan "attendance" atau menghadiri pelatihan, tanpa ada proses benchmarking terhadap pemahaman materi yang diterima.
Pola salin tempel ini juga terjadi di tingkat Lembaga Sertifikasi. Bukan hanya hasil Laporan Audit Klien Sertifikasi dilakukan dengan pola salin tempel, modifikasi temuan-temuan dalam proses audit pun bisa dinegosiasikan dan diatur bersama klien, yang tentu saja akan diakhiri dengan pemberian "salam tempel" pada auditor-auditor yang bertugas.
Sebagai akibatnya bukan hal yang aneh pula jika tenaga Auditor pun terjebak dalam pemahaman-pemahaman yang "seadanya" baik dalam konteks Standar ISO, maupun manajemen secara umum.
***
Kondisi ini sebenarnya sudah sangat memprihatinkan. Karena mudah untuk kita bayangkan bahwa akumulasi dari gejala-gejala dan pola yang diterapkan pelaku-pelaku dalam dunia Sertifikasi ISO ini sesungguhnya adalah proses yang sedang "membunuh" Standar ISO itu sendiri.
Saat ini dampak negatif pada Standar ISO itu sendiri sudah sangat marak terbaca di masyarakat. Bukan hal yang aneh jika sekarag ini kita menemukan masyarakat umum memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap manfaat dari penerapan Standar ISO di perusahaannya.
Dalam dunia bisnis sehari-hari mudah ditemukan pandangan-pandangan umum yang menganggap Standar ISO hanya persyaratan administratif, yang bagi manajer atau pegawai di dalam organisasi perusahaan sebenarnya justru dianggap hanya mempersulit organiasi perusahaan, dan manfaat yang diberikan hanya sebatas memenuhi persyaratan formalitas dari pemerintah atau pemenuhan formalitas regulasi, dan tidak memiliki manfaat yang lebih besar bagi bisnis mereka.
Ibaratnya, nilai Sertifikat ISO di mata pelaku bisnis, jatuh menjadi sebatas "pakaian seragam" yang diadakan dan dikenakan hanya untuk mematuhi aturan/regulasi pemerintah, atau sebatas kosmetik yang memperindah penampilan perusahaan, namun secara real (nyata) dianggap tidak bermanfaat untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi atau apalagi, untuk menambah profit perusahaan dan mengembangkan perusahaan menjadi lebih maju.
Tentu saja, gejala ketidakpercayaan ini tidak hanya akan berhenti di masyarakat, namun mudah dibayangkan akan terus bergulir sampai ke tingkat regulator atau pemerintahan. Dan mudah pula ditebak, Â jika kemudian pemerintah pun memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap penerapan Standar ISO, tentu saja pemerintah akan terdorong untuk beranggapan penerapan Standar ISO dan Sertifikat ISO tidak lagi dipandang sebagai persyaratan yang layak untuk memastikan kualitas kinerja dari perusahaan.
Jika kondisi terjadi, maka demand terhadap Standar ISO pelan-pelan akan berkurang, karena selembar Sertifikat ISO dianggap tidak bisa memberikan jaminan akan kualitas dan kinerja organisasi perusahaan, dan tentu saja pada akhirnya Sertifikat ISO tidak akan lagi "laku" di dalam dunia bisnis,
Dalam konteks inilah, penulis telah menulis dan menyusun sebuah buku untuk menjadi sumbangan pemikiran bagi masyarakat Indonesia secara umum, khususnya para pelaku bisnis, dan terlebih khusus lagi bagi para pelaku di dalam dunia Sertifikasi ISO. Dijabarkan dalam beberapa bab, buku ini akan membahas mulai dari konsep-konsep pemahaman yang keliru, hingga teknik-teknik penerapan klausul Standar ISO khususnya ISO 9001 (QMS/Sistem Manajemen Mutu), yang bisa membantu organisasi perusahaan, konsultan, maupun auditor untuk mendisain dan mengevaluasi sistem manajemen yang bukan hanya memenuhi persyaratan standar secara administratif, namun bermanfaat bagi profit perusahaan.
Anda tertarik? Sampaikan di kolom komentar dan tunggu tanggal terbitnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H