Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pendidikan, Inovasi dan Kemajuan Bangsa

29 Desember 2021   09:05 Diperbarui: 14 Januari 2022   06:54 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rokhmin Dahuri, MS

Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan -- IPB University

Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany

*Artikel Ini telah terbit pada Koran Sindo Edisi 29 Desember 2021.

Fakta empiris membuktikan, bahwa sejak era Imperium Romawi, Keemasan Umat Islam sampai sekarang, bangsa-bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat adalah mereka yang menguasai IPTEK dan mampu menghasilkan inovasi secara berkelanjutan. 

Bukan negara yang melimpah kekayaan alamnya. Selanjutnya, penguasaan IPTEK dan kapasitas inovasi sangat bergantung pada kapasitas riset dan kualitas SDM nya.  Sayangnya, hampir semua indikator kinerja yang terkait dengan riset, inovasi, dan kualitas SDM bangsa kita hingga kini masih rendah.

Kapasitas IPTEK Indonesia baru mencapai kelas-3 (technology-adaptor country), dimana lebih dari 70 persen kebutuhan teknologi nasional berasal dari impor.  Sedangkan, negara maju adalah yang kapasitas IPTEK nya kelas-1 (technology-innovator country), lebih dari 70 persen kebutuhan teknologinya dihasilkan oleh bangsa sendiri (UNESCO, 2019). 

Kapasitas inovasi kita menempati peringkat-85 dari 126 negara yang disurvei, dan pada urutan-7 di ASEAN. Kualitas SDM Indonesia yang tercermin pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia) pun baru mencapai 0,71, belum memenuhi syarat sebagai bangsa maju dengan IPM diatas 0,8. 

Kita pun menghadapi darurat gizi buruk, dimana 27 persen anak mengalami stunting dan 30 persen menderita gizi buruk. Jika tidak segera diperbaiki, niscaya kita akan mewariskan generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.

Penyebab Ketertinggalan

Ada lima penyebab utama dari rendahnya kapasitas inovasi dan kualitas SDM Indonesia. Pertama, belum ada Peta Jalan Pendidikan dan Riset Nasional yang komprehensif dan benar yang diimplementasikan secara berkesinambungan.  Setiap kali ganti Menteri, ganti pula kebijakannya.

Kedua, ekosistem Perguruan Tinggi (PT) yang meliputi: (1) SDM; (2) prasarana dan sarana; (3) tata kelola (culture of excellence, kurikulum, pengajaran, dan regulasi); dan (4) anggaran masih jauh dari standar dunia. Metoda pengajaran di sebagian besar PT Indonesia hanya berupa transfer pengetahuan. 

Bersifat hafalan, bukan mengembangkan kapasitas analisis, kreativitas, inovasi, dan problem solving. Entrepreneurship, team work, kemampuan berkomunikasi, dan aspek soft skill lainnya pun kurang mendapat perhatian. Kebanyakan Program Studi, tidak dilengkapi dengan laboratorium dan sarana praktikum berstandar dunia. Sedikit sekali PT Indonesia yang berbasis riset seperti di negara-negara industri maju.

Akibatnya, lulusan PT Indonesia pada umumnya kurang kompeten dan kalah bersaing dengan lulusan PT dari negara-negara maju maupun emerging economies. Karya ilmiah hasil penelitian PT yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional ternama pun jumlahnya masih terbatas. 

Dan, sangat sedikit (hanya 15 persen) hasil penelitian PT kita yang mendapatkan hak paten berupa prototipe (invention) kemudian sukses diindustrikan menjadi produk, proses produksi, atau aplikasi (innovation) komersial yang laku di pasar domestik maupun global.

Ketiga, mirip dengan PT, pusat-pusat riset di bawah Kementerian maupun Lembaga Pemerintah (LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN) pun hasilnya sebagian besar berakhir pada prototipe atau publikasi ilmiah. Sangat jarang hasil penelitian yang sudah  mencapai tahap prototipe berhasil diindustrikan (hilirisasi) menjadi produk inovasi komersial. 

Kondisi memprihatinkan ini disebabkan karena minimnya infrastruktur dan sarana riset, rendahnya kesejahteraan serta penghargaan bagi para peneliti, dan terbatasnya anggaran. Betapa tidak, saat ini anggaran riset Indonesia hanya sebesar 0,24 persen PDB.  Sedangkan, Vietnam 0,53%, Thailand 1%, Malaysia 1,44%, Singapura 2%, dan China 2,19%.  

