Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan, Riset, dan Kemajuan Bangsa

27 Mei 2021   19:41 Diperbarui: 27 Mei 2021   19:53 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh
Rokhmin Dahuri

Sejarah dan fakta empiris membuktikan, bahwa sejak Kejayaan Romawi hingga sekarang, bangsa-bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat adalah mereka yang menguasai IPTEK dan mampu menghasilkan inovasi secara berkelanjutan. Bukan negara yang melimpah kekayaan SDA-nya. Kemudian, penguasaan IPTEK dan kemampuan berinovasi sangat bergantung pada kapasitas riset dan kualitas SDM dari suatu bangsa. 

Sayangnya, semua Indikator Kinerja Utama bangsa Indonesia yang terkait dengan IPTEK, inovasi, dan SDM hingga kini masih rendah.
Kapasitas IPTEK Indonesia baru mencapai kelas-3 (technology-adaptor country), dimana lebih dari 70 persen kebutuhan teknologi nasional berasal dari impor. Sedangkan, negara maju adalah yang kapasitas IPTEK nya kelas-1 (technology-innovator country), yang lebih dari 70 persen kebutuhan teknologinya dihasilkan oleh bangsa sendiri (UNESCO, 2019). 

Kapasitas inovasi kita menempati peringkat-85 dari 126 negara yang disurvei, dan pada urutan-7 di ASEAN. Kualitas SDM Indonesia yang tercermin pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia) pun baru mencapai 0,71, belum memenuhi syarat sebagai bangsa maju dengan IPM di atas 0,8. Pada tataran global, IPM Indonesia berada di peringkat-107 dari 189 negara yang disurvei, dan ke-6 di kawasan ASEAN.

Selain itu, kemampuan literasi kita masih sangat rendah, tercermin pada indeks minat baca yang hanya 0,001. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca (UNESCO, 2012). Hasil survei PISA yang mengukur kemampuan Membaca, Matematika, dan Sains pelajar kelas-3 SLTP di seluruh dunia, mengungkapkan bahwa pada 2018 dari 78 negara yang disurvei, Indonesia hanya menempati peringkat-72.

Meskipun, berdasarkan bidang keilmuan (Fakultas) yang mencakup pertanian, kehutanan, dan perikanan; IPB-University sudah mencapai peringkat-62 dunia. Namun, secara kelembagaan, dari 4.500 Perguruan Tinggi Indonesia, belum ada satu pun yang masuk dalam 100 Perguruan Tinggi terbaik di dunia. 

UI baru mencapai peringkat-657, diikuti oleh UGM di urutan-813, IPB-University ke-1089, ITS (1091), UNIBRAW (1221), UNAIR (1323), Telkom University (1376), dan ITB (1650) (Webometrics, 2021). Yang lebih mencemaskan, kita pun menghadapi darurat gizi buruk, dimana 30 persen anak balita mengalami stunting growth dan 33 persen menderita gizi buruk.  Jika tidak segera diperbaiki, niscaya kita akan mewariskan generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.

Penyebab Ketertinggalan

Sejumlah faktor telah mengakibatkan rendahnya kapasitas IPTEK, inovasi, dan kualitas SDM.  Pertama, belum ada Peta Jalan Pendidikan dan Riset Nasional yang komprehensif dan benar yang diimplementasikan secara berkesinambungan.  Setiap kali ganti Menteri, maka ganti pula kebijakannya. Sehingga, ibarat membangun istana pasir atau tarian poco-poco.

Kedua, ekosistem Perguruan Tinggi (PT) yang meliputi: (1) SDM; (2) prasarana dan sarana; (3) tata kelola (visi pimpinan, culture of excellence, kebebasan akademik, kurikulum, teknik pengajaran, dan regulasi); dan (4) anggaran pada umumnya masih jauh dari standar PT Berkelas Dunia (World Class University). 

Metoda pengajaran di sebagian besar PT Indonesia hanya berupa transfer pengetahuan. Bersifat hafalan, bukan mengembangkan kapasitas analisis, kreativitas, inovasi, dan problem solving. Entrepreneurship, team work, kemampuan berkomunikasi, leaderships, dan aspek soft skill lainnya pun kurang mendapat perhatian. Kebanyakan Program Studi, tidak dilengkapi dengan laboratorium dan sarana praktikum lainnya. 

Sedikit sekali PT Indonesia yang berbasis riset (Research-Based University) seperti di negara-negara industri maju. Sehingga, lulusan PT Indonesia pada umumnya kurang kompeten, tidak siap kerja, dan kalah bersaing dengan lulusan PT dari negara-negara lain. 

Wajar, bila banyak lulusan PT yang menganggur. Tulisan (karya) ilmiah dari berbagai hasil penelitian PT yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional ternama pun jumlahnya masih terbatas.  Dan, masih sedikit sekali (kurang dari 15 persen) hasil penelitian PT kita yang mendapatkan hak paten berupa prototipe (invention) kemudian sukses diindustrikan (scalled-up) menjadi produk, proses produksi atau aplikasi (innovation) komersial yang laku di pasar domestik maupun global.

Ketiga, mirip dengan di PT, pusat-pusat riset di bawah Kementerian maupun Lembaga Pemerintah (seperti LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN) pun hasilnya sebagian besar berakhir pada prototipe (invention). Sedikit sekali hasil penelitian yang sudah  mencapai tahap prototipe (technological readiness) berhasil diindustrikan menjadi produk inovasi komersial (market and business-readiness) untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor. 

Kondisi memprihatinkan ini disebabkan karena minimnya infrastruktur dan sarana riset, rendahnya kesejahteraan serta penghargaan sosial bagi para peneliti, dan terbatasnya anggaran.  Betapa tidak, saat ini anggaran riset Indonesia hanya sebesar 0,24 persen PDB.  Sedangkan, Vietnam 0,53%, Thailand 1%, Malaysia 1,44%, Singapura 2%, dan China 2,19%. 

Sementara itu, negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat mencapai 2,84%, Jepang 3,26%, dan Korea Selatan 4,81%.  Idealnya, anggaran riset suatu negara minimal 1,5 persen dari PDB nya (UNESCO, 2021). Selain itu, banyak program (topik) penelitian yang sama dikerjakan oleh beberapa pusat riset (overlaping). Di sisi lain, beberapa topik penelitian yang sangat dibutuhkan, justru tidak ada Lembaga yang mengerjakannya (mismatch).  

Sebagian besar topik penelitian juga tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau pasar. Akibatnya, begitu banyak hasil penelitian yang secara ilmiah sangat bagus (world-class), tetapi tidak bisa diindustrikan menjadi produk inovasi komersial. Karena, mayoritas peneliti mendesain dan melaksanakan penelitian bukan berdasarkan pada apa yang dibutuhkan oleh industri atau pasar, tetapi lebih untuk memenuhi pengembaraan ilmiah (scientific adventure)-nya. 

Yang lebih menyesakkan dada, hampir semua perusahaan swasta, BUMN, dan lembaga pemerintah lebih suka mengimpor produk teknologi ketimbang mengembangkan inovasi teknologi dari hasil penelitian karya bangsa sendiri. Banyak pengusaha kita yang dulunya industriawan berubah menjadi sekedar pedagang pengimpor.

Keempat, kebanyakan lulusan dari Pendidikan Dasar dan Menengah kita, mulai dari tingkat PAUD, SD, SLTP hingga SLTA hanya unggul di hafalan.  Namun, lemah daya talar, kemampuan analisis, dan kreativitas nya. Kemampuan literasi, komunikasi, dan kerja sama pun kurang berkembang. Selain itu, kemampuan dasar di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) yang merupakan fondasi dari inovasi dan produktivitas suatu bangsa pun masih lemah.   

Tak heran, bila proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi tinggi Indonesia hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas. Sementara itu, Singapura sudah mencapai 85%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24% (UNDP, 2021). Pendapatan Nasional Bruto (GNI) perkapita Indonesia pun pada 2020 baru 4.050 dolar AS, masih sebagai negara berpendapatan-menengah atas (GNI perkapita antara 4.046 dan 12.535 dolar AS). Belum menjadi negara makmur (high-income country) yang GNI per kapitanya diatas 12.535 dolar AS.

Agenda Pendidikan dan Riset

Maka, membenahi benang kusut permasalahan Pendidikan dan Riset Nasional yang tak kunjung usai, mesti ditangani secara holistik, terpadu, dan berkesinambungan. Tidak bisa didekati secara tambal sulam, sektoral, dan terputus-putus seperti yang terjadi selama ini.

Di bidang riset, prioritas agenda penelitian seyogyanya difokuskan pada semua aspek yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia, yakni pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, elektronik, transportasi, dan hankam. Selain itu, bidang SDA yang merupakan keunggulan komparatif Indonesia, termasuk kemaritiman, kehutanan, pertanian, pariwisata, energi dan sumber daya mineral, juga mesti mendapatkan prioritas.

Guna mendukung pembangunan berkelanjutan, prioritas riset juga perlu dicurahkan untuk segenap aspek tentang pengelolaan lingkungan hidup, Perubahan Iklim, tsunami, gempa bumi, dan bencana alam lainnya. Karena kita hidup di era Industri 4.0, maka segenap prioritas penelitian itu harus  berbasis pada teknologi generasi Industri 4.0 seperti IoT, Artificial Intelligent, Block Chain, Cloud Computing, Big Data, Robotics, Drone, Human-Machine Interface, New Materials, Nanoteknologi,dan Bioteknologi. 

Lebih dari itu, aspek yang diteliti dan dikembangkan untuk setiap agenda penelitian bukan hanya terkait dengan teknologi dan engineering, tetapi juga aspek marketing, dan sosekbud-nya.

Kemudian, harus ada pembagian tugas antar lembaga penelitian yang tersebar di berbagai Perguruan Tinggi, Kementerian, dan Lembaga Pemerintah sesuai dengan kompetensinya.  Mekanisme kerja sama antar lembaga penelitian, termasuk dengan lembaga penelitian negara lain, pun mesti disusun dan dilaksanakan secara tepat serta berkesinambungan.

Setiap lembaga penelitian harus diberi target terukur tentang berapa prototipe, produk inovasi, dan publikasi ilmiah per tahun.  Selanjutnya, hasil penelitian dari setiap lembaga yang sudah mencapai tahap prototipe, sebanyak  mungkin harus diindustrikan menjadi produk inovasi yang laku di pasar dalam negeri maupun luar negeri.  Pengindustrian prototipe hasil penelitian merupakan tugas utama dari pihak industriawan (swasta dan BUMN). Sedangkan, yang menjodohkan (match-making) antara peneliti dengan industriawan adalah pemerintah.

Seperti yang telah dilaksanakan di negara-negara industri maju, pemerintah memberikan insentif kepada sektor swasta yang mau mengembangkan produk inovasi teknologi dari hasil penelitian anak bangsa sendiri. Insentif itu bisa berupa deductible tax, kemudahan mengimpor peralatan dan bahan penelitian, bintang jasa, atau penghargaan sosial. 

Dengan insentif tersebut, niscaya korporasi pun akan senang untuk mendonasikan sebagian keuntungannya guna meningkatkan anggaran riset nasional dari 0,24 persen menjadi 2 persen PDB.  Patut dicatat, bahwa 70 persen anggaran riset di negara-negara maju dari sektor swasta.  Sedangkan, di Indonesia kontribusai swasta masih kurang dari 15 persen.

Di bidang Pendidikan, pertama adalah memastikan bahwa semua anak Indonesia di seluruh wilayah NKRI harus dapat lulus minimal dari SLTA dengan kualitas yang mumpuni.  Kedua, sejak dari jenjang SLTA, mesti sudah dibagi dua jurusan, yaitu SLTA umum (SMA) yang lulusannya dipersiapkan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi umum (Univeraitas); dan SLTA vokasi yang lulusannya dipersiapkan untuk langsung terjun ke dunia kerja atau yang hendak melanjutkan ke Pendidikan Tinggi Vokasi (PTV). 

Proporsi kurikulum dan metoda pengajaran di SLTA vokasi 70 persen berupa praktek, dan 30 persen pengajaran di kelas.  Sedangkan, di SMA, 70 persen lebih pengajaran di kelas, dan sisanya praktek di laboratorium.  Dengan demikian, struktur angkatan kerja nasional kelak akan seperti di negara industri maju, dimana tingkat pendidikan minimal adalah SLTA.  Tidak seperti sekarang 60 persen lebih terdiri dari mereka yang tidak tamat SD, lulusan SD dan SLTP. 

Struktur angkatan kerja kita pun bakal didominasi oleh lulusan SLTA Vokasi, Pendidikan Tinggi Vokasi, dan Universitas.  Ketiga, untuk memastikan bahwa 70 persen kurikulum PTV berupa praktek langsung, maka selain membangun sendiri prasarana dan saran praktek, PTV harus bekerja sama secara dengan dunia industri, baik milik swasta, BUMN maupun pemerintah sebagai tempat praktek (magang) para mahasiswa.  Dosen harus punya pengalaman bekerja di industri sesuai bidang keahlian, bukan yang hanya menguasai teori.

Keempat, memastikan bahwa semua Perguruan Tinggi Umum mampu menghasilkan lulusan yang kompeten dari aspek hard skills, soft skills, dan karakter.  Sehingga, mereka akan siap berkerja atau menciptakan pekerjaan sendiri, mengembangkan IPTEK, dan mampu bersaing dengan alumni negara lain di dunia kerja. 

Selain itu, hasil penelitiannya banyak yang mencapai tahap prototipe dengan hak paten serta bisa diindustrisikan menghasilkan beragam produk inovasi, dan dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional. 

Para dosen dan mahasiswanya berhasil melaksanakan kegiatan pengabdian pada masyarakat guna meningkatkan kualitas SDM, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat daerah.  Maka, SDM (dosen, mahasiswa, dan tenaga non-akademik) nya harus unggul.  Didukung oleh prasarana, sarana, dan dana yang berkualitas tinggi serta mencukupi.  Dan, governance Perguruan Tinggi pun harus berbasis riset berkelas dunia (World-Class Research University). 

Pola kemitraan penta helix (Universitas, Industri, Pemerintah, Masyarakat, dan Media Masa) harus terus diperkuat dan dikembangkan.  Supaya Universitas tidak terjebak sebagai Menara Gading.

Segenap agenda Pendidikan dan Riset di atas akan berhasil, bila didukung oleh kinerja sektor kesehatan yang mampu mengatasi problem stunting growth dan gizi buruk yang melanda anak-anak kita. Selain itu, terbangunnya infratstruktur digital yang dapat menghubungkan seluruh wilayah Nusantara sebagai fondasi pembangunan Pendidikan dan Riset di era Industri 4.0 ini.

Sistem dan kebijakan politik-ekonomi pun harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor Pendidikan dan Riset. Kita optimis bahwa kiprah Kemendikbud-Riset dan BRIN yang baru saja lahir, akan mampu mempercepat implementasi agenda di atas.  Sehingga, Indonesia akan lulus dari middle-income trap pada 2035, dan menjadi bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2045.

Artikel sudah terbit pada kompas.id 20 Mei 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun