Ada sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, yaitu hukum. Setiap ada manusia yang hidup bersama pasti selalu ada hukum yang hidup dan dipatuhi di dalamnya.Â
Seberapa banyak dan sedikitnya pun manusia yang hidup di dalamnya, selalu ada hukum yang berlaku. Jiwa dan pikiran manusia memang pada kodratnya selalu memikirkan hal-hal yang dapat membuat kehidupannya sejahtera dan tentram.Â
Maka dalam kehidupan masyarakat yang sangat primitif pun, manusia mampu melahirkan sebuah aturan yang lahir dari alam pikirnya dalam tujuan membangun kehidupan yang damai.
Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang dalam kehidupan masyarakat tradisionalnya dan memiliki berbagai ragam budaya adat yang telah hidup dari masa lampau dan tetap lestari meski zaman telah sedikit demi sedikit mempengaruhi sebagian besar kehidupan di seluruh Nusantara.
Hukum Adat memang merupakan suatu perangkat yang sudah hidup dan diakui keberlakuannya dalam masyarakat sejak suatu masyarakat adat terbentuk.
Baca juga : Peran Agama Islam dalam Membangun Solidaritas Sosial
Hukum Adat dilahirkan dari alam pikiran dan semangat yang hidup dalam jiwa suatu masyarakat adat. Oleh karena di Indonesia terdapat berbagai ragam masyarakat adat yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara, sudah barang tentu setiap masyarakat adat memiliki corak hukum adat yang berbeda.
Seiring perkembangan hukum adat, di sisi lain ajaran Islam mulai memasuki babak baru dalam perluasan penyebarannya. Dengan begitu masuknya ajaran Islam pun mulai banyak tersebar dan dianut oleh sebagian besar masyarakat Nusantara.Â
Dari hal itu menimbulkan konsekuensi hukum bahwa hukum Islam pun mulai digunakan dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dengan Hukum Adat, Hukum Islam merupakan bagian dari ajaran Islam yang bersumber dari syari'at Tuhan yang tertuang dalam Al-Qur'an dan Hadits. Sifatnya baku dan berlaku secara umum untuk masyarakat di belahan dunia manapun.
Manusia bukanlah makhluk abadi yang akan hidup selamanya, setiap manusia akan mengalami kematian dan setiap kematian tentunya akan menimbulkan suatu persoalan hukum yaitu mengenai status kepemilikan barang yang ditinggalkan ketika manusia meninggal.Â
Maka dari itu baik hukum Adat maupun hukum Islam mengatur tentang hal itu agar tidak terjadinya kekacauan dalam masyarakat yang ditinggalkan dan adanya kepastian hukum mengenai perpindahan harta. Dalam hukum adat disebut dengan hukum kewarisan adat sedangkan dalam terminologi hukum Islam dikenal dengan beberapa istilah di antaranya ilmu faraidh dan fiqh mawarist.
Masyarakat adat memiliki beberapa corak kekeluargaan/ kekerabatan yang berbeda antara masing-masing masyarakat adat, perbedaan ini dikarenakan memang berbedanya pemikiran dan jiwa yang hidup dalam suatu masyarakat adat.
Baca juga : Peran Pendidikan Agama Islam dalam Menumbuhkan Akhlak Mulia pada Manusia
Pertama, Patrilineal. Adalah corak kekerabatan yang mengutamakan garis ketururan dari pihak bapak atau lebih mengutamakan anak laki-laki karena menurut jiwa dan pemikiran yang hidup dalam masyarakat ini beranggapan bahwa anak laki-laki lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan anak perempuan. Misalnya masyarakat Batak dan Tanah Gayo.
Kedua, Matrilineal. Kebalikan dari corak patrilineal, corak ini lebih mengutamakan garis keturunan dari pihak ibu atau lebih mengutamakan anak perempuan karena beranggapan bahwa anak perempuan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari anak laki-laki. Misalnya masyarakat Minangkabau.
Ketiga, Parental. Berbeda dengan dua corak di atas, corak ini memperlakukan seimbang baik dari garis keturunan bapak maupun ibu. Corak ini juga memberi kedudukan yang sama antara anak laki-laki maupun anak perempuan. Misalnya di kebanyakan Pulau Jawa.
Dari konsekuensi perbedaan corak kekerabatan tersebut, berimplikasi pada perbedaannya sistem waris adat yang terjadi dalam masyarakat adat. Yang kemudian dikenal dengan istiliha sistem mayorat, sistem kolektif, dan sistem individual.
Sistem mayorat, merupakan suatu konsep pembagian harta peninggalan kepada ahli waris dengan memberikan seluruh harta peninggalan atau sebagian besarnya diberikan kepada anak laki-laki atau anak perempuan tertua saja. Namun dengan ketentuan yang menerima harta warisan tersebut tetap haru mengurusi adik-adiknya yg lain. pada umumnya sistem ini hanya berlaku pada masyarakat yang bercorak patrilineal dan matrilineal saja.
Sistem kolektif, konsep pewarisan ini lebih mengutamakan kebersamaan dalam kepemilikkan harta warisan, artinya peninggalan yang diwarisi menjadi milik bersama. Harta peninggalan dalam sistem ini biasanya berupa suatu harta pusaka yang memang tidak bisa dibagi-bagi. Sama halnya dengan sistem mayorat, sistem ini juga hanya terdapat pada masyarakat patrilineal maupun matrilineal.
Baca juga : Rekonstruksi Materi Pendidikan Antikorupsi dengan Hukum Islam di Indonesia
Sistem individual, sistem ini memiliki konsep pembagian waris yang berbeda antara sistem mayorat maupun kolektif. Dalam sistem individual harta peninggalan dibagikan kepada semua anak baik laki-laki maupun perempuan. Sistem ini pada umumnya hanya terdapat pada masyarakat yang bercorak parental.
Sedangkan dalam hukum Islam, tidak mengenal pembagian corak kekerabatan maupun perbedaan sistem kewarisan seperti yang terjadi dalam hukum Adat. Dalam hukum Islam hanya mengenal asas-asas yang berlaku dalam sistem kewarisan Islam di antaranya Asas Bilateral dan Asas Individual.
Asas Bilateral merupakan landasar dasar yang dijadikan semangat dalam proses pembagian waris dalam Islam yang menyebutkan bahwa baik anak laki-laki maupun anak perempuan atau baik dari kerabak pihak ayah  maupun pihak ibu memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam hal pembagian waris.
Asas Individual merupakan konsep dasar dalam pembagian harta warisan dalam Islam yang menerangkan bahwa semua harta peningalan dibagikan secara pribadi kepada semua ahli waris yang berhak menerimanya.
Sedangkan mengenai ukuran bagian masing-masing ahli waris dalam hal pembagian waris memiliki perbedaan antara sistem hukum Adat maupun hukum Islam.Â
Dalam hukum Islam bagian masing-masing ahli waris sudah terdapat pembagian yang baku dan matang yang tertuang dalam al-Qur'an maupun Hadist. Ukuran pembagiannya sudah ditentukan langsung oleh pembuat syari'at yaitu Allah.
Berbeda dengan hukum adat yang lahir dari hasil olah pikiran manusia, mengenai ukuran pembagian waris dalam hukum adat tidak memiliki jumlah yang baku karena hukum adat bersifat dinamis dan tidak dikodifikasi. Sistem waris hukum adat hanya mengenal beberapa pertimbangan dalam pembagian waris, yaitu berdasarkan kewajaran, kelayakan  ataupun kepantasa.
Dasar kewajaran merupakan cara pembagian waris dalam hukum adat yang terlebih dahulu melihat kondisi ekonomi seorang ahli waris. Artinya ahli waris yang kondisi ekonominya sudah mapan sudah barang tentu sewajarnya tidak akan mendapat harta warisan yang tidak terlalu besar dibanding dengan ahli waris yang kondisi ekonominya masing rendah.
Dasar kelayakan merupakan cara lain dalam pembagian waris adat yang menunjukkan bahwa seorang kepala adat ataupun  seorang ahli waris dari anak yang paling tua lah yang berhak menentukan dan mengatur pembagian waris.
Sedangkan dasar kepantasan lebih berorientasi pada pertimbangan yang didasarkan pada kesesuaian jenis kelamin sang ahli waris. Artinya seorang anak perempuan sudah barang tentu lebih pantas mendapatkan harta warisan berupa perhiasan maupun perlengkapan rumah tangga, dan anak laki-laki lebih pantas mendapatkan harta warisan berupa sebidang tanah ataupun kerbau.
-Reza Paradisa
DAFTAR PUSTAKA
- Afidah Wahyuni, "(Sistem Waris Dalam Perspektif Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia)".
- Agus Sudaryanto, "(Aspek Ontologi Pembagian Waris Dalam Hukum Islam dan Hukum Adat Jawa)"
- Bambang Daru Nugroho, Hukum Perdata Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2017.
- Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2018.
- Ishak Kasim, "(Kedudukan Hak Waris Anak Menurut Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Perdata Sebagai Perbandingan)".
- Komari, "(Eksistensi Hukum Waris di Indonesia : Antara Adat dan Syariat)".
- Muhammad Faisal Tambi, "(Studi Komparasi Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat)".
- Rahmat Haniru, "(Hukum Waris Di Indonesia Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat)".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI