Kedua, ekosistem Perguruan Tinggi (PT) yang meliputi: (1) SDM; (2) prasarana dan sarana; (3) tata kelola (culture of excellence, kurikulum, pengajaran, dan regulasi); dan (4) anggaran masih jauh dari standar dunia. Metoda pengajaran di sebagian besar PT Indonesia hanya berupa transfer pengetahuan.Â
Bersifat hafalan, bukan mengembangkan kapasitas analisis, kreativitas, inovasi, dan problem solving. Entrepreneurship, team work, kemampuan berkomunikasi, dan aspek soft skill lainnya pun kurang mendapat perhatian. Kebanyakan Program Studi, tidak dilengkapi dengan laboratorium dan sarana praktikum berstandar dunia. Sedikit sekali PT Indonesia yang berbasis riset seperti di negara-negara industri maju.
Akibatnya, lulusan PT Indonesia pada umumnya kurang kompeten dan kalah bersaing dengan lulusan PT dari negara-negara maju maupun emerging economies. Karya ilmiah hasil penelitian PT yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional ternama pun jumlahnya masih terbatas.Â
Dan, sangat sedikit (hanya 15 persen) hasil penelitian PT kita yang mendapatkan hak paten berupa prototipe (invention) kemudian sukses diindustrikan menjadi produk, proses produksi, atau aplikasi (innovation) komersial yang laku di pasar domestik maupun global.
Ketiga, mirip dengan PT, pusat-pusat riset di bawah Kementerian maupun Lembaga Pemerintah (LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN) pun hasilnya sebagian besar berakhir pada prototipe atau publikasi ilmiah. Sangat jarang hasil penelitian yang sudah  mencapai tahap prototipe berhasil diindustrikan (hilirisasi) menjadi produk inovasi komersial.Â
Kondisi memprihatinkan ini disebabkan karena minimnya infrastruktur dan sarana riset, rendahnya kesejahteraan serta penghargaan bagi para peneliti, dan terbatasnya anggaran. Betapa tidak, saat ini anggaran riset Indonesia hanya sebesar 0,24 persen PDB. Â Sedangkan, Vietnam 0,53%, Thailand 1%, Malaysia 1,44%, Singapura 2%, dan China 2,19%. Â
Sementara itu, negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat mencapai 2,84%, Jepang 3,26%, dan Korea Selatan 4,81%. Â Idealnya, anggaran riset suatu negara minimal 2 persen dari PDB nya (UNESCO, 2021).Â
Selain itu, banyak program (topik) penelitian yang sama dikerjakan oleh beberapa pusat riset. Di sisi lain, beberapa topik penelitian yang sangat dibutuhkan, justru tidak ada Lembaga yang mengerjakannya.Â
Sebagian besar topik penelitian juga tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau pasar. Akibatnya, begitu banyak hasil penelitian yang secara ilmiah sangat bagus (world-class), tetapi tidak bisa diindustrikan menjadi produk inovasi komersial.Â
Karena, mayoritas peneliti mendesain dan melaksanakan penelitian bukan berdasarkan pada apa yang dibutuhkan oleh industri atau pasar, tetapi lebih untuk memenuhi pengembaraan ilmiah (scientific adventure) nya. Yang lebih menyesakkan dada, hampir semua perusahaan swasta, BUMN, dan lembaga pemerintah lebih suka mengimpor produk teknologi ketimbang mengembangkan inovasi teknologi dari hasil penelitian karya bangsa sendiri.
Keempat, kebanyakan lulusan dari Pendidikan Dasar dan Menengah hanya unggul di hafalan. Â Namun, lemah daya talar, kemampuan analisis, dan kreativitasnya. Kemampuan literasi, komunikasi, dan kerja sama pun kurang berkembang.Â