Sementara itu, negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat mencapai 2,84%, Jepang 3,26%, dan Korea Selatan 4,81%.  Idealnya, anggaran riset suatu negara minimal 2 persen dari PDB nya (UNESCO, 2021). 

Selain itu, banyak program (topik) penelitian yang sama dikerjakan oleh beberapa pusat riset. Di sisi lain, beberapa topik penelitian yang sangat dibutuhkan, justru tidak ada Lembaga yang mengerjakannya. 

Sebagian besar topik penelitian juga tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau pasar. Akibatnya, begitu banyak hasil penelitian yang secara ilmiah sangat bagus (world-class), tetapi tidak bisa diindustrikan menjadi produk inovasi komersial. 

Karena, mayoritas peneliti mendesain dan melaksanakan penelitian bukan berdasarkan pada apa yang dibutuhkan oleh industri atau pasar, tetapi lebih untuk memenuhi pengembaraan ilmiah (scientific adventure) nya. Yang lebih menyesakkan dada, hampir semua perusahaan swasta, BUMN, dan lembaga pemerintah lebih suka mengimpor produk teknologi ketimbang mengembangkan inovasi teknologi dari hasil penelitian karya bangsa sendiri.

Keempat, kebanyakan lulusan dari Pendidikan Dasar dan Menengah hanya unggul di hafalan.  Namun, lemah daya talar, kemampuan analisis, dan kreativitasnya. Kemampuan literasi, komunikasi, dan kerja sama pun kurang berkembang. 

Selain itu, kemampuan dasar di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) yang merupakan fondasi dari inovasi dan produktivitas suatu bangsa pun masih lemah. 

Tak heran, bila proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi tinggi Indonesia hanya 8%; selebihnya (92%) berupa komoditas. Sementara itu, Singapura sudah mencapai 85%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24% (UNDP, 2021). 

Implikasinya, Pendapatan Nasional Bruto (GNI) perkapita Indonesia tahun ini baru sebesar 3.870 dolar AS, masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah. Belum menjadi negara maju dan makmur (high-income country) dengan GNI per kapita diatas 12.695 dolar AS (Bank Dunia, 2021).

Kelima, kemiskinan orang tua, rendahnya kesadaran orang tua tentang makanan bergizi dan sehat bagi anak-anaknya, dan kurang memadainya pelayanan kesehatan merupakan akar masalah dari stunting dan gizi buruk yang melanda anak-anak kita.

Agenda Pendidikan dan Riset

Maka, membenahi benang kusut Pendidikan dan Riset Nasional yang tak kunjung usai, mesti ditangani secara holistik, terpadu, dan berkesinambungan. Tidak bisa didekati secara tambal sulam, sektoral, dan terputus-putus seperti yang terjadi selama ini.

Di bidang riset dan inovasi, agenda utamanya mesti fokus pada segenap aspek yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia, yakni pangan, sandang, energi, perumahan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, transportasi, hankam. 

Selain itu, bidang SDA yang merupakan keunggulan komparatif Indonesia seperti kemaritiman, perikanan, pertanian, pariwisata, energi dan sumber daya mineral juga mesti mendapatkan prioritas.

Supaya SDA sebagai keunggulan komparatif dapat ditransformasi menjadi keunggulan kompetitif bangsa kita. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), prioritas riset juga mesti dicurahkan untuk aspek-aspek tentang pengelolaan lingkungan, Perubahan Iklim, dan bencana alam. 

Karena kita hidup di era Industri 4.0, maka segenap prioritas penelitian itu harus berbasis pada teknologi Industri 4.0 seperti IoT, AI, Block Chain, Big Data, Robotics, Human-Machine Interface, New Materials, Nanoteknologi,dan Bioteknologi. Lebih dari itu, aspek yang diteliti dan dikembangkan untuk setiap agenda penelitian bukan hanya terkait dengan teknologi dan engineering, tetapi juga aspek marketing, ekonomi, sosial, dan budaya.

Kemudian, harus ada pembagian tugas antar lembaga penelitian yang tersebar di berbagai Perguruan Tinggi, Kementerian, dan Lembaga Pemerintah sesuai dengan kompetensinya.  Mekanisme kerja sama antar lembaga penelitian, termasuk dengan lembaga penelitian negara lain, pun mesti disusun dan dilaksanakan secara bena.

Setiap lembaga penelitian harus diberi target terukur tentang berapa prototipe, produk inovasi, dan publikasi ilmiah per tahun.  

Selanjutnya, hasil penelitian dari setiap lembaga yang sudah mencapai tahap prototipe, sebanyak  mungkin harus diindustrikan menjadi produk inovasi yang laku di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Pengindustrian prototipe hasil penelitian merupakan tugas utama dari pihak industri (swasta dan BUMN).  

Sedangkan, yang menjodohkan (match-making) antara peneliti dengan industri adalah pemerintah (BRIN).  Industri mesti diberi insentif agar mau mengindustrikan invensi para peneliti kita menjadi inovasi komersial. 

Dengan insentif tersebut, niscaya korporasi pun akan senang untuk berkontribusi dalam meningkatkan anggaran riset nasional dari 0,24 persen menjadi 2 persen PDB. Patut dicatat, bahwa 80 persen anggaran riset di negara-negara maju dari sektor swasta.  Sedangkan, di Indonesia kontribusai swasta baru 20 persen.

Di bidang Pendidikan, pertama adalah memastikan bahwa semua anak Indonesia di seluruh wilayah NKRI harus lulus minimal dari SLTA dengan kualitas yang unggul. 

Kedua, sejak dari jenjang SLTA, mesti sudah dibagi dua jurusan, yaitu SLTA umum (SMA) yang lulusannya dipersiapkan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi umum; dan SLTA vokasi yang lulusannya dipersiapkan untuk langsung terjun ke dunia kerja atau melanjutkan ke Pendidikan Tinggi Vokasi (PTV).  

Dengan demikian, struktur angkatan kerja nasional kelak akan seperti di negara industri maju, dimana tingkat pendidikan minimal adalah SLTA.  Tidak seperti sekarang, 60 persen angkatan kerja adalah mereka yang tidak tamat SD, lulusan SD atau SLTP.  

Ketiga, memastikan bahwa semua Perguruan Tinggi mampu menghasilkan lulusan yang kompeten, beriman dan taqwa, dan berakhlak mulia.  Sehingga, mereka akan siap berkerja atau menciptakan pekerjaan sendiri, mengembangkan IPTEK, dan mampu bersaing dengan alumni negara lain secara elegan.

Hasil penelitiannya banyak yang bisa dipatenkan dan diindustrisikan menjadi beragam produk inovasi, dan layak dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional ternama.  Untuk itu, PT mesti digerakkan oleh SDM yang unggul, dilengkapi dengan infrastruktur dan sarana yang mumpuni, dan dana yang mencukupi. 

Selain itu, tata kelolanya pun harus berbasis pada riset berkelas dunia (World-Class Research University).  Pola kemitraan penta helix (Universitas, Industri, Pemerintah, Masyarakat, dan Media Masa) harus terus diperkuat dan dikembangkan.  

Keempat, untuk memastikan bahwa lulusan PT siap kerja atau mampu menciptakan lapangan kerja, maka selain membangun sendiri prasarana dan saran praktek, PT harus bekerja sama dengan dunia industri dan BUMN sebagai tempat praktek (magang) para mahasiswa. 

Para dosen harus punya pengalaman bekerja di sektor swasta atau pemerintahan sesuai bidang keahlian, sehingga mereka tidak hanya menguasai teori, tetapi juga prakteknya. 

Akhirnya, segenap agenda Pendidikan dan Riset diatas akan berhasil, bila didukung oleh kinerja sektor kesehatan yang mampu mengatasi problem stunting dan gizi buruk.  

Selain itu, perlu infrastruktur digital yang dapat menghubungkan seluruh wilayah NKRI sebagai fondasi pembangunan Pendidikan dan Riset di era Industri 4.0. Kebijakan politik-ekonomi pun harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor Pendidikan dan Riset.  

Kita optimis bahwa kiprah Kemendikbud-Riset dan BRIN yang baru saja lahir, akan mampu mempercepat implementasi agenda diatas. Sehingga, Indonesia akan lulus dari middle-income trap pada 2035, dan menjadi bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2045.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